03. Bertemu Mas Sandi lagi

1454 Kata
"Sepertinya aku akan merangkai cerita yang panjang hanya karena tawamu hari ini." ---- Ayu masih setia dengan ponselnya. Tidak, bukan sedang berbalas pesan, melainkan membaca di platform favoritnya seperti biasa. "Yu, antar pesanan nih. Sudah ditunggu!" teriak Delima dari arah dapur. Perasaan Ayu sedang stabil dan tidak berminat untuk debat dengan sang ibu langsung menaruh ponselnya ke dalam saku jaket yang akan dikenakannya. Setelah mengikat rambutnya sembarang, gadis itu segera menemui Delima dengan wajah sumringah. Maklum, mood pembaca kadang dipengaruhi oleh apa yang ia baca. Kebetulan, Ayu baru saja membaca cerita tentang perempuan yang hidup apa adanya, menjalani hidupnya dengan ceria meski banyak masalah yang harus dihadapinya. Kini semangat itu tertular pada Ayu yang akan menjalani hidupnya tanpa beban meski untuk sementara pekerjaannya hanya membantu ibunya mengantar catering. "Nah, anak ibu cantik kalau sumringah begini. Gak suram kelihatannya." Delima mengusap puncak kepala Ayu. "Ibu cuma ingin lihat Ayu tetap ceria. Masalah pekerjaan sebenarnya Ibu gak terlalu permasalahankan, yang penting Ayu harus bisa menerima apapun yang sudah Allah gariskan. Rejeki gak bakal tertukar, Yu. Asal kamu yakin dan percaya, inshaallah suatu saat Ayu bakal memetik apa yang Ayu tanam." Ayu merasa hatinya menghangat mendengar ucapan ibunya. Tidak ada omelan seperti biasa. Nasihat wanita paruh baya itu menjadi penyemangatnya hari itu. Tanpa berlama-lama, Ayu menenteng kotak-kotak yang sudah disusun itu menuju motornya. "Hati-hati, kalau mau telat pulang kabarin Ibu ya. Jangan kelayapan gak jelas." "Siap, Bos!" Ayu melaju dengan motor maticnya setelah mencium punggung tangan Delima. **** "Macet banget sih? Gak tau orang buru-buru apa? Duh mana panas banget lagi, padahal masih pagi." gerutu Ayu sambil terus mengipasi wajahnya yang mulai memerah karena sengatan sinar matahari. Ia juga menyingkirkan rambut yang keluar dari helm dan mengenal wajahnya. "Eh kok ngeluh sih? baru tadi bilang mau sabar. Dasar Ayu!" Gadis itu mengetuk helmnya sendiri dan membuat pengendara di sampingnya mengernyit heran. Ayu hanya tersenyum kaku menahan malu. Memang sifat absurdnya kadang tidak bisa dikontrol. Selalu keceplosan di tempat umum. Misinya selesai namun rasanya Ayu tidak ingin buru-buru pulang. Mumpung keluar, ia ingin menghabiskan waktunya di luar rumah. Karena biasanya ia hanya diam di dalam kamar, bilang bosan tapi kalau diajak jalan teman juga bilangnya mager. Restoran cepat saji sepertinya ide bagus. Sekalian makan siang plus dapat WiFi gratis. Ayu bisa bersantai sejenak, siapa tahu bisa bertemu jodoh kan? "Ah jodoh paha ayam!" Ayu mengetuk kepalanya yang mulai berpikir aneh. Setelah memesan, Ayu mengedarkan pandangannya ke seisi restoran. Cukup penuh dan susah melihat tempat mana yang kosong. Tangannya mulai pegal karena membawa baki berisi satu porsi ayam + nasi, burger, french fries, minuman soda dan sebotol air mineral. Jangan heran, itu memang porsi makan Ayu. Meski badannya cukup ramping, selera makannya cukup jago. Malah ia masih berpikir jajan lagi untuk dibawa pulang. "Maunya gak ngeluh tapi ada aja yang bikin kesel." Ayu menggembungkan pipinya sampai terlihat akan meledak. Itu memang sudah menjadi kebiasaannya kalau sedang bosan. "Permisi." Suara orang di belakangnya membuat Ayu menoleh dan menghentikan gerutuannya. Ia baru sadar kalau sudah menghalangi jalan orang lain. "Maaf, maaf. Saya lagi cari meja juga tapi penuh." Ayu menyingkir tanpa melihat orang yang bicara dengannya. "Itu kosong." tunjuk orang itu pada meja yang berada di pojok dekat jendela. "Mbaknya gak nyari meja, tapi lagi ngelamun." "Eh." Ayu menoleh pada orang yang tengah tertawa itu. Jantungnya hampir saja lepas dari tempatnya. Sandi. Orang itu ternyata Sandi. Dan lelaki itu kini sedang tertawa. Benar tertawa dan Ayu tidak salah lihat. Lelaki itu tampak lebih menawan saat tertawa. Jantung Ayu sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. "Ayu lagi." Sandi juga ternyata baru mengetahui jika perempuan yang menghalangi jalannya ternyata Ayu. "Bosen ya, Mas?" kekeh Ayu kaku. "Nggak. Cuma kita sering ketemu karena kebetulan ya?" Sandi lagi-lagi tersenyum ke arah Ayu. Runtuh sudah pertahanan hati Ayu. Ke mana perginya tulang kaki Ayu? Lemas sudah. "Ayo duduk sama-sama. Mejanya cuma satu." ajak Sandi. "Tapi, Mas" "Kebanyakan basa basi gak bakal bikin kamu dapat meja." "I... Iya, Mas." Ayu mengekori langkah Sandi. "Mas Sandi sendiri?" "Sama teman. Tuh!" tunjuk Sandi pada dua orang yang tengah berjalan ke arah mereka. Seorang perempuan dan laki-laki yang mengenakan seragam yang sama dengan Sandi. "Eh, Ayu ganggu dong. Duduknya gak muat nanti." tolak Ayu yang kemudian berdiri dan hendak mengambil baki makanannya. "Ini ada empat bangku, Yu. Tenang aja. Teman saya gak gigit kok." kekeh Sandi. Ingatkan Ayu berapa kali Sandi tertawa hari ini. Ah bukan hari ini, tapi beberapa menit lalu. Lelaki itu sukses menyihir Ayu dengan tawanya. "Bukan gitu, Mas. Tapi nanti kalian malu kayak bawa gembel gini. Kalian berseragam, sedangkan Ayu berantakan." "Hallo. Sorry kita kena macet, Ram. Lama nunggu ya?" Wanita yang sepertinya tengah hamil itu memposisikan duduk di samping Ayu. Sedangkan, pria yang bersamanya duduk di seberangnya. "Biasa, bini gue ngidamnya lagi aneh. Jadi kita kena macet deh." Pria itu mencoba menjelaskan. Ayu dapat menyimpulkan jika dua orang teman Sandi itu pasangan suami istri. Lalu? Sekarang mereka berempat duduk berhadapan dengan pasangan masing-masing. Mereka seperti tengah double date. Tapi tunggu, Sandi dan Ayu kan tidak ada hubungan apa-apa. Lagi-lagi pikiran liar menjalari kepala Ayu. Gadis itu menggelengkan kepalanya dan tentu saja membuat Sandi menatapnya heran. "Kenapa, Yu?" bisik Sandi. Ayu hanya menjawabnya dengan gelengan kepala. "Oh iya, Yu kenalin ini Fahmi dan Fira." tunjuk Sandi pada kedua temannya. "Ayu." Gadis itu mengangguk dan menoleh pada kedua orang itu. "Hai, Ayu. Kamu kenal Ram--" sebelum Fira melanjutkan pertanyaannya, Sandi segera memotong pembicarannya. "Dia anak teman Mama. Iya kan, Yu?" tanya Sandi sambil memberikan kode lewat tatapannya. Untung saja Ayu yang biasanya lemot dan tidak pekaan ini langsung menangkap maksud tatapan Sandi dan langsung menganggukkan kepala. "Terus gak sengaja ketemu dia di sini. Karena gak kebagian tempat, diajak gabung aja ke sini." Sandi mencoba meyakinkan kedua temannya. Ayu tidak mengerti mengapa Sandi menyembunyikan fakta bahwa mereka hanya sekedar penulis dan penggemar. Dan lagi, temannya memanggilnya 'Ram'. Banyak sekali pertanyaan yang kemudian berkecamuk di kepala Ayu namun tidak ingin ia keluarkan. Karena bagaimanapun ia tahu batasan, juga karena ia dan Sandi baru bertemu beberapa kali. Namun, semua pertanyaan itu tidak bisa ia abaikan begitu saja. Dan lagi anehnya nada bicara Sandi pada temannya dan kepada Ayu berbeda. Saat menjelaskan pun terkesan datar saja, beda saat tadi ia mengobrol bersama Ayu yang banyak diselingi dengan tawa. "Mas, Mbak, kalau boleh, saya pamit duluan ya. Takut Ibu nunggu. Terima kasih." Ayu segera pergi setelah diiyakan oleh Fira bahkan sebelum Sandi mengucapkan sesuatu. "Duh mati gaya gue!" Ayu mengipas-ngipas wajahnya dengan telapak tangannya sebelum menancapkan kunci motornya. Gadis itu urung menghidupkan motornya saat ponselnya berbunyi. Ia hampir membanting ponselnya ke lantai saat membaca siapa yang mengiriminya pesan. Mas Sandi : Kok buru-buru, Yu? Ayu : Iya, Mas. Takut dicariin ibu. Hehe Apa yang dikatakan Ayu tidak sepenuhnya bohong, karena selain minder, ia juga lupa izin pulang telat pada Delima. Mas Sandi : Oke. Hati-hati ya. Jangan ngebut! Sontak saja, senyuman terbentuk di bibir Ayu. Wajahnya langsung bersinar seperti matahari yang baru saja menampakkan diri dari ufuk timur. Tiba-tiba saja sifat remajanya kembali, padahal ia sadar sudah bukan ABG lagi, tapi pesan Sandi benar-benar membuatnya kasmaran. Seperti anak SMA yang tengah berbalas pesan dengan gebetan. Ayu : Thanks, Mas. Ayu pulang dulu ya. Bye. Setelah mengirimkan pesan itu, Ayu langsung tancap gas menuju rumahnya. **** "Tumben, Dek. Pulang antar pesanan mukanya cerah banget. Padahal, di luar panas loh, tapi kamu gak ngeluh gerah, macet dan kawan-kawannya." Celotehan Arjuna hanya Ayu balas dengan cebikan. Arjuna yang memang dasarnya usil, tidak sungguh-sungguh berkata demikian. Hanya saja ia senang melihat adik semata wayangnya merajuk. "Mas bawain frappuccino kesukaan Adek tuh. Minum dulu gih. Nanti, kalau udah gak dingin gak enak." Ayu yang hampir merajuk langsung berbalik lagi ke arah Arjuna kemudian memeluk kakaknya yang terpaut usia enam tahun dengannya itu. "Mas Juna memang terbaik." Ayu mengacungkan kedua jempolnya pada Arjuna setelah melepas pelukannya. "Memang Masmu ini baik. Kapan coba Mas Juna jahat?" "Tuh kan, baru dipuji udah gitu lagi. Au ah!" Arjuna lagi-lagi tertawa menyaksikan tingkah Ayu yang masih seperti anak kecil. Mas Sandi : Sudah sampai? Ayu hampir tersedak frappuccino yang tengah diminumnya saat membaca pesan yang Sandi kirimkan. Ayu : Sudah dua puluh menit lalu, Mas. Mas Sandi : Syukurlah. Setelah itu Ayu tidak membalas pesan Sandi lagi. Bahkan, ia tidak membukanya. Ia tidak tahu apa yang harus ia tuliskan sebagai balasan. Gadis itu memilih menaruh ponselnya dan membiarkannya kehabisan daya. "Ini aku yang berlebihan atau memang sikap Mas Sandi yang memang beda? Ah pusing!" Ayu mengacak rambutnya sendiri kemudian melemparkan tubuhnya ke atas kasur empuk miliknya. Baru beberapa jam saja keluar, Ayu sudah rindu lagi pada tempat empuk nan halus ini, hingga ia tertidur begitu saja seperti hilang semua pikiran tentang Sandi dari kepalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN