Dia tahu, dirinyalah yang sudah membuat Sita kembali meneteskan air mata. Dirinya yang sudah membuat luka di hati Sita.Tapi dia juga terluka, pikir Zidan. Dia sangat-sangat terluka tetapi dia pandai menyembunyikannya. Dia akan menutup rapat-rapat hatinya untuk Sita. Tidak akan ada lagi nama Sita, sudah dia kunci dengan benar di hatinya. Saatnya dia berjalan ke depan dan menyusun cita-citanya. Tapi tak dipungkiri, melihat Dafa dan Sita, hatinya teriris, entah mengapa ada perasaan tak rela melihat mereka berdua. Tapi dia tidak boleh egois. Dia pun meneteskan air mata, sendiri di dalam kamarnya. Mengatur napasnya agar tidak sesak. Lalu, dia memandangi foto profil Sita di WA. Sangat cantik, foto Sita sedang tersenyum, berbalut kerudung abu, semakin menambah kecantikannya.
Apakah dia menyesal melepaskan Sita? Dia pun tertidur sambil memegangi ponselnya.
Sedangkan Sita dan Dafa, masih asyik naik bianglala.
Entah sudah ke putaran berapa mereka naik wahana itu. Mereka melepaskan semua masalahnya, kadang mereka berdua berteriak bersamaan. Mengenang masa kecil. Tertawa bersama. Menangis bersama. Dafa berharap, tadi adalah tangis terakhir Sita.
"Sekali lagi, makasih ya Daf. Aku benar-benar membutuhkannya. Aku
harus mengobati luka yang sekian tahun mengendap.
Pasti butuh proses panjang, tapi tertawa lepas seperti ini menurutku adalah salah satu prosesnya."
"Nikmati prosesnya Ta, semoga aku masih bisa berada di sisimu selama proses itu berjalan."
"Mari kita bersenang-senang malam ini." Sita tersenyum.
Akhirnya setelah enam putaran, mereka memutuskan untuk turun dari wahana ini. Saat mereka turun, mereka dikejutkan dengan kedatangan Fara dan Mira. Mereka berdua sudah memegang tiket bianglala dan bersiap naik. Mereka mengajak Dafa dan Sita naik wahana itu lagi. Berempat mereka naik kembali dan berfoto lepas.
Fara pun membuat status, "Teman yang selalu menemani di saat suka dan duka adalah teman sejati." Tawa dan canda mengiringi mereka berempat saat naik sang bianglala. Sita sejenak melupakan kesedihannya. Dia berharap, proses penyembuhan lukanya tidak lama. Karena dia harus berjalan ke depan, tanpa menoleh ke belakang.
"Baru kali ini aku naik bianglala mini ini, ternyata mengasyikkan," celoteh Fara.
Fara dan Mira baru menyadari, pasti ada sesuatu yang terjadi antara Zidan dan Sita. Tapi Fara dan Mira berusaha tidak ikut campur urusan mereka berdua. Tugasnya dan Mira hanyalah membuat Sita
tersenyum lagi. Itu saja sudah cukup menurut Fara dan Mira. Mungkin waktu yang akan menyembuhkan semuanya. Mereka berdua hanya berharap, prosesnya tidak lama.
"Setelah sekian lama, aku bisa naik lagi wahana ini, keren, makasih ya Ta, Daf, karena statusmu, aku bisa naik wahana ini," celetuk Mira.
Dafa dan Sita hanya tersenyum. Mereka juga senang bisa menghabiskan malam bersama sahabatnya.
Dafa berharap, semoga luka Sita cepat terobati ditemani para sahabat.
"Ayo kita ulang beberapa putaran lagi," ajak Mira.
"Aku dan Sita dah mulai pusing nih, kalian aza lanjut ya, kita nunggu di bangku sebelah sana," Dafa menolak halus ajakan Mira.
"Oke deh, kalian jangan ke mana-mana ya, aku mau traktir makan ramen di sebelah sana," kata Fara.
"Oke." Sita dan Dafa mengangguk bersamaan.
Saat mereka turun dari wahana, terlihat Gege sudah memegang tiket bianglala di tangannya. Dia langsung naik wahana tersebut bersama Fara dan Mira, lalu melambaikan tangan kepada Dafa dan Sita.
"Aku naik dulu ya, tunggu kita di bangku sebelah sana, jangan ke mana-mana." ujar Gege.
Sita dan Dafa hanya
mengacungkan jempol dan berlalu dari wahana itu. Tak jauh dari sana, Dafa melihat penjual es krim. Dia pun membeli dua. Lalu memberikan satu pada Sita. Mereka memakan es krim sambil duduk di sebuah bangku, lalu memandangi bianglala. Dafa merengkuh pundak Sita dan Sita menyenderkan kepalanya di bahu Dafa. Mereka terlihat seperti sepasang kekasih.
Tak jauh dari sana, Gege yang sudah turun dari bianglala, memfoto mereka dari belakang. Lalu memasang status di WA-nya.
"Tuan Puteri bersama sang pangeran."
Sementata itu, Zidan terbangun satu jam kemudian. Dia merasa lapar lalu turun ke meja makan. Orangtuanya belum pulang dari perjalanan bisnis. Dan dia hanya sendiri ditemani Bik Minah.
Saat sedang mengunyah, pandangannya tertuju pada status Fara dan Gege. Kedua status mereka, seakan menamparnya keras.
Membuatnya terjaga dari kesadarannya. Apakah dia salah sudah membuat keputusan untuk saling melupakan bersama Sita.
Tapi kekecewaannya mengalahkan segalanya.
Bahkan Sita tidak melakukan pembelaan saat dia menanyakan alasannya.
Alasan mereka berpisah beberapa tahun yang lalu.
Padahal, hanya itu yang Zidan perlukan, untuk meyakinkan hatinya, bahwa masih ada rasa itu untuk Sita. Tapi, Sita tidak mengatakan apa pun. Dia hanya mengiyakan dan tidak melakukan pembelaan. Itu yang membuat Zidan semakin kecewa. Zidan pun melanjutkan makan. Dia ingin membebaskan hatinya dari Sita, tapi dia juga ingin Sita tetap menetap di hatinya. Dilema, ya, itu yang dia rasakan.
Setelah makan, dia bergegas menuju garasi dan melajukan motornya. Entah mengapa dia ingin sekali menghampiri sahabat-sahabatnya. Tak terasa motornya sampai juga di pasar malam itu. Zidan memakai topi dan masker, agar tidak ada yang mengetahui dirinya ada di sana. Setelah berkeliling dan mencari para sahabatnya, dia pun akhirnya menemukan mereka. Ya, Gege, Mira, dan Fara sedang naik bianglala mini. Tapi, ke mana Sita dan Dafa, pikir Zidan.
Dia pun berkeliling dan berusaha mencari mereka. Akhirnya, Zidan melihat mereka di sebuah bangku. Terlihat dari belakang, Dafa memeluk bahu Sita dan Sita menyenderkan kepalanya ke bahu Dafa. Seharusnya dia yang ada di posisi itu, pikir Zidan. Entah mengapa perasaannya menjadi tak menentu melihat pemandangan tersebut. Sesak kembali mendatanginya. Dia tak sanggup lagi melihat pemandangan tersebut.
Apakah rasa cinta itu masih tetap ada di hatinya?
Walaupun berulang kali menyangkal, tetap, rasa itu masih bersemayam dengan nyaman di relung hatinya.
Dia pun pergi meninggalkan tempat itu dengan sejuta tanya yang tetap berputar-putar di kepalanya. Benarkah dia ingin melupakan Sita? Lalu, mengapa hatinya terasa sakit sesaat setelah dia melihat Dafa dan Sita?
Dia pun melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, berharap rasa itu akan hilang diterpa dinginnya angin malam. Berharap esok dia
tidak akan lagi merasakan sakit dan sesak. Berharap dia bisa melupakan perempuan yang masih betah bertengger manis di dalam relung hatinya yang paling dalam itu. Dan berharap dia bisa maju ke depan tanpa ada bayangan perempuan yang semakin bertambahnya usianya, semakin bertambah cantik itu, membuatnya berpikir bahwa dia salah dalam mengambil keputusan tadi saat mereka berdua bertemu di sebuah kafe yang dekat dengan kantor Sita.