STNM 3

1606 Kata
"Kami pernah sekali bertemu. Saya tak menyangka jika gadis manis ini adalah cucu Tuan Kertanegara." Bejo bisa melihat sorot mata tajam dari lelaki bernama Robert itu. Dengan tatapannya, dia seolah ingin mengintimidasi Alia. "Iya. Dia cucu satu-satunya yang paling manja," ucap kakek sembari tertawa. Bejo bisa melihat rona pias di wajah sang istri. Ada apa ini sebenarnya? Kenapa dia tidak pernah tahu tentang lelaki yang bernama Robert itu? Tinggi Tuan Robert hampir sama dengan Bejo, hanya saja perutnya buncit dan rambutnya sedikit botak di depan. Bejo mendesah berat. Tidak mungkin bukan dia cemburu pada lelaki itu? "Halo Nyonya Silvia. Apa kabar?" sapa kakek pada seorang wanita yang datang bersama dengan Tuan Robert. Dia datang bersama dengan seorang wanita yang terlihat lebih tua darinya, mungkin dia kakaknya atau mungkin temannya? "Halo, Tuan Kertanegara. Selamat ulang tahun pernikahan kalian yang ke lima puluh tahun." Wanita itu menyalami kakek, lantas dia memeluk nenek dan mencium kedua pipinya bergantian. Bejo melirik ke arah Alia. "Kamu kenapa, Sayang?" bisik Bejo. Dia tak mau terjadi apa-apa dengan sang istri. Dia sedang hamil dan berpikir keras sepertinya bukan hal bagus. Alia menoleh ke arah suaminya, dia tersenyum dengan sangat manisnya. "Aku nggak papa, Mas." Dia menggenggam tangan Bejo, seakan mencari kekuatan di sana. Bejo meremas tangannya, jika bisa akan menyalurkan sebanyak energi yang dia punya. Andai Bejo punya kekuatan untuk membaca pikiran, dia tidak akan ragu-ragu untuk membaca pikiran istri dan Tuan Robert itu. Namun, itu hanya perandaian yang tidak akan menjadi nyata. "Yakin, Al?" Bejo bertanya sekali lagi. Da tidak ingin istrinya memendam semua sendiri. Dia tahu jika Alia sedang tidak baik-baik saja. Bahkan Bejo bisa merasakan tangan sang istri basah oleh keringat dingin. Bejo menjadi semakin penasaran dengan yang namanya Tuan Robert itu? "Kalau boleh tahu, siapa dia, Tuan?" Tuan Robert berbicara pada Hadi Wijaya dan menunjuk ke arah Bejo. Mungkin saja dia melihat Bejo yang terus menggenggam tangan Alia. Jika tidak, bisa saja keberadaannya di sini tak ada yang melihat. Hadi mendekat ke arah Bejo, dia merangkul bahu menantunya itu. "Dia menantuku, suami Alia," ucap Hadi bangga. Apa papi benar-benar bangga memiliki menantu yang tak punya apa-apa sepertiku? Tiba-tiba Bejo kembali dikuasai rasa insecure-nya. Dia merasa tidak pantas berada di tengah-tengah mereka. Mendengar ucapan Hadi barusan, tentu saja banyak pasang mata yang langsung melihat ke arah Bejo. Hal ini tentu saja menimbulkan perasaan tak enak padanya. Meski biasanya dia mengajar di kelas, tapi sumpah demi apa pun ini sangat berbeda. Rasanya nano-nano, banyak rasanya. "Oh ... kapan anak Anda yang cantik ini menikah?" tanya Tuan Robert dengan tatapan yang tak percaya. Bejo yakin, semua orang juga menatap dengan tatapan itu. Bejo bisa tahu karena dia melirik ke arah beberapa orang yang masih menatap kami dengan tatapan penuh pertanyaan. "Sekitar tiga bulan yang lalu, Tuan Robert." Alia merapatkan tubuhnya pada tubuh suaminya, sedang genggaman tangannya semakin erat. Alia mencoba tersenyum, tetapi Bejo sangat tahu itu bukan senyum tulus, seperti yang sering dia berikan padanya. "Oh ...." Tuan Robert menatap Alia dengan tatapan penuh penyesalan. "Maafkan kami yang sama sekali tak tahu masalah itu." Jelas sekali wajahnya penuh dengan kepura-puraan. Bejo sepertinya harus hati-hati dengannya. Dia langsung mengirimkan sinyal bahaya pada otaknya. "Kami memang sengaja belum membuat pesta. Rencananya, pesta akan terselenggara bulan depan." Bejo langsung melotot saat Hadi mengucapkan hal itu. Sejak kapan ada rencana pesta pernikahan mereka? Bahkan Alia pun sama sekali tak membicarakan hal itu. "Kami sangat menunggunya, Tuan Wijaya!" seru Tuan Robert sembari memutar badannya, seolah dia sedang memberi pengumuman pada semua orang yang ada di sana. Tepukan meriah langsung saja menggema di ruangan ini. Bukannya senang, tetapi Bejo justru merasakan kepalanya berkunang-kunang. Rasa mual itu datang lagi dan perutnya seolah ingin memuntahkan lahar panas yang ada di sana. "Kamu kenapa, Mas?" Alia begitu khawatir melihat suaminya yang terlihat semakin pucat. "Kamu pucat banget." Bagaimana tidak pucat, jika Bejo saja mati-matian menahan rasa mual di perutnya. Dia tidak mungkin muntah di tempat itu. Istrinya pasti sangat malu jika itu terjadi. Tahan, Bejo. Kamu harus tahan. Ini semua demi nama baik istri kamu dan keluarganya. Mungkin saja nasib baik sedang berpihak pada Bejo, nyatanya perasaannya kembali membaik dan rasa mual yang tadi dia alami, hilang tak bersisa. Anak baik, kamu pasti juga tidak mau jika mama kamu malu, 'kan? Bejo tersenyum, rupanya anak dalam kandungan Alia bisa mengerti tentang kegelisahannya. "Aku nggak papa, Sayang," jawab Bejo agar Alia tak lagi khawatir. Dia tidak mau istrinya terus-terusan khawatir padanya. Alia sedang hamil, tak baik banyak pikiran. "Alia!" Terdengar suara melengking yang asalnya dari belakang mereka. Langsung saja Alia menoleh dan begitu pula suaminya. Bejo dapat melihat sebuah wajah tampan, dan masih muda. Mungkin seusia Alia. Pakaiannya sangat rapi, dengan perawakan tinggi besar. Dia tersenyum, berjalan ke arah mereka. "Bastian!" pekik Alia. Wajah Alia sumringah saat melihat lelaki itu. Bejo tak suka saat istrinya tersenyum pada pria lain. Terlebih yang lebih tampan darinya. Tapi, Bejo tetap merasa paling tampan di sini. Ah ... dia benar-benar sudah narsis sekarang. "Hai, Al. Bagaimana kabar lo?" Mata Bejo membulat kala lelaki itu merentangkan tangannya, berusaha memeluk Alia. Langsung saja dia menarik Alia. Bejo tidak mau ada yang menyentuh istrinya selain dirinya. Pria itu pun akhirnya hanya memeluk angin, seperti ini saja Bejo sudah puas. Bejo tersenyum smirk karena lelaki itu gagal menyentuh istrinya. Alia yang merasakan tarikan, menatap Bejo dengan tatapan bingung. Seolah ingin bertanya, Ada apa, Mas?. Lelaki yang bernama Bastian itu memicing sembari melihat ke arah Bejo. Mungkin dia penasaran dan bertanya-tanya dalam hati, siapa lelaki yang telah lancang menggenggam tangan Alia? "Perkenalkan ...!" Bejo mengulurkan tangannya untuk dijabat lelaki itu. "Saya Bekti Jonathan." Bastian menyambut uluran tangannya. "Panggil saja saya Bejo. Dan saya adalah suami Alia," ucap Bejo mantap. Bejo harus menandai miliknya, agar orang lain tak seenaknya saja mendekatinya. "Su-suami? Lo udah nikah, Al?" Dia menatap Alia dan Bejo bergantian. Sepertinya anak muda ini shock dengan kenyataan yang Bejo ungkapkan. Ke mana saja tadi dia? Kenapa berlagak terpukul seperti itu? Apa artinya, dia memang ada perasaan sama Alia? Alia tersenyum, dia mengangguk."Ya. Gue dah nikah, Tian. Mas Bejo suami gue." Tubuh Alia mepet ke tubuh Bejo, dan dia suka jika seperti ini. Dia sangat mengerti dengan kegelisahan suaminya. Alia melihat ke arah Bejo. "Mas, dia ini Bastian. Dia masih saudara jauh aku," jelas Alia. "Hai, Bastian. Senang berkenalan denganmu." Bejo tersenyum, sebagai orang yang lebih dewasa, seharusnya dia bisa lebih bijak. Dia masih seusia Alia, pastinya emosinya juga seperti istrinya ini. "Saya juga senang bisa berkenalan dengan Anda, Pak Bejo." Entah memang benar atau hanya dugaan Bejo saja, Bastian menekankan ucapannya saat menyebutkan nama Bejo. Dasar anak-anak. Setelahnya, jabatan tangan mereka terlepas. "Dia dari kalangan apa? Kenapa gue sangat asing dengan namanya. Siapa tadi? Bejo? Kayak iklan sirup masuk angin saja." Bejo memutar bola mata malas saat mendengar olokan bastian. Jika biasanya dia akan bersikap tenang, entah kenapa kali ini hatinya terasa lebih sensitif. Ya Allah, bolehkah aku membencinya saat ini juga? Aku melirik ke arahnya dan melihat dia tengah tersenyum menjengkelkan. Sabar Bejo, sabar. "Bukan dari kalangan kita. Suami gue ini seorang dosen, dia seorang pahlawan." Ada rasa haru di hati Bejo saat Alia mengucapkan hal itu. Sungguh dia merasa berharga di sini. Bejo menatap sendu ke arah Alia itu, lelaki itu menjadi semakin mencintai Alia. Bastian hanya manggut-manggut. Bejo berharap dia tak lagi menampakkan dirinya di hadapan mereka. Sungguh Bejo tak bisa saat melihatnya menatap Alia dengan tatapan memuja. Bejo mengakui jika istrinya ini memang sangat cantik, tetapi dia tak bisa membagi kecantikannya pada orang lain. "Oke! Lo sekarang pegang perusahaan Kakek Kertanegara? Gantiin Tante Cantika? Tante memang nggak suka, ya, sama urusan kayak gitu? Tapi, nggak papa, sih, Om Hadi Wijaya juga udah kaya. Ngapain Tante pusing memikirkan perusahaan. Kecuali jika suaminya memang ... ehm, bukan dari kalangan pengusaha, mungkin beda ceritanya," cerocos Bastian yang panjangnya seperti rel kereta api. Rasanya Bejo sangat ingin menyumpal mulut itu dengan kaos kaki miliknya. Lelaki kaya kok omongannya tidak terpelajar. Terbuat dari apa bibirnya itu? Kenapa bisa sepedas itu? Bejo pikir anak orang kaya bisa berbicara lebih terpelajar, tetapi nyatanya sama saja. Mulut mereka nyatanya bisa menyakiti lebih. Bukannya Bejo tidak melihat ekor matanya yang sedari tadi melirik ke arahnya. Dia memang dengan sengaja berniat menghina suami Alia itu. "Gue bangga ama rumah tangga gue. Dan gue sudah bisa hidup enak meski tanpa suami kaya." Alia benar-benar berusaha membela suaminya. Tentu saja dia tidak ingin suaminya direndahkan oleh orang lain. Meski kenyataannya tak seperti itu. Bejo menunduk, menyadari bahwa apa yang dikatakan oleh Bastian adalah kebenaran. Sejak menikah dengannya, hidup Alia tidak seperti yang dia katakan tadi. Dia tak bisa belanja, tidak bisa nongkrong. Bejo mendesah kasar, mengingat jika dia hanya memberinya uang saku seratus ribu sehari. Bisa-bisanya kamu, Bejo! makiku pada diriku sendiri. Saat ini Bejo merasa jika dunianya berputar. Dia harus segera pergi dari sini, sebelum lahar panas yang ada di perut, keluar. Bejo berjalan tak tentu arah, hanya mengikuti ke mana kaki melangkah. "Mas!" Panggilan dari Alia sama sekali tak menyurutkan langkah Bejo untuk terus berjalan. Hatinya panas, lebih panas dari pada saat kakinya tersiram air mendidih waktu dia kecil dulu. "Aku mau ke kamar mandi dulu, Al." Bejo berbalik sejenak, tak ingin membuat istrinya khawatir. Bejo yakin wajahnya kini sudah sangat pucat. Perutnya rasanya tengah diaduk-aduk. Apa gejala itu datang lagi? "Aku antar, Mas." Tiba-tiba saja Alia sudah berada di samping sang suami, menggandeng lengannya. Bejo melihat sekilas ke arah istrinya itu. Aneh! Perasaan apa ini? Kenapa Bejo merasa jika dia membencinya? Apa yang terjadi pada otaknya? "Aku bisa sendiri!" Bejo menghempaskan tangannya. Sekilas, lelaki itu bisa melihat wajah kecewa dari istrinya. Apa aku telah menyakitinya? Entahlah! Aku saat ini hanya ingin jauh-jauh darinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN