DUA BELAS
Urusan Amira dan Alfar sudah selesai.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam, mobil sedan Amira sampai juga di tempat tujuan. Alfar mengembalikan perseneling ke posisi netral dan menarik rem tangan. Cowok itu melongokkan kepalanya sedikit, memperhatikan rumah bertingkat dua milik Brian dan decakan kagum itu lolos dari mulutnya.
“Rumah sahabat kamu ini besar banget, ya?”
Amira hanya tertawa dan mengangguk. “Nggak sebesar itu juga, kok.” Cewek itu melepas seatbeltnya dan melirik Alfar sekilas. “Mau mampir?”
“Briannya ada?” Alfar sekali lagi melongok ke dalam dan menemukan dua mobil bertengger manis di halaman rumah itu. Pajero sport dan terios.
“Mmm....” Amira ikut menengok ke arah rumah tersebut dan mendengus. “Belum pulang, kayaknya. Motor kebanggaannya belum ada di halaman.”
“Kalau gitu, mungkin lain kali.” Alfar membuka pintu mobil dan turun. Tak lama, Amira mengikuti jejak cowok itu dan keduanya berdiri di depan mobil Amira. “Aku nggak enak kalau harus bertamu ke rumah orang, sementara tuan rumahnya lagi nggak di rumah.”
“Aku benar-benar t***l, selama ini nggak pernah sadar dan peka sama perasaan kamu untuk aku itu, Mir,” kata Alfar. Tangannya mengusap pipi Amira, berharap bisa mengurangi rasa dingin yang tertancap pada kulit mulusnya itu. “Seandainya waktu bisa kembali diputar, aku pasti nggak akan pernah—“
“Kak,” potong Amira lembut. Dia meraih tangan Alfar yang masih bertahan pada pipinya, kemudian membawa tangan itu menjauh. Sebagai gantinya, Amira membiarkan Alfar menggenggam erat tangannya dan cewek itu tersenyum tulus. “Semua udah berlalu. Kita juga udah janji buat nggak ngomongin hal itu lagi, kan?” Amira menarik napas panjang. “Yang penting, aku tau kalau Kakak membalas cinta aku pada akhirnya, meskipun saat aku tau semuanya, perasaan aku ke Kakak udah berubah. We’re friends now, right?”
Ketika jari kelingking Amira terarah padanya, Alfar sempat tertegun lantas terbahak. Amira benar-benar cewek polos yang menggemasakan. Tangan Alfar terulur, meraih kepala Amira dan mengacak rambut cewek itu, sebelum akhirnya mengaitkan kelingkingnya ke kelingking Amira.
Suara deru motor, disusul dengan cahaya berwarna putih menyilaukan membuat Alfar dan Amira menoleh. Keduanya menyipitkan mata kala melihat motor sport itu berhenti tepat di depan mereka. Sambil memasang sikap waspada kepada si pengendara yang menutupi kepalanya dengan helm tersebut, Alfar membawa Amira ke belakang tubuhnya. Menggunakan tubuhnya sendiri sebagai perisai untuk cewek itu.
“Mau berlagak seperti pahlawan, heh?” tanya orang tersebut dengan nada mengejek, membuat Amira hampir tertawa di belakang punggung Alfar. “Lo pikir, lo power ranger?” Sambil melepas benda yang menutupi wajah dan kepalanya itu, Brian mendengus dan menunjuk Alfar. “Ngapain lo nyembunyiin Amira di sana? Keluarin!”
Tidak menyangka bahwa itu adalah Brian—siapa suruh penampilannya macam berandalan begitu, Alfar mencibir dan menggeser tubuhnya agar Brian bisa melihat wajah sahabatnya dengan jelas. Cowok itu melirik Brian, menaikkan satu alisnya ketika menyadari raut wajah muram sahabat Amira itu, yang kemungkinan besar sedang dia usahakan untuk tersembunyi.
“Lo ke mana seharian ini?” tanya Brian pada Amira dengan nada lelah yang tertangkap di kedua telinga Alfar, namun sepertinya yang ditanya sama sekali tidak menyadarinya. “Gue telepon nggak direspon.”
“Sori.” Amira memasang raut wajah menyesal. “Gue nggak sengaja ninggalin ponsel di mobil. Gue pergi sama Kak Alfar seharian ini. Main.”
“Oh,” hanya itu respon yang diberikan oleh Brian. Dia mendorong motornya masuk ke halaman dan berdiri tepat di samping kendaraannya itu. Mata dan pikirannya tanpa sadar menerawang ke kejadian di kantin tadi saat bersama dengan Elang. “Kalau gitu, jangan kelamaan ngobrolnya di luar. Gue masuk dulu.”
“Aneh,”
“Ya?” Alfar mendekati Amira dan berdiri di samping cewek itu.
“Sikap Brian,” jelas Amira tanpa menoleh ke arah Alfar. Tatapannya terus mengarah pada rumah sahabatnya itu. “Nggak biasanya dia bersikap seperti ini.”
“Aku pikir kamu nggak sadar soal itu,” aku Alfar kemudian menyentuh lengan Amira. Cewek itu memutar tubuh dan tersenyum ketika Alfar memberikan senyumannya. “Aku pamit dulu, ya. Sampaiin salam aku buat Brian.”
“Kak Alfar naik apa? Mobilnya masih di kafe yang tadi, kan?”
“Nggak usah khawatir. Aku naik taksi aja, gampang.” Cowok itu mengucapkan selamat malam dan melambaikan tangan. Ketika taksi pertama melintas di depannya, Alfar segera menghentikan kendaraan tersebut, kemudian masuk ke dalam. Sekali lagi, cowok itu melambaikan tangannya kepada Amira, meskipun dia sudah berada di dalam taksi.
Sepeninggal Alfar, Amira merenung. Dia menatap jendela kamar Brian yang berada di lantai dua dan berhadapan langsung dengan jalan. Cewek itu tidak langsung masuk ke dalam rumah. Ada yang aneh pada sahabatnya, Amira yakin itu. Seingatnya, tadi sikap Brian masih baik-baik saja saat berada di kampus, ketika Elang...
Apakah Brian dan Elang bertemu tanpa sepengetahuan dirinya? Bukankah tadi dia pergi dari hadapan Elang dan Brian masih ada di sana? Apa... apa yang mereka lakukan setelah dia pergi?
Tidak peduli dengan waktu yang sudah semakin malam, Amira masuk ke dalam mobil. Cewek itu terdiam sebentar, mencengkram kemudi mobilnya dan memantapkan hati. Dadanya mulai bergolak dan jantungnya berpacu cepat. Suka tidak suka, dia harus pergi dan mencari tahu apa yang terjadi pada Brian.
Di rumah, Brian nampak gusar. Cowok itu mengacak rambut dan menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Ucapan Elang terus terngiang, membuat otak Brian dipaksa bekerja dengan keras. Dia berusaha memikirkan cara bagaimana mengeluarkan sahabatnya dari situasi ini.
“Kak.”
Suara Lisa menembus dunia Brian, membuat cowok itu melirik bete ke arah adiknya. Tanpa diundang, Lisa melangkah masuk lalu duduk di tepi ranjang. Dia memukul perut kakaknya dengan semena-mena, menyebabkan Brian bangkit dalam satu gerakan cepat sambil terbatuk. Kini, lirikan bete itu berubah menjadi tatapan super kesal.
“Lisa! Kamu mau bunuh Kakak kamu ini, ya?!”
Lisa mencibir kemudian mengibaskan sebelah tangan. “Aku lebih suka Kak Amira yang jadi Kakak aku, ketimbang Kak Brian. By the way,” Lisa memiringkan kepala. “Kak Amira mau ke mana, tuh? Malam-malam begini, kok, naik mobil? Mana naik mobilnya ngebut, lagi.”
“Kamu serius?” tanya Brian tegang. Lisa mengangguk polos.
“Baru aja dia pergi,” sambung cewek berambut ikal itu lagi. “Loh, Kak? Kak Brian mau ke mana?!”
###
Ketika perdebatannya dengan Brian terjadi, Elang memang pergi namun masih tetap berada di kampus.
Cowok itu menyembunyikan diri di ruang musik lama, karena hanya tempat itulah yang tidak pernah didatangi oleh mahasiswa. Penampilannya benar-benar berantakan. Dia berteriak, melempar semua benda yang ada di ruangan itu dan mengacak rambutnya frustasi. Elang akhirnya meluruh di dinding begitu saja, memeluk kedua lututnya dan menyembunyikan kepalanya di sana. Lalu, Elang tertidur karena terlalu capek mengeluarkan semua emosi yang menggelegak di dadanya.
Suara ponsel Elang membuat cowok itu menggeliat pelan. Dia membuka mata perlahan dan mengerutkan kening. Kepalanya sedikit pusing dan cowok itu melirik arlojinya. Agak terperanjat karena mendapati jarumnya sudah bertengger manis di angka delapan.
“Berapa lama gue di sini?” gumam Elang dengan suara serak.
Bunyi ponselnya sudah berhenti beberapa saat yang lalu, namun kini kembali berdering. Sambil mengusap wajah dengan sebelah tangan, cowok itu mengambil ponselnya yang berada di saku celana dengan tangannya yang lain. Matanya berusaha fokus, memastikan bahwa nama yang muncul di layar ponselnya memang benar nama... Amira.
Perasaan Elang berkecamuk. Dia dilema, apakah dia harus menjawab telepon dari Amira itu atau tidak. Lagi, nada dering itu akhirnya berhenti. Elang berdecak dan mengumpat. Memaki ketololannya karena sudah bersikap sangat pengecut.
Tak lama, ponselnya kembali berbunyi. Ada apa dengan Amira? Kenapa cewek itu sampai meneleponnya sebanyak tiga kali? Perasaan Elang mulai tidak enak. Cowok itu berdeham sejenak, sebelum kemudian mengangkat panggilan Amira itu.
“Halo?” sapa Amira dengan nada tegas di ujung sana. Elang hanya diam. Ada perasaan nyaman dan hangat ketika dia mendengar suara cewek itu.
“Apa?” Elang memejamkan kedua mata dan merutuk dalam hati. Nada suaranya ternyata jauh lebih dingin daripada yang seharusnya. Jeda terjadi di antara keduanya, membuat Elang nyaris meminta maaf, namun egonya melarang.
“Bisa kita ketemu? Ada yang mau gue tanya sama lo.” Amira kembali bersuara setelah sempat mematung di tempatnya akibat nada dingin Elang itu. Mati-matian dia menahan diri untuk tidak menangis supaya cowok itu tidak mendengar isakannya. Amira bahkan sampai mencengkram kemudi mobilnya kuat-kuat. “Penting.”
“Buat apa gue menuruti keinginan lo?” tanya Elang lagi. Cowok itu berdiri dan berjalan mondar-mandir. Ada desakan kuat dalam dirinya untuk pergi menemui Amira, tapi lagi-lagi, egonya mengambil alih. “Lo pikir, lo siapanya gue? Sampai-sampai lo bisa nyuruh gue seenaknya begitu? Hah?!”
“Gue nggak peduli lo mau marah atau benci sama gue,” balas Amira tetap tenang dan dengan nada tegasnya. Namun, lapisan bening pada kedua matanya itu tidak bisa bekerjasama dengannya. Pada akhirnya, cewek itu menangis juga, kemudian dengan cepat dia menghapusnya. “Yang paling penting, gue harus ngomong sama lo! Gue sekarang ada di kafe, di ujung gang dekat kampus. Gue akan tunggu lo di sini. Gue—Arrggghhh!”
Suara teriakan Amira membuat Elang membeku. Jantungnya mendadak berdetak dua kali lebih cepat. Lagi, dia mendengar suara teriakan Amira. Elang mulai kalut. Elang mulai lepas kontrol. Elang mulai khawatir, cemas dan takut. Dia mulai tidak bisa berpikir jernih.
“Amira! Jangan main-main sama gue!” Elang mulai berteriak saking kalutnya. Dia bahkan sampai mencengkram ponselnya dengan kuat. “AMIRA! LO KENAPA?!”
Tidak ada jawaban. Yang ada hanyalah bunyi datar nan panjang. Elang mulai mengumpat. Dia menghubungi Amira, namun suara operator lah yang terdengar.
“b******k!” Elang segera berlari keluar dari ruang musik yang tidak terpakai lagi itu.
Amira, gue mohon bertahan... Elang menuju pelataran parkir dan menyalakan motor. Dia keluar dari kampus dengan kecepatan tinggi dan pikiran yang terus saja tertuju pada Amira. Tolong baik-baik saja sampai gue datang!
###
“Ini gue! Ini gue!”
Amira masih menutup wajahnya dengan kedua tangan. Suara keras dari kaca jendela mobilnya itu masih terdengar, disusul dengan suara seseorang yang sangat dikenalnya. Perlahan, Amira mulai menurunkan tangan. Dia menoleh dan bertemu mata dengan Brian yang memasang wajah anehnya.
“Elo!” Amira membuka pintu mobil dan menutupnya dengan bantingan. Tangannya yang gemetar menunjuk wajah Brian. “Elo mau bikin gue mati ketakutan, iya?!”
“Sori,” sesal Brian sambil meringis. “Gue nggak sengaja, tadi.”
“Nggak sengaja lo bilang? Nggak sengaja?!” Amira mendengus, berkacak pinggang kemudian menatap langit malam. Cewek itu menarik napas panjang, berusaha menormalkan detak jantungnya yang meliar. “Kenapa lo ngelakuin itu?”
“Ck! Gue nggak sengaja,” ucap Brian lagi. “Gue ngikutin lo setelah Lisa ngasih tau gue, kalau lo pergi. Gue liat mobil lo dan gue dekatin. Niatnya mau ngetuk pelan-pelan, tapi nggak tau kenapa, gue malah jadi ngetuk dengan membabi-buta. Ngapain?” tanya Brian heran, saat dilihatnya Amira sedang berjongkok ketika pintu mobilnya dibuka.
Kedua mata Amira memutar dan dia berhasil mendapatkan ponselnya. Benda itu mati total, menyebabkan Amira mengerang dan memukul lengan Brian dengan kepalan tangannya. Baru saja Brian ingin membuka mulut untuk protes, sinar menyilaukan mata membuat keduanya menoleh. Mata Brian dan Amira menyipit, kemudian Brian segera menarik Amira menjauh dari motor yang tiba-tiba saja muncul entah dari mana dan berhenti mendadak.
“Amira!” Elang turun dari motornya dan berlari menuju ke arah Amira, lalu... memeluknya dengan erat.
Pelukan kuat dari Elang itu membuat Amira mematung. Cewek itu tidak membalas pelukan Elang tersebut dan justru menatap Brian. Yang ditatap hanya mengerutkan kening dan mengangkat bahu tak acuh. Isyarat dari Brian bahwa dia sama tidak tahunya dengan Amira.
“Lang...? Lo kenapa...?” tanya Amira terbata. Dia benar-benar gugup sekarang. Rasa sayangnya terhadap Elang membuatnya ingin menangis detik ini juga, ketika cowok itu memeluknya seperti ini.
“Lo....” Elang tidak sanggup berkata apa pun. Dia terlalu lega saat melihat Amira baik-baik saja. “Demi Tuhan, Amira... jangan pernah bikin gue takut dan khawatir lagi sama keadaan lo!”
“Gue nggak ngerti....”
Elang menguraikan pelukannya dan menangkup wajah Amira. Cewek itu bisa merasakan kedua tangan Elang yang sangat dingin. Wajah Elang berantakan, kedua matanya menyiratkan ketakutan yang teramat besar.
“Elo teriak... elo berteriak, tadi....” Elang semakin mengeratkan genggaman tangannya pada wajah Amira. Menyatukan matanya dengan mata cewek itu. “Gue pikir elo kenapa-napa. Gue pikir, elo... elo....”
“Gue baik-baik aja,” potong Amira. Dia memegang kedua pergelangan tangan Elang, berniat menurunkan tangan cowok itu dari wajahnya, namun Elang tidak membiarkan. Cowok itu tetap menangkup wajah Amira.
“Dia baik-baik aja,” sela Brian tiba-tiba.
Mendengar hal itu, barulah Elang tersadar dan menoleh. Keduanya saling tatap. Sampai akhirnya, Elang berdeham dan menjauhkan diri dari Amira.
“Maaf kalau gue lancang,” kata Elang. Amira mengangguk. “Karena gue udah ada di sini,” Elang kembali bersuara, “apa yang mau lo omongin sama gue?”
Alis Brian terangkat satu. Cowok itu menatap Amira, meminta penjelasan pada sahabatnya itu. Amira hanya membalas tatapan menuntut dari Brian itu dengan lirikan.
“Nggak ada apa-apa,” jawab Amira setelah sempat berpikir sebentar. Dia memutuskan untuk tidak membahas hal yang akan dibicarakannya dengan Elang tadi karena kemunculan Brian. “Maaf kalau gue udah ganggu lo.”
Elang hanya mengangguk. Dia membiarkan saja ketika Amira pamit, masuk ke dalam mobil dan meninggalkannya bersama dengan Brian. Cewek itu bahkan tidak menatap ke arahnya saat pamit tadi.
Sepeninggal Amira, Elang dan Brian saling menatap. Brian memasukkan kedua tangannya di saku celana kemudian tersenyum tipis.
“Terima kasih.”
Elang mengerutkan kening.
“Terima kasih karena udah khawatir sama keadaan Amira.”
Keduanya kembali terdiam. Sampai akhirnya, Brian memutar tubuh dan naik ke atas motornya. Tak lama, motor Brian pergi dari tempat tersebut, meninggalkan Elang yang menundukkan kepala sambil menghembuskan napas berat.
Saat memutuskan akan pulang ke rumah, ponsel Elang berbunyi. Kali ini, bunyi itu menandakan adanya pesan singkat yang masuk. Setelah memakai helm, Elang mengambil ponselnya yang berada di saku celana dan membuka pesan singkat itu. Cowok itu menatap datar deretan kalimat yang dituliskan oleh Amira untuknya.
Gue harap lo datang ke kampus pagi-pagi banget besok. Karena tadi ada Brian, gue jadi nggak bisa menanyakan sesuatu ke lo.
From: Amira
Apa yang akan ditanyakan oleh Amira sebenarnya, sampai-sampai cewek itu tidak ingin Brian mengetahuinya?