STNM 2

1790 Kata
Hari ini adalah hari yang sangat ditunggu oleh Alia dan Bejo. Karena di hari ini, mereka akan mengumumkan kehamilan Alia kepada keluarga besar. Alia juga berniat untuk mengumumkan pernikahan mereka. Wanita itu telah tampil sangat cantik malam ini. Dengan balutan dress berwarna hitam sepanjang lutut, dia terlihat begitu anggun dan berkelas. Bejo sampai berkali-kali menelan ludahnya melihat penampilan sang istri Memang dasarnya Alia terlahir sebagai seorang crazy rich, maka ke mana pun dia berada, pasti akan ada bintang yang mengelilinginya. Dengan rambut digerai dan sedikit dikeriting bagian bawahnya, membuatnya terlihat semakin cantik. "Kenapa, Mas? Liatin aku terus?" Ternyata dia sadar jika sedari tadi suaminya memperhatikannya. Dia tersenyum begitu manis pada Bejo. Bejo melirik ke arah perut Alia yang sudah mulai buncit dan mengelusnya. Dia terlihat semakin cantik dan juga mempesona. "Kamu selalu cantik," puji Bejo yang membuat wajah Alia bersemu merah. Alia terkikik, yang membuat Bejo memicingkan matanya. Dia merasa aneh, kenapa sang istri malah menertawakannya? "Sejak kapan kamu pintar nggombal, Mas?" tanyanya. "Memangnya aku terlihat seperti seorang penggombal, ya?" Bibir Bejo mengerucut. Dia merasa jika Alia tidak menghargai usahanya untuk memuji sang istri. "Ulu ... ulu .... Suamiku ini sekarang ngambekan. Lihat, ni! Bibirnya saja bisa diiket." Alia tertawa. Memang akhir-akhir ini Bejo menjadi lebih sensitif. Ada apa-apa yang tidak sesuai dengan keinginan, maka akan segera ngambek. Persis seperti anak kecil. "Ish! Nyebelin!" Bejo sendiri heran dengan apa dirinya. Dia kalau sudah merajuk, istrinya pun kalah. Ada apa dengan dirinya? Lagi-lagi Alia terkikik. Dia kini meraih tangan suaminya. Menempelkan telapak tangan itu di pipinya. "Makasih, ya, Mas. Udah jadi suami aku." Alia tersenyum dengan sangat manis, membuat Bejo terkena serangan diabetes mendadak. "Udah, yuk! Berangkat! Nanti kalau telat, nenek ngambek lagi." Alia segera menarik tangan Bejo. Dia terlihat sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan keluarga besarnya. Dalam acara ini, dia berencana untuk mengumumkan semuanya. Mereka berdua berjalan menuju ke garasi masih dengan bergandengan, seolah tak ingin melepaskan satu sama lain. Sungguh keadaan ini membuat Bejo seakan ingin menghentikan waktu. Bejo sangat sedih karena akhir-akhir ini Alia memang lebih sering berada di kantor, bekerja keras. Sedang dirinya hanya diam di rumah, tanpa melakukan apa pun. Sudah semenjak beberapa hari ini, Bejo memang cuti mengajar. Kondisi kehamilannya, ralat, kehamilan sang istri, tidak memungkinkan untuk Bejo bekerja. Bejo sendiri juga bingung, apa suami lain juga mengalami hal semacam ini jika istrinya hamil? "Lho, Al! Kenapa kamu bawa aku ke kursi penumpang?" Bejo merasa heran, kenapa tanpa sadar dia ada di kiri badan mobil dengan keadaan pintu sudah terbuka. "Aku yang nyetir, Mas. Kamu nggak boleh capek-capek!" Alia mengerling nakal. Dia sangat menggemaskan kali ini, rasanya Bejo sangat ingin memakannya. Tunggu, Bejo! Belum waktunya untuk memikirkan hal itu. Ini ada hal yang lebih penting dari acara makan-memakan. Batin Bejo bergejolak saat ini. Rasa ingin memakan sang istri, tetapi mereka harus segera pergi. Mendengar alasan istrinya, Bejo garuk-garuk kepala. "Yang hamil 'kan kamu, Sayang. Kenapa malah aku yang kamu manjain?" Tentu saja Bejo protes. Dia tidak mau dicap sebagai suami yang tidak berguna. "Aku takut, Mas," ucap Alia sambil bergidik. "Takut apa? Tidak ada setan di sini. Kenapa takut?" Alia mencebik. "Bukan takut setan. Tapi, takut jika Mas Bejo nggak bisa stabil bawa mobilnya. Aku masih pengen hidup lama, Mas." Bejo hanya bisa melongo dengan alasan yang Alia buat. Apa dia begitu membahayakan, hingga istrinya sendiri tidak mau jika dia yang menyetir? "Tapi, kalau untuk menyetir, aku masih--" "Udah-udah! Nggak penting juga 'kan, siapa yang menyetir? Yang penting kita selamat sampai tujuan." Akhirnya setelah perdebatan yang lumayan panjang, Bejo menurut juga dengan kehendak tuan putri itu. Karena, untuk urusan keras kepala, dia masih dalam urutan nomor satu. Tidak ada lawan! Sebelumnya Bejo juga cukup ketar-ketir dengan keahlian Alia dalam menyetir. Sepanjang perjalanan, lelaki itu terus memegang pegangan yang ada di atas pintu mobil. Bejo takut jika terjadi apa-apa dengan mereka. "Kamu kenapa, Mas? Kok pucet gitu?" tanya Alia. Alia menoleh ke arah Bejo yang seolah ketakutan. "Nggak papa, Al. Terus liat depan saja," jawab Bejo gugup. bejo nggak mungkin berkata jika dia tengah takut kali ini. Alia tak membalas lagi. Dia kembali fokus ke depan, seperti yang Bejo katakan padanya. Bejo dapat bernapas lega. Setidaknya jalanan tak terlalu ramai, jadinya Alia dapat lancar dalam menyetirnya. Bejo melihat Alia sangat santai dalam menyetir. Seharusnya Bejo memang tidak perlu terlalu khawatir. Istrinya tidak mungkin akan mencelakainya. Akan tetapi, perasaan tenang itu tidak berlangsung lama. Bejo menjadi ketar-ketir saat sang istri terlihat begitu kaku. Ya Allah ... selamatkan kami. Saya masih ingin melihat anak-anak kami lahir dan membesarkan mereka. Saya juga masih ingin melihat wajah cantik istri saya, ya Allah, pinta Bejo dalam hati. Bejo kaget setengah mati saat mendengar bunyi ban berdecit. Kenapa Alia tiba-tiba mengerem mobil? "Kenapa, Al? Kamu nampak pucat gitu?" Bejo bisa melihat wajah istrinya sebelum berangkat terlihat sangat segar seperti oase di gurun pasir, kini berubah pias seperti tengah menahan sesuatu. Jangan bilang kalau dia nahan PUP hingga pucat seperti itu? Bukannya menjawab, Alia justru mengibaskan tangannya. "Tangan kamu kebas?" tanya Bejo spontan. Alia nyengir, tanpa menjawab pun Bejo sudah tahu jawabannya. "Udah! Aku aja yang nyetir! Aku masih bisa kok kalau cuma nyetir kayak gini." Tak ada bantahan lagi dari Alia. Bejo segera keluar dari mobil untuk berpindah tempat dengan Alia. Tepat seperti dugaannya, Alia memang tak terlalu bisa mengendarai mobil. Tapi, tadi tak terlalu buruk untuk orang yang selalu menggunakan jasa sopir dalam hidupnya. Bejo mengetahui dari ibu mertuanya jika Alia tidak pernah pergi sendiri. Dia ke mana-mana diantar oleh sopir. Jadi, Bejo nggak kaget kalau tangannya tidak terbiasa pegang setir. Kini posisi telah berpindah. Bejo yang ada di balik kemudi. Posisi ini lebih membuatnya tenang dari pada tadi. Rasanya Bejo sudah bisa bernapas saat ini. "Kamu nggak malu pergi ke acara nenek dan kakek dengan mobil butut kayak gini?" tanya Bejo. Bejo merasa heran, kenapa Alia tidak protes saat mereka hanya mengendarai mobil Avanza, mobil sejuta umat. "Ngapain malu, Mas? Yang penting 'kan masih bisa dipakai." Hal itulah yang membuat Bejo sangat kagum dengan kepribadian Alia. Meski dia anak orang kaya, tetapi dia tidak manja seperti orang lain. Awalnya, Bejo berpikir menikah dengan anak orang kaya yang pastinya sangat manja dan juga sombong. Nyatanya Bejo salah. Semakin Bejo mengenalnya, semakin lelaki itu jatuh cinta pada kepribadiannya yang sangat merakyat. Manjanya Alia itu cuma tidak bisa melakukan pekerjaan rumah apa pun. Masak, mencuci baju, bahkan membersihkan rumah. Awalnya dia tidak bisa itu semua. Tapi kini, lambat laun Alia mau belajar memasak, meski masih sebatas goreng telur dan bikin mie instan. Suatu progress yang luar biasa menurut Bejo. "Kita jemput mama sama papa dulu, 'kan?" tanya Alia. Bejo mengangguk. Kedua orang tuanya juga diundang ke acara itu. Meski mereka keluarga kaya, tetapi mereka tak pernah malu untuk bergaul dengan keluarga besannya yang sederhana. Itulah yang membuat Bejo selalu mengagumi keluarga itu. Setelah melewati perjalanan yang lumayan lama, akhirnya mereka tiba juga di halaman rumah mewah yang bergaya klasik. Di antara semua mobil yang terparkir di sana, Bejo merasa jika hanya miliknya saja yang lusuh. Lelaki itu mendesah berat. Apakah Alia tidak mau jika mengakuinya sebagai suami? Bejo merasakan lengan kanannya telah disentuh oleh sang ibu. Zainab mengelus lengan anaknya lantas tersenyum penuh arti. Bejo balas tersenyum pada sang ibu, hatinya terasa lebih tenang setelahnya. Mata lelaki itu memindai sekeliling. Meski dia tidak pernah memilki, tetapi Bejo mengetahui merek mobil-mobil mewah itu. Ada Rolls Royce, Jaguar, Mercy, BMW, Ferrari, dan banyak lagi yang Bejo yakin harganya bisa mencapai miliaran. Bejo hanya bisa mengelus d**a. Jiwa miskinnya meronta. Tidak! Tidak! Aku harus bersyukur. Rejeki dari Allah, banyak sedikit harus disyukuri. "Kenapa, Mas?" Bejo menoleh ke arah Alia yang ternyata sudah berdiri di sisinya. Bejo menelan salivanya. "Kamu beneran nggak malu datang dengan mobil butut kayak gini? Ini harganya mungkin nggak ada sepersepuluh dari harga mobil yang paling murah di sini, lho?" Bejo berusaha meyakinkan lagi tentang perasaan Alia. Mungkin saja dia malu karena memiliki suami yang bukan dari kalangannya? Alia malah tertawa. "Mas ... Mas ... kalau aku malu, udah dari dulu aku nggak mau nikah sama kamu." Alia menggamit lengan suaminya. "Udah, yuk! Masuk dulu! Udah ditunggu nenek pasti." Bejo pun mengikuti Alia masuk ke dalam rumah besar yang bergaya klasik itu. Sungguh pesta orang kaya itu beda. Semua serba tertata indah dan juga mewah. Lampu-lampu sebening kristal menggantung indah di atas sana. Kalau malam pasti akan terlihat seperti berlian yang berkilauan. Bejo terus menatap ke depan. Dia sama sekali tidak menampilkan ketertarikan apa pun pada benda-benda di sekitarnya. Dia tidak ingin membuat Alia malu dengan sikapnya yang kampungan. Bejo menegakkan punggungnya, dan membusungkan dadanya. Setidaknya dia harus terlihat berwibawa di hadapan keluarga Alia yang lain. Saat mereka memasuki ruangan itu, semua mata seolah menatap ke arah mereka. Bejo benar-benar grogi kali ini. Seperti seluruh tulang telah dilucuti satu per satu. "Al! Alia!" Bejo mengguncang lengan Alia. "Apa, Mas?" tanya Alia setengah berbisik di telinga sang suami. "Aku takut." Entah kenapa Bejo malah mengucapkan kalimat itu? "Takut apa? Nggak ada setan juga." "Takut kalau kamu malu punya suami aku." Alia berhenti, dia menarik napas panjang lantas menatap lurus ke arah Bejo. Tangan Alia meremas lengan suaminya. "Jangan pernah mikir kayak gitu, Mas. Aku sama sekali nggak malu punya suami Mas Bejo. Malah aku bangga banget punya suami seperti Mas Bejo. Jadi, stop bilang gitu. Aku sayang dan cinta sama Mas. Nggak ada perasaan malu atau sejenisnya." Entah kenapa Bejo begitu tersentuh dengan kata-kata Alia barusan. Sejak kapan dia menjadi cengeng seperti ini? Bejo mengusap cairan bening yang merembes dari ujung mata. Ingat! Merembes bukan menetes. "Udah, yuk. Kita temui nenek sama kakek dulu." Mereka kembali berjalan menuju ke tempat kakek dan nenek Alia berada. Semenjak menikah, Bejo memang belum pernah berbincang lama dengan mereka. Mungkin kali ini adalah kesempatan bagi mereka untuk saling mengenal. "Kakek ...!" Langsung saja Alia melepaskan tangan Bejo dan menghampiri kakeknya. Dia tersenyum bahagia saat melihat cucu satu-satunya itu. Begitu pula nenek. Senyuman indah merekah tak pernah lepas dari bibirnya. Alia bergantian memeluk kakek dan nenek, lalu kedua orang tuanya. Bejo pun mendekat ke arah mereka. Dia mencium tangan mereka bergantian. Tiba di giliran ayah mertuanya, lelaki memeluk Bejo dengan bangga. Bejo benar-benar terharu berada di tengah keluarga ini. "Tuan Kertanegara, selamat untuk ulang tahun emas pernikahan kalian." Seorang pria botak dengan perut buncit datang menghampiri kakek dan nenek. Dia bersama dengan seorang wanita yang usianya mungkin lebih tua darinya. "Oh, Tuan Robert. Apa kabar? Terima kasih sudah datang." Bejo melirik ke arah Alia, kenapa dia terlihat begitu shock saat melihat lelaki itu? Pria yang bernama Tuan Robert itu pun segera menyalami semuanya. Saat tiba di depan Alia, dia menatapnya tajam dan Bejo bisa melihat sebuah senyuman jahat terbit di bibirnya. Ada apa ini? "Tuan Robert!" pekik Alia. "Kalian saling kenal?" tanya kakek. "I-itu ...."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN