02. Jadi, begini rasanya?

1151 Kata
Penulis dan apa yang ditulisnya ternyata sama. Sama-sama membuatku baper stadium akhir. ---- Ini sudah kedua kalinya Ayu membaca novel karya Sandi yang sebenarnya sudah dibaca habis semalam suntuk. Tetapi siang ini, gadis yang masih belum bekerja itu mengulangnya lagi sambil bermalas-malasan di atas kasur. Ayu, Ibu manggil tuh. Punya kuping kok dipajang doang! teriakan Arjuna -kakak Ayu- memaksa gadis itu menutup novelnya dan menaruhnya sembarang. Mas Juna kalau masuk ke kamar Ayu tuh ketuk dulu jangan langsung teriak. Ayu kan kaget. Ibu panggil-panggil dari bawah kamu gak denger, Mas panggil juga gak jawab. Makanya, Dek kalau nganggur itu jangan tidur terus, bantu Ibu. Ayu memutar bola matanya malas, beginilah nasibnya sekarang, menganggur dan menerima banyak ceramah dari kakak dan ibunya setiap hari. “Nggeh, Mas Juna yang paling ganteng sejagad raya. Ayu berjalan melewati Arjuna yang masih berdiri di depan pintu kamarnya. Kakak sulungnya itu hanya menggeleng heran melihat sikap adik bungsunya yang masih saja bertingkah kekanakan. Yu, bantu Ibu antar pesanan ya. Delima membereskan kotak-kotak catering yang sudah siap antar. Kenapa gak pakai ojek online aja sih, Bu? Ayu menghela napas. Cuaca di luar memang sudah cukup mendung dan tidak memungkinkan untuk berkendara menggunakan sepeda motor. Malangnya, Ayu tidak bisa mengendarai mobil. Terus, anak gadis nganggur di rumah kerjaannya apa? tanya Arjuna yang berjalan ke arah dapur. Mas Juna nih kayak bensin. Nyamber aja! Ayu memajukan bibirnya. Ia paling tidak suka jika sudah disindir masalah pekerjaan. Pasalnya, bukan sekali dua kali Ayu melamar pekerjaan. Namun, namanya belum beruntung ya harus bagaimana? Omelan ibu dan kakaknya harus jadi santapannya setiap hari. Ya sudah, Ayu berangkat. Gadis itu berjalan lesu sambil menjinjing kotak catering yang sebagian lagi dibawakan oleh Delima menuju halaman depan. Hati-hati. Kamu kalau bawa motor kan suka belagak jago. Mas Juna bawel banget. ya? Memang dasar bujangan lapuk hobinya ngomel terus. balas Ayu gemas. Arjuna yang disinggung perihal status langsung tersulut emosi. Padahal, usianya sekarang baru menginjak dua puluh delapan tahun. Menurut Arjuna, laki-laki masih sah melajang di usia tersebut. Kalian malah ribut. Cepat, Yu nanti hujan! bentak Delima menyudahi perang dingin kedua kakak-beradik itu. Habis Mas Juna tuh, ngatain Ayu pengangguran terus. Gak sadar apa dia juga jones! teriak Ayu tak mau kalah. Daripada kamu, nganggur iya, pacar juga gak punya! balas Arjuna sengit. “STOP! ARJUNA! KAMU JUGA MASIH SAJA HOBI GODAIN ADIK KAMU! Bentakan Delima sontak membuat keduanya terdiam. Ayu memilih menghidupkan motornya daripada harus mendengar omelan ibunya lebih banyak. **** Eh, eh, kok hujan? Ayu menepikan motornya di halte yang saat itu cukup ramai oleh orang yang juga tengah berteduh. Setelah mengirimkan pesan pada orang yang memesan cateringnya, Ayu menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jaketnya. Sebenarnya, bisa saja Ayu menerobos hujan karena gadis itu membawa jas hujan. Namun ia tidak ingin mengecewakan pelanggan ibunya karena makanan pesanannya rusak. Acaranya satu jam lagi. Kalau aku gak sampai lokasi bisa rusak reputasi ibu, gumam Ayu sambil mengosongkan kedua telapak tangannya karena hawa dingin yang mulai merayapi kulitnya. Beberapa orang sudah meninggalkan halte karena taksi online yang mereka pesan sudah tiba. Atau malah jemputan. Ayu tidak terlalu peduli sebenarnya. Yang ia pikirkan adalah, bagaimana caranya pesanan cateringnya sampai tanpa acara telat sementara hujan masih enggan menghentikan derasnya. Ayu. Samar-samar terdengar suara orang yang memanggil namanya. Ayu melihat kanan kirinya, tidak ada yang ia kenali dan tidak ada orang yang memperhatikannya. Sampai suara itu terdengar sekali lagi, Ayu akan nekad saja menerobos hujan. Bulu kuduknya tiba-tiba merinding. Ayu. Kali ini, bukan hanya panggilan. Namun, sebuah tepukan mengenai bahunya. Kamu kenapa kayak panik gitu? “Astagfirullah, Mas Sandi! Ngapain di sini? tanya Ayu saat mengetahui yang memanggilnya itu ternyata Sandi. Meski hatinya masih berdebar cepat. Mau ke mana? tanya Sandi yang menyadari apa yang Ayu bawa. Antar pesanan. Mas Sandi ngapain di sini? Lihat kamu yang kayaknya butuh bantuan. Sandi memamerkan gigi putihnya yang tersusun rapi. Demi apapun jantung Ayu berdebar lebih cepat. Bukan karena takut, tapi karena senyuman Sandi yang mempesona. Lelaki itu kini menggunakan seragam berwarna coklat muda khas pegawai negeri. Badan tegapnya terlihat lebih menawan dibalut dengan seragam yang dikenakannya. Sebentar lagi juga hujannya reda, Mas. Ayu gak mau ngerepotin. Sebenarnya, Ayu bahagia saja. Namun, berada di dekat idola dalam jarak sedekat ini membuatnya tak mampu menahan rasa groginya. Nanti kalau pesanannya telat, kasihan Ibumu dong. Bintangnya turun. Ayu memberanikan diri menatap wajah lelaki itu, mencari tahu punya ilmu apa Sandi itu. Mengapa bisa tahu apa yang Ayu pikirkan? Ayo! Sandi menarik lengan Ayu yang entah sudah berapa lama bengong di sana sampai tidak sadar jika kotak makanan yang dibawanya sudah Sandi pindahkan ke dalam bagasi mobilnya. Motor Ayu gimana, Mas? Memangnya kamu gak sadar kalau tadi saya berdua? Ayu mengerutkan keningnya karena memang tidak tahu jika Sandi bersama orang lain. Tadi, saya tanam teman saya di halte sana buat jagain motor kamu, kekeh Sandi. Jahat! Temannya cewek apa cowok? Laki-laki lah. Mana tega saya ninggalin perempuan di halte dalam keadaan seperti ini. Ayu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar jawaban Sandi. Ternyata, ia saja yang kelewat percaya diri. Mungkin Sandi juga akan melakukan hal yang sama pada perempuan yang dikenalnya. Alamatnya? Pertanyaan Sandi sontak saja membuyarkan lamunan Ayu. Gadis itu kemudian menyerahkan secarik kertas yang tadi diberikan ibunya. Entah apa maksudnya Sandi tersenyum setelah membaca alamat yang Ayu berikan. Mas, kok ketawa? Itu alamatnya memang konyol. Tapi Ibu Ayu yang kasih langsung kok. Jadi dijamin itu bukan alamat palsu. Ini kan Ayunya beda. Celotehan Ayu membuat Sandi semakin tertawa. Tentu saja, hal itu membuat Ayu semakin tak enak hati karena terlalu banyak bicara. Maaf, Mas. Ayu bawel ya? Iya, jawab Sandi to the point membuat Ayu semakin gelisah. Tapi jarang-jarang mobil saya ramai. Saya malah senang ada orang yang mau ngobrol banyak selain pekerjaan. Kali ini, Ayu boleh percaya diri lagi tidak? Sandi ternyata tidak seperti apa yang ia pikirkan. Karena dalam pikiran Ayu, penulis yang sudah terkenal pasti menjaga jarak dengan penggemarnya, ditambah parasnya yang tampan, sudah pasti sulit hanya sekedar bertukar pesan dengannya. Namun, paradigma itu sudah Ayu patahkan sejak ia kenal dengan Sandi. Makasih banyak ya, Mas. Tadi direpotin antar pesanan, sekarang malah ditraktir makan. Ayu jadi enak. Sebagai tanda terima kasih saya karena kamu selalu beli buku saya. Yang beli kan ribuan orang, Mas. Terus, Mas Sandi traktir satu-satu? Saya kan gak kenal mereka. Kenalnya kamu aja yang panggil saya Mbak Matahari. Ayu menundukkan kepalanya karena malu mendengar ucapan Sandi. Sebenarnya, Ayu sangat ingin menenggelamkan dirinya ke dasar laut jika ingat sudah memanggil Sandi dengan panggilan Mbak. Maaf, Mas. cicit Ayu yang masih belum berani mengangkat wajahnya. Santai aja. Malah saya dapat hiburan tiap baca komentar kamu. Lucu. Entah apa yang Ayu rasakan sekarang, yang pasti jantungnya berdetak sangat cepat dan tidak beraturan. Rasanya bisa sedekat ini dengan penulis favorit tidak bisa Ayu deskripsikan. Yang jelas, Ayu sangat bahagia sampai ia lupa jika mobil Fortuner milik Sandi sudah berhenti di halte tempat motornya terparkir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN