TIGA BELAS

2725 Kata
TIGA BELAS   Hari ini adalah hari keberangkatan semua mahasiswa baru bersama para panitia ke Puncak untuk acara makrab. Amira terlihat manis dengan rok jeans selututnya dan kaus lengan panjang berwarna biru tua. Jas kampusnya disampirkan di pundak, sementara kartu tanda pengenal panitia dikalungkan di lehernya. Cewek itu nampak sibuk dengan papan berjalan yang ada di tangannya, mencatat semua perlengkapan yang dibawa oleh mahasiswa-mahasiswa baru di bawah pengawasannya.             “Amira!”             Seruan itu membuat Amira menoleh dan tersenyum lebar ke arah Beno. Kakak tingkatnya itu berjalan menghampirinya dan menjabat tangan Amira tegas. Cowok itu menoleh ke arah anak-anak yang berada di bawah pengawasan Amira, kemudian kembali menatap cewek itu.             “Yang lain, mana?” Beno celingak-celinguk, mencari panitia lain yang sekelompok dengan Amira. “Haris? Riska? Elang?”             Nama terakhir yang disebutkan oleh Beno membuat senyum Amira memudar. Sejak kejadian di kafe ujung gang dekat kampus mereka, Amira belum bertemu lagi dengan Elang. Dia juga tidak jadi bertemu dengan Elang keesokan paginya, seperti yang diminta oleh Amira melalui pesan singkat. “Amira? Kenapa malah ngelamun?” tanya cowok itu. Amira mengerjap dan berdeham. Fokusnya kembali ke papan berjalan yang dipegangnya dan kembali mencocokkan daftar bawaan peserta.             “Haris ada di lembaga. Katanya, sih, mau ngambil stok cemilan yang dia bawa dari rumah,” jelas Amira atas pertanyaan Beno sebelumnya. “Riska ada di bis.”             “Elang?”             “Gue di sini.”             Suara itu membuat gestur tubuh Amira berubah. Cewek itu tidak mengangkat kepalanya barang sedikit pun dari papan berjalan tersebut. Hanya saja, tangannya tanpa sadar mencengkram pulpen yang dipegangnya dengan kuat. Tenggorokkannya mendadak kering dan jantungnya mulai tidak bisa dikontrol dengan baik. Cewek itu membasahi bibir kemudian kembali berdeham.             “Kak,” panggil Amira tanpa menatap cowok itu. Matanya masih setia pada baris demi baris kalimat yang terjejer rapi di sana. “Semua barang udah siap. Mereka tinggal naik ke dalam bis.”             Setelah Beno memberi jawaban, Amira lantas memutar tubuh. Cewek itu tidak ingin berlama-lama berada dekat dengan Elang karena cowok itu membawa pengaruh yang begitu besar dan hebat untuk dirinya. Dia harus pergi menemui Brian, meminta sahabatnya itu untuk menyembunyikannya dari Elang di setiap ada kesempatan—walau rasanya mustahil karena dia dan Elang berada dalam satu divisi.             “Untuk hari ini dan besok....”             Suara Elang menggema, membuat langkah Amira terhenti. Baik Beno maupun semua peserta yang berada di bawah pengawasan Amira kini menatap Elang. Cowok itu tidak melepaskan pandangannya barang sedetik pun dari punggung Amira. Kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya.             Di tempatnya, Amira memejamkan kedua mata. Rasanya dia ingin sekali menghilang dari tempat ini. Ketika Amira membuka kedua matanya, Brian berada tak jauh di depannya. Menatapnya dengan sorot prihatin dan kasihan yang teramat jelas.             “Untuk hari ini dan besok,” ulang Elang lagi. “Gue mau kita ngelupain semua masalah yang ada. Masalah yang ada di antara gue sama lo. Gue mau kita bersikap profesional. Supaya acara kita lancar. Setelah itu,” jeda sesaat karena Elang menarik napas panjang. “Kita bersikap seolah kita nggak saling kenal, gimana?”             Hening mendominasi. Hanya suara deru mesin bis yang terdengar, diikuti detak jantung Amira dan Elang yang mungkin cuma bisa didengarkan oleh kedua orang itu saja. Amira masih bungkam, mencerna semua kalimat Elang barusan. “Amira,” panggil Brian tiba-tiba. Cowok itu berjalan mendekat ke arah sahabatnya. “Lo bisa—“             “Deal!”             Semua mata kini mengarah pada Amira. Langkah Brian bahkan sampai terhenti. Cewek itu lantas memutar tubuh untuk menghadap Elang dan tersenyum kecil. Senyuman samar yang terkesan getir. Elang bisa melihatnya dengan jelas dan itu membunuhnya perlahan.             “Jadi,” kata Amira lagi. “Apa semua tugas lo udah lo kerjain, Lang?”             Beno tertawa, pun dengan peserta yang sejak tadi menonton percakapan Amira dan Elang. Elang sendiri hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Dia segera mengambil papan berjalan di dalam bis dan tidak menyadari kalau Amira menghampiri Brian dengan kedua mata berkaca. ### Pagi itu, Elang sedang bersiap-siap di rumahnya, ketika Tasya muncul di ambang pintu. Tidak biasanya Tasya akan langsung masuk ke rumahnya. Cewek itu akan menunggu di depan pagar, memanggil nama Elang dengan teriakan khasnya, kemudian menunggu Elang dengan senyum lebar. Karena kelakuan Tasya yang tidak biasa itulah, Elang tersentak ketika dia menegakkan tubuh setelah mengisi beberapa makanan kecil ke dalam ransel yang akan dibawanya.             “Tasya?”             Tidak ada sahutan. Tasya hanya berdiri di sana, memasang wajah dan tatapan yang tidak terbaca. Barulah ketika Elang berjalan mendekat, cewek itu segera berlari. Menabrakkan tubuhnya ke tubuh Elang, memeluk erat cowok itu dan menyandarkan kepalanya di d**a bidang Elang. Hal kedua yang membuat Elang bingung setengah mati.             “Aku cinta sama kamu,” kata cewek itu setelah jeda beberapa saat. Dia semakin mengeratkan pelukannya pada pinggang Elang. Kedua matanya kini terpejam dan dia membiarkan setetes air mata jatuh membasahi pipi. “Aku cinta banget sama kamu. Aku akan ngelakuin apa  pun asalkan kamu bahagia, Lang.”             “Tasya....” Elang menguraikan pelukannya dan Tasya langsung mengalihkan wajah agar bisa menghapus air mata itu secepat yang dia bisa. “Kamu kenapa jadi aneh begini, sih? Ada masalah apa?”             Tasya menggeleng dan kembali fokus pada Elang. Cewek itu tersenyum lembut dan menangkup wajah Elang dengan kedua tangan kecilnya. Matanya tak mau lepas dari mata tegas Elang. Mata Elang yang selalu membuatnya terlena sejak awal mengenal cowok itu. Mata yang sangat dia sukai.             “Aku cuma kangen sama kamu.”             “Kangen?” kening Elang mengerut, diikuti dengan senyum gelinya. “Aku belum pergi, loh, Sya.”             “Nggak salah, kan, kalau aku mulai kangen? Sebentar lagi, kita nggak akan ketemu.”             “Tasya,” kedua tangan Elang membawa tangan Tasya turun dari wajahnya. Kemudian, cowok itu memegang kedua pundak Tasya, menunduk sedikit untuk menyejajarkan wajahnya dengan wajah cewek itu. “Kita cuma nggak ketemu dua hari. Kenapa kamu seolah-olah berasumsi kalau kita nggak akan pernah ketemu lagi?”             “Ayo, cepat berkemasnya.” Tasya mendekati ransel Elang dan menutup restleting nya. “Nanti kamu ditunggu sama teman-teman kamu yang lain, juga sama... Amira.”             Ada sesuatu yang tertangkap jelas di kedua telinga Elang, ketika nama Amira disebut oleh Tasya tadi. Tidak ingin memperkeruh keadaan dengan membahas Amira, Elang menghembuskan napas berat dan menerima ransel yang diberikan Tasya untuknya.             “I’ll miss you, Lang. Take care, ya.” Tasya mengusap lengan Elang berulang kali.             “Pasti!”             Ketika Elang naik ke atas motor, Tasya hanya menatapnya dalam diam. Namun, cewek itu menyunggingkan seulas senyum. Senyuman terakhir yang dia berikan untuk Elang, sebelum cowok itu pergi dari hadapannya.             Terakhir?             Batinnya mulai bertanya, kenapa dia mendadak mengatakan dalam hati bahwa ini adalah senyuman terakhirnya untuk Elang. Cewek itu langsung menggelengkan kepala, mengusir jauh-jauh semua pikiran aneh yang melintas di otaknya. Sampai kapan pun, sampai mereka menikah, memiliki anak dan cucu kelak, senyuman ini akan terus dia berikan untuk Elang.             Karena dia sangat mencintai cowok itu. Dia akan menghabiskan sisa umurnya bersama Elang.             “Aku pergi dulu, Sya,” pamit Elang. ### Perjalanan menuju Puncak ternyata tidak selama yang diduga oleh Amira. Entahlah, mungkin karena kondisi jalanan yang masih lengang karena mereka berangkat cukup pagi. Semua peserta langsung disuruh berkumpul di dalam villa, ketika bis yang mengantar mereka berhenti tepat di halaman. Villa yang cukup luas, dengan kolam renang berada di halaman belakang. Beberapa meter di depan villa, terdapat hutan kecil dengan pepohonan rindang dan menjulang tinggi.             Beno pernah memberitahu kepada Brian dan juga panitia yang lain untuk tidak masuk ke daerah hutan dan mengawasi para peserta. Menurut pengakuan penjaga villa saat Beno dan Miko melakukan survei, hutan kecil itu memang tidak berbahaya, namun terdapat jurang yang lumayan dalam di beberapa sisinya. Keberadaan jurang itu tidak bisa dilihat terlalu jelas. Kalau mereka tidak waspada ketika nekat masuk ke dalam hutan kecil itu, bisa-bisa mereka malah mengantar nyawa ke jurang tersebut.             “Nah,” suara Beno menggema, membuat semua perhatian peserta terpusat padanya. Cowok itu tersenyum ramah dan bertepuk tangan tiga kali. “Kalian bisa beristirahat terlebih dahulu. Santai aja, oke? Di sini, kita akan bersenang-senang. Acara akan dimulai setelah jam makan siang.” Cowok itu melirik arlojinya. “Masih ada waktu dua jam. Tapi ingat, jangan sekali-sekali masuk ke hutan kecil di depan sana, ya!”             Riska, salah satu panitia yang berada satu divisi dengan Amira, mengajak cewek itu untuk ke halaman belakang. Katanya, ada pohon jambu di sana juga ayunan. Namun, Amira menolak halus. Cewek itu sedang tidak tertarik melakukan apa pun. Dia butuh menyegarkan diri dan otaknya. Pikirannya terus saja mengarah pada Elang selama diperjalanan tadi. Dia tidak bersama Brian selama perjalanan karena perbedaan bis. Hal itulah yang membuat Amira bingung harus melakukan apa di dalam bis, selain mengobrol dengan Riska. Sesekali, dia akan melirik Elang dan mendapati cowok itu juga tengah melirik ke arahnya. Membuat dadanya bergejolak dan jantungnya berdetak tidak karuan.             “Um, Cha,” panggil Amira. Riska, yang sering dipanggil Icha oleh semua orang, kini menoleh ke arah Amira. “Bisa minta tolong?”             Riska mengangguk.             “Gue mau jalan-jalan sebentar di  sekitar villa,” kata Amira pelan. “Kalau Kak Beno nyariin atau Brian nanyain gue, bilang aja gue lagi nenangin pikiran sama hati, oke?”             “Lo... baik-baik aja, kan, Mir?” tanya Riska khawatir.             “Iya. Gue cuma mau menghirup udara segar aja sebentar,” balas Amira. Cewek itu berdiri dan melambaikan tangannya ke arah Riska. Riska tidak bisa berbuat apa-apa, selain mengiyakan dan balas melambaikan tangan.             Ketika berada di luar villa, angin sejuk langsung menyambut Amira. Cewek itu merentangkan kedua tangan dan memejamkan mata. Ditariknya napas dan dihirupnya oksigen itu sebanyak yang dia mau. Segar dan sejuk. Pikirannya mulai pulih. Cewek itu lantas membuka mata dan mulai melangkahkan kaki. Lupa akan peringatan Beno sebelumnya dan justru masuk ke sana. Ke arah hutan dengan pepohonannya yang indah dipandang mata.             Amira tidak merasakan kecemasan apa pun saat melangkah di dalam hutan ini. Perasaannya justru meringan. Senyuman itu terbit, menikmati keindahan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Sejak kecil, ayah selalu mengajarinya untuk mencintai alam. Tak jarang beliau mengajaknya berpetualang di hutan-hutan kecil seperti ini.             Ponsel Amira berdering dan cewek itu segera mengambil benda tersebut. Nama Brian muncul di sana, membuat Amira menggelengkan kepala. Sahabatnya itu pasti sudah menanyakan keberadaan dirinya pada Riska. Masih sambil melangkah, cewek itu menjawab panggilan Brian.             “Amira! Lo di mana?!” seru cowok itu.             “Lagi jalan-jalan,” jawab Amira santai. “Kenapa? Acara baru akan dimulai setelah jam makan siang, kan?”             Tanpa Amira tahu, ponsel Brian berada dalam mode loudspeak. Di ruangan khusus panitia itu, bukan hanya ada Brian saja, melainkan juga Beno, Riska dan yang lain. Begitu juga dengan Elang. Cowok itu terus menatap Brian, menunggu Amira mengeluarkan kalimat selanjutnya, ketika tadi Brian menjawab kalimat Amira.             “Lo nggak jalan-jalan di hutan, kan?” tanya Brian curiga.             Keterdiaman Amira rupanya membuat semua orang berpikir hal yang sama. Cewek itu memang sedang berada di hutan. Brian bahkan sampai mengumpat tanpa suara dan bertemu mata dengan Beno. Kakak tingkatnya itu menyuruhnya untuk tenang dan tetap berbicara dengan Amira, melalui isyarat yang dia lemparkan dengan menggunakan tatapan matanya.             “Gue bakalan baik-baik aja, kok.” Alih-alih menjawab pertanyaan Brian, Amira justru melontarkan pernyataan. “Gue cuma mau nenangin diri sebentar aja. Lo kan tau sendiri kalau gue—aaargghhh!”             Suara teriakan Amira itu membuat Brian membeku. Pun dengan Beno dan yang lain. Brian sampai meneriakkan nama Amira berulang kali, namun cewek itu tidak menjawab. Terdengar suara berisik di sana, disusul dengan suara hantaman lumayan keras. Terakhir, suara erangan Amira terdengar dan setelahnya... sambungan telepon terputus.             “Tenang, Yan,” ucap Beno berusaha tenang. “Kita berpencar. Jangan sampai ada peserta yang tau soal ini. Nggak ada yang boleh jalan sendirian selama kita mencari Amira, oke?”             Anggukkan kepala semuanya menutup perintah Beno. Cowok itu baru saja akan membuka pintu, ketika sadar pintu tersebut sudah terbuka lebar. Lalu, suara Miko terdengar.             “Loh, Elang ke mana, ya?” ### Hal pertama yang dirasakannya ketika dia membuka mata adalah pusing yang begitu hebatnya. Dia mengerjap beberapa kali, berusaha mengumpulkan semua fokus matanya dan mengerang cukup keras. Punggungnya terasa sangat sakit hingga dia ingin menangis. Pun dengan kepalanya. Sepertinya, dia sempat menghantam salah satu batang pohon saat terjatuh tadi, sebelum kesadarannya hilang total.             Amira ingat dia sedang berjalan di dalam hutan kecil di depan villa yang mereka sewa untuk acara makrab. Saat sedang mengobrol dengan Brian di telepon, dia tidak sadar kalau kaki kanannya menjorok terlalu dalam ke arah jurang. Alhasil, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan Amira jatuh berguling ke bawah. Untungnya, jurang tersebut memang tidak dalam. Setidaknya, saat ini, Amira bisa melihat ke atas.             “Lo baik-baik aja?”             Pertanyaan itu membuat Amira terkejut dan menoleh cepat. Di sana, bersandar pada batang pohon yang lainnya, sosok Elang terlihat. Cowok itu menekuk kedua kakinya hingga terkesan seperti sedang memeluknya. Kedua tangannya saling bertautan di atas kedua lutut. Matanya menyorot tegas dan cemas. Perpaduan yang membuat jantung Amira berdebar keras.             “Kenapa lo bisa ada di sini?” tanya Amira heran, mengabaikan pertanyaan Elang barusan. Cewek itu mendesis dan meringis, ketika rasa nyeri pada punggungnya kembali menyerang. Membuat Elang panik dan langsung mendekati Amira dengan satu gerakan cepat dan membantu cewek itu.             “Waktu kita semua dengar teriakan lo,” jelas Elang sambil berdeham. Dia mengambil jarak, kemudian duduk di samping Amira sambil memeluk kedua lututnya lagi. Kepalanya mendongak, menatap dataran di atas sana. Berharap salah satu dari semua panitia muncul dan menyadari keberadaan mereka. “Gue keluar lebih dulu. Gue langsung lari ke sini, mencoba untuk nyari keberadaan lo. Dan... here I am.” Elang mengedikkan bahu dan tersenyum tipis. Menolehkan kepalanya sedikit agar bisa menatap wajah yang terlihat sedikit berantakan di sampingnya itu. “Gue berhasil menemukan lo.”             “Gimana bisa?” Amira berdeham. “Maksud gue... hutan ini emang keliatannya kecil kalau dari depan villa, tapi, kenyataannya nggak seperti itu. Di dalamnya cukup luas. Kemungkinan besar lo menemukan gue hanya satu banding empat.”             “Entah.” Elang kembali mendongak. “Gue juga nggak tau. Gue hanya mengikuti insting gue. Dan insting gue bilang, gue harus ke sini terlebih dahulu. Ke tempat ini, sebelum menjelajah sisi lain dari hutan ini.”             Keduanya diam. Menikmati angin yang berhembus kencang dan menyebabkan daun-daun kering berjatuhan. Tadi, Elang memang langsung meninggalkan semua panitia. Dia berlari seperti kesetanan dengan detak jantung yang begitu cepat. Sampai-sampai, Elang merasa dia akan mati karena gagal jantung. Hanya satu tujuannya. Menemukan Amira secepat yang dia bisa dan memastikan dengan kedua matanya sendiri kalau cewek itu baik-baik saja.             Betapa leganya Elang saat dia memutuskan untuk memeriksa daerah ini terlebih dahulu. Dia menemukan sepatu Amira yang kemungkinan besar terlepas saat terjatuh dan langsung melongokkan kepalanya ke bawah. Benar saja, Amira ada di sana. Tidak sadarkan diri.             Tanpa memikirkan dirinya sendiri dan resiko buruk yang mungkin akan dialaminya, Elang berlari turun. Cowok itu bahkan sempat terguling dan untungnya tidak mendapatkan luka apa pun. Elang menyelimuti Amira dengan jaketnya. Menunggu dengan sabar dan hati cemas sampai Amira membuka kedua matanya.              “Kenapa lo bisa jatuh cinta sama Kak Alfar?”             Amira menoleh dan bertemu mata dengan Elang. Cowok itu menatapnya intens, membuat rasa panas menjalar pada wajahnya dengan begitu cepat. Dia membasahi bibirnya yang mendadak terasa kering.             “Amira? Boleh gue tau alasan lo jatuh cinta sama Kak Alfar?”             “Kenapa lo mau tau?” tanya Amira menantang. Cewek itu kembali menatap Elang. “Lo bukan siapa-siapanya gue, Lang. Lo nggak berhak nanya hal pribadi gue.”             Ganti Elang yang terdiam.             “Brian belum kasih tau elo, ya?”             Apa? Kenapa mendadak Elang jadi membahas Brian? Dan hal apa yang harus Brian beritahu kepadanya?             “Kalau gue....”             “AMIRA! LO NGGAK APA-APA, KAN?!”             Teriakan itu membuat ucapan Elang terputus. Amira kontan mendongak dan melihat kemunculan Brian. Sahabatnya itu melambaikan tangan, kemudian berseru kepada Amira bahwa mereka akan segera menolong cewek itu. Dengan tertatih, Amira mencoba berdiri. Kakinya sedikit terkilir sepertinya, karena tubuh cewek itu langsung limbung ke samping dan berpegangan pada batang pohon yang kokoh tersebut.             “Akhirnya kita bisa ke luar dari sini.” Amira menoleh ke arah Elang dan tersenyum kecil. Membuat Elang menunduk dan menghela napas berat.             Bantu dia, Tuhan...             “Elang? Ayo, tolong bantu gue!” seru Amira penuh semangat. Dia berjalan terseok ke arah tanjakkan di depannya. “Mereka—“             “Gue jatuh cinta sama lo.”             Amira menghentikan usahanya dalam melangkah. Ucapan Elang tadi, pengakuannya tersebut, membuat napasnya tertahan di tenggorokkan. Tubuhnya membeku. Matanya menatap tanjakkan di depannya dengan tatapan tidak fokus.             “Gue jatuh cinta sama elo, Amira....” Lagi, Elang mengulang kalimatnya. Seolah-olah cowok itu tahu kalau Amira tidak percaya dengan ucapannya barusan. “Kalau aja gue bertemu lo sebelum gue ketemu Tasya, mungkin kejadiannya nggak akan seperti ini.”             Ya Tuhan...             Amira memejamkan kedua matanya. Elang mencintainya, seperti dia mencintai cowok itu.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN