EMPAT BELAS

2823 Kata
EMPAT BELAS   Amira dan Elang berhasil naik ke atas dengan bantuan dari Brian dan yang lainnya. Brian langsung memeluk Amira dan cepat-cepat melepaskan, ketika dia mendengar suara erangan sahabatnya itu. Setelah diinterogasi, barulah Brian paham bahwa punggung Amira membentur batang pohon. Cowok itu segera memapah Amira, membawanya kembali ke villa. Di belakangnya, Elang mengikuti dengan tatapan yang terus mengarah pada punggung cewek itu.             Betapa bodohnya dia sudah mengatakan pada Amira kalau dia mencintai cewek itu. Entah apa yang akan Amira lakukan setelah ini. Mungkin, cewek itu akan langsung menjauhinya begitu saja. Memandanganya seperti dia adalah sebuah wabah penyakit mematikan yang harus segera dihindari.             Mereka semua masuk ke dalam villa dengan menyembunyikan keadaan Amira dari pandangan para peserta. Amira diberikan dispensasi oleh Beno. Cewek itu disuruh untuk beristirahat saja satu hari ini, supaya besok bisa kembali fresh dan acara penutup, yaitu pentas drama, bisa berjalan dengan lancar.             Awalnya Amira menolak. Dia ingin melaksanakan kewajibannya sebagai panitia sekaligus ketua divisi. Lagian, cewek itu bilang dia sudah merasa baikkan. Tapi, pelototan Beno dan Brian membungkamnya. Dengan wajah cemberut, Amira membaringkan diri di atas kasur dan mendengus keras. Membuat semua orang yang melihatnya kontan menahan tawa dan tersenyum geli. “Gue ke luar dulu, Mir,” pamit Beno. Dia menyuruh panitia yang lain untuk mengikutinya ke luar dan membiarkan Amira untuk beristirahat. Namun, Brian tetap di dalam. Pun dengan Elang. Brian sampai menyipitkan mata ketika menatap cowok itu.             “Ngapain lo masih di sini? Kenapa nggak ikutan ke luar?” tanya Brian agak bete.             “Suka-suka gue.” Elang mengedikkan bahu. Dia berjalan ke arah kursi kosong di sudut kamar. “Gue mau di sini juga. Toh, acara masih lama dimulai.”             “Elo—“             “Gue mau jaga dia. Apa itu salah?”             Brian sampai melotot maksimal ketika mendengar pengakuan Elang itu. Diliriknya Amira sekilas dan cewek itu mendesah keras sambil memijat pelipisnya. Semua ini terlalu tiba-tiba untuk Amira. Harusnya, cewek itu senang karena perasaannya pada Elang tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi, di sisi lain, Amira merasa ini tidak pantas. Demi Tuhan, dia tidak ingin disebut sebagai cewek perusak hubungan orang lain. Bagaimana perasaan Tasya jika cewek itu tahu kalau Elang membagi cintanya untuk cewek lain?             “Oke.” Brian membuka suara, setelah hening yang cukup lama mendominasi keadaan. Dia duduk di tepi ranjang, di dekat kaki Amira. Brian dan Elang saling tatap dan kontak mata itu terputus kala Amira berdeham.             “Gue anggap, ucapan lo tadi itu hanya sekedar gurauan, Lang....”             Brian menatap Amira, sementara Elang menatap jendela di sampingnya. Jujur saja, ucapan Amira tadi membuatnya ingin marah. Cewek itu menganggap pengakuannya di hutan tadi sebagai lelucon belaka?             “Ucapan apa?” tanya Brian ingin tahu, meskipun sebuah gagasan sudah melintas di benaknya. Tapi, tidak ada salahnya untuk memastikan, bukan?             “Lo pikir gue bercanda? Hmm?”             Suara Elang sangat datar, membuat Amira memejamkan kedua matanya dengan tangan terkepal di balik selimut yang dia kenakan. Brian sendiri menghembuskan napas berat dan menggelengkan kepala sambil tertawa hambar. Tawa yang dipaksakan. Lalu, cowok itu mendengus.             “Lo pikir lo siapa, Lang? Sampai-sampai lo bisa ngomong sama Amira dengan nada suara kayak gitu?” “Gue udah bilang sama sahabat lo kalau gue cinta sama dia.”             Brian membeku. Cowok itu menatap Elang dengan tatapan tidak percaya, kemudian menoleh untuk menatap wajah sahabatnya. Amira tidak mengucapkan apa pun. Cewek itu menunduk, saling meremas jari-jarinya di balik selimut.             “Kenapa elo harus kaget, Yan?” tanya Elang dengan nada mengejek. “Bukannya gue udah pernah bilang hal ini sama lo? Harusnya, lo nggak perlu kaget kayak gini, kan?”             Kini, kepala Amira terangkat dan cewek itu langsung menatap Brian.             “Brian?” Amira memanggil sahabatnya, berharap cowok itu mau menatap ke arahnya. Namun, kenyataannya Brian justru menolak menghadapkan wajahnya ke arah Amira. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya, mencoba menahan diri untuk tidak meringsek ke arah Elang dan menghajar cowok itu. “Elo... tau hal itu?”             “Kalau iya, kenapa?” Brian balas bertanya. Dia melirik Amira. “Kalau gue bilang hal itu sama lo, apa yang akan lo lakukan? Mendatangi Elang dan bilang ke dia kalau lo juga cinta sama dia? Begitu?”             Ganti Elang yang terkejut. Dia menatap Amira dengan tatapan tidak percaya. Cewek itu... mencintainya?             “Sadar, Amira Alanis....” Amira menelan ludah. “Mungkin, Elang juga cinta sama lo. Tapi, dia udah punya pacar. Biar gue ulangi lagi supaya lo ngerti... DIA UDAH PUNYA PACAR!”             Suara Brian mendadak tinggi, membuat Amira terlonjak. Jantungnya berdebar keras. Kepalanya mendadak sakit. Pernyataan itu membuat Amira ingin menangis. Meskipun sudah tahu sejak awal, tapi tetap saja rasanya sangat menyakitkan saat ada orang lain yang menyuarakan kenyataan itu dengan keras.             Sementara itu, Elang langsung berdiri. Dihampirinya Brian dan dicengkramnya lengan cowok itu dengan kuat. Tubuh Brian mundur beberapa langkah dan dia langsung melepaskan cengkraman Elang di lengannya. Matanya menatap tajam sosok itu.             “Elo udah kelewatan, Brian!” bentak Elang. Tidak menyangka Brian akan sekeras itu pada Amira.             “Oh... gue kelewatan?” Brian menunjuk wajah Elang lurus-lurus. “Elo nggak perlu ikut campur urusan gue sama Amira!”             “Tapi gue harus ikut campur!” Elang mendorong Brian, kemudian dia mencengkram kerah jaket cowok itu. “Ini ada sangkut-pautnya sama gue, b******k!”             “b******k? b******k lo bilang?!” seru Brian penuh amarah. Cowok itu mengenyahkan kedua tangan Elang dan langsung menghajar wajahnya. Melihat itu, Amira memekik kaget dan buru-buru turun dari tempat tidur. Dia menghalangi usaha Brian untuk mendekati Elang dan kemungkinan besar akan menghajar cowok itu lagi. “Harusnya lo ngaca, Lang! Elo juga b******k! Elo jauh lebih b******k daripada gue, sialan! Lo bilang lo cinta sama Amira, di saat lo udah jadi milik orang lain? Coba, bilang sama gue apa itu bukan b******k namanya, hah?!”             Pintu kamar Amira mendadak terbuka. Sosok Beno muncul di sana, diikuti semua panitia yang lain. Keributan di antara Elang dan Brian rupanya terdengar sampai ke luar, menyebabkan para peserta sibuk berkasak-kusuk dan Beno akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam kamar Amira guna memeriksa keadaan.             “Elang! Brian! Apa-apaan lo berdua?!” Beno segera menghampiri keduanya, menarik Amira pelan dan menyuruh Haris serta Riska untuk menjaga Amira yang wajahnya terlihat shock, sementara cowok itu segera memposisikan dirinya sendiri di antara Brian dan Elang yang baru bangkit sambil menyeka darah di sudut bibirnya. “Lo berdua kayak anak kecil, tau nggak?!”             “Cih!” Brian mendengus dan mengacak rambutnya frustasi. Dia berkacak pinggang, menundukkan kepala dan memejamkan kedua mata. Berharap emosinya bisa sedikit berkurang, tapi ternyata tidak bisa.             “Lang, lo nggak apa-apa?” tanya Beno. Elang tidak menjawab. Cowok itu hanya diam dan memutar tubuh. Dia berjalan ke arah pintu dan berhenti sejenak ketika berada di samping Amira. Cowok itu menoleh, menatap Amira dengan tatapan yang sulit untuk diartikan, kemudian kembali melanjutkan langkah. Dia bahkan sempat memukul daun pintu dengan keras, hingga beberapa di antara panitia terlonjak kaget dan mengelus d**a.             Beno tertegun di tempatnya. Tidak mengerti apa yang sudah terjadi pada Elang. Yang jelas, cowok itu benar-benar terlihat kacau dan berantakan. Dia melirik Amira dan cewek itu memegang dadanya. Mata Amira terlihat berkaca dan tak lama, cewek itu jatuh berlutut sambil memukul dadanya pelan dan... menangis sesegukkan.             Melihat itu, Beno jadi nelangsa. Begitu juga dengan yang lain. Ingin bertanya, keadaan tidak memungkinkan. Terlebih, Amira benar-benar tidak bisa mengendalikan tangisnya. Kepalanya tertunduk dan cewek itu juga masih saja memukul dadanya berulang kali dengan tempo pelan. Berharap dengan begitu, rasa sesak yang mampir di hatinya bisa menghilang.             Brian yang mendengar tangis Amira semakin merasa emosi. Dia berjalan ke arah jendela, meninju dindingnya beberapa kali dengan napas memburu dan baru berhenti ketika Miko menghampiri sambil menahan laju tangannya. Cowok itu menggeram marah dan tanpa sadar mendorong tubuh Miko, ketika akan melewatinya. Kemudian, Brian berjongkok di depan Amira, menangkup wajah sahabatnya dengan senyum getir yang terbit di bibirnya.             “Jangan nangis, oke?” pinta cowok itu pelan. “Everything’s gonna be alright. I promise.”             Amira tidak merespon. Cewek itu juga membiarkan saja ketika Brian memeluknya dengan erat. Tidak peduli dengan tatapan kasihan dan tatapan ingin tahu yang dilemparkan oleh Beno juga yang lainnya. ### Semua orang sepakat untuk tidak membahas kejadian di kamar Amira tadi pagi.             Di sisi lain, Brian dan Elang seperti tidak mengenal satu sama lain. Keduanya tidak bertegur sapa. Yah, walaupun selama ini semua orang memang tahu jika Brian dan Elang tidak terlalu akrab, tapi, sesekali keduanya akan bertegur sapa atau sekedar mengobrol ringan guna membahas pentas drama yang akan diadakan besok.             Beno pamit ke dapur dan menyuruh salah satu panitia untuk menggantikan posisinya mengawasi keadaan. Cowok itu memainkan ponselnya dan terkejut saat mendapati Amira ada di sana. Cewek itu memegang gelas berisi teh dengan kedua tangannya dan tatapannya terlihat kosong. Langsung saja, Beno menaruh ponselnya ke saku celana dan mendekati cewek itu.             “Amira?”             Tidak ada jawaban. Amira masih diam dalam duduknya. Cewek itu seolah menjelajah ke dimensi lain, meskipun raganya jelas berada di sini. Akhirnya, Beno berdeham dan menyentuh lengan cewek itu. Hanya berupa sentuhan ringan dan pelan, tapi efeknya sanggup membuat Amira terlonjak. Cewek itu seakan disengat lebah, menyebabkan kedua tangannya tidak sengaja menjatuhkan gelas yang sejak tadi dipegangnya, hingga akhirnya jatuh ke lantai. Tangan Amira pun tak luput dari cairan hangat yang baru saja dibuatkan oleh Riska tersebut.             “Ya ampun! Maaf, Mir... gue nggak sengaja!” Beno buru-buru meraih tangan Amira dan meniupnya. Tak lupa, cowok itu mengambil serbet yang ada di atas meja, kemudian dibasahi dengan air mineral sedikit dan dililitkan di punggung tangan Amira yang mulai memerah.             Amira tersenyum tipis dan mengangguk. Beno mengalihkan tatapannya dari tangan Amira ke wajah cewek itu. Mata Amira masih sembap dan sedikit bengkak akibat menangis. Cowok itu pun akhirnya menarik napas panjang dan duduk di hadapan Amira.             “Lo nggak apa-apa, Mir?” tanyanya khawatir.             “Emangnya gue kenapa, Kak?”             Beno diam. Dia ingin tahu apa yang terjadi, tapi dia mengerti bahwa ini adalah masalah pribadi antara Amira, Elang dan Brian. Tidak seharusnya dia ikut campur. Tapi...             “Elo... ada masalah sama Elang?” Digenggamnya sebelah tangan Amira yang tidak terkena air panas beberapa saat lalu. Senyuman Beno terlihat sangat tulus. Diusapnya punggung tangan Amira pelan, berharap dengan begitu, Beno bisa membagi energi positif yang dia miliki walau hanya sedikit saja.             Akhirnya, air mata itu jatuh juga. Sesak yang sempat menghilang, kini kembali hadir. Kilasan peristiwa dirinya dengan Elang di berbagai kesempatan, silih berganti memenuhi otaknya. Meninggalkan memori yang sangat indah di kepalanya. Menyeruak keluar dan membuatnya sakit. Melumpuhkan akal sehatnya, melemahkan dirinya.             “Gue sayang sama Elang, Kak.”             Tubuh Beno menegang. Cowok itu menatap Amira yang kembali menundukkan kepala dengan tatapan tidak percaya. Selama ini, dia mengira jika Elang lah yang memiliki perasaan khusus untuk Amira. Tapi, cewek itu juga ternyata memiliki perasaan yang sama.             “Gue nggak tau harus gimana.” Tangis Amira semakin menjadi. Cewek itu menutup wajah dengan kedua tangan, tidak peduli rasa nyeri mulai menghampiri akibat tangannya yang terkena air panas tadi.             Dia ingin menangis sepuasnya. Walau hanya satu hari saja. Dia ingin meluapkan semua kesakitannya, rasa sesaknya, walau hanya hari ini saja.             Tanpa dia sadari, Elang mendengarkan dari balik dinding. Cowok itu bersandar, memejamkan kedua mata dan mencoba menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. ### Malam itu, di halaman belakang villa yang mereka sewa, Beno dan yang lainnya mulai menyalakan api unggun. Para peserta mulai datang dan duduk membentuk lingkaran. Semua nampak bersemangat, terlebih saat Haris keluar dari dalam villa dengan membawa dua buah gitar. Sudah bisa dipastikan, acara malam Minggu ini akan dipenuhi dengan keceriaan.             Amira tidak muncul. Cewek itu masih berada di kamar. Dia sedang bermain ponsel, saat suara ketukan pintu membuatnya mendongak. Tubuh Amira membeku tatkala sosok Elang berdiri di sana, di ambang pintu. Cowok itu terlihat lelah, walau Amira hanya mengetahuinya melalui raut wajah juga tatapan matanya. Senyuman Elang yang tipis dan kecil itu juga terlihat letih.             “Boleh gue masuk?”             Amira tidak langsung menjawab. Suaranya tercekat di tenggorokan. Tanpa menunggu jawaban cewek itu, Elang melangkahkan kakinya, memasuki kamar Amira dan mendekati ranjang cewek tersebut. Dia tetap berdiri, di samping Amira, menatap keseluruhan wajah cewek itu.             “Gimana keadaan lo?”             “Baik,” jawab Amira pelan, nyaris menyerupai bisikan. Cewek itu berdeham pelan dan membasahi bibirnya yang terasa kering. “Ada apa?”             Raut wajah Elang yang datar dan kaku membuat Amira sadar akan ketololan pertanyaannya barusan. Cewek itu akhirnya kembali berdeham, agar bisa mengembalikan kesadaran Elang.             “Nggak ada apa-apa,” jawab cowok itu. “Gue ke luar lagi kalau begitu.”             Begitu tubuh Elang berputar, Amira seolah ingin lari dari tempat tidur dan memeluk punggung cowok itu. Punggung itu semakin lama semakin menjauh, seiring dengan keadaan penglihatannya yang mulai memburam karena genangan air yang sudah tercipta. Kepalanya tertunduk, membiarkan buliran kristal itu jatuh membasahi pahanya. Setidaknya, Elang sudah pergi meninggalkan kamar ini, sehingga Amira bisa menangis sesuka hatinya.             “Gue mohon jangan nangis, Mir....”             Suara sarat kelelahan itu membuat Amira tersentak. Dia mengangkat kepala dan bertemu mata dengan Elang. Cowok itu mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh sambil menatap Amira dengan tatapan sakit.             “Jangan nangis, Mir... gue nggak bisa ngeliat lo nangis. Terlebih, lo nangis karena gue.”             Kepala Amira menggeleng. Cewek itu kembali menunduk, terisak pelan sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan. Bahunya bergetar akibat menangis, membuat Elang langsung mendekati cewek itu dan membawa tubuhnya ke dalam dekapan.             Di dalam dekapan Elang, Amira menumpahkan tangisnya. Dia membutakan mata dan hatinya walau hanya sebentar saja. Menutupi kenyataan bahwa orang yang saat ini sedang memeluknya adalah Elang. Elang yang sudah memiliki pacar. Elang yang sudah mengambil tempat penting di hatinya. Elang yang dia cintai. Tidak apa-apa, kan, dia bersikap egois walau hanya malam ini saja? Tidak apa-apa, kan, kalau dia meminjam Elang untuk malam ini saja?             Sama seperti Amira, Elang juga ingin bersikap egois, meskipun hanya untuk hari ini saja. Melupakan kenyataan bahwa Tasya adalah pacarnya. Mengabaikan kenyataan bahwa dia tidak boleh mencintai Amira karena hal itu akan menyakiti Tasya.             “Biarin gue meluk elo sepuas gue, Mir... untuk hari ini aja... untuk malam ini aja, gue mau bersikap egois.” Elang memejamkan kedua matanya dan semakin mempererat pelukannya.             Amira ikut memejamkan kedua matanya. Dadanya sesak bukan main. Dia terisak cukup hebat. Membiarkan kedua lengan Elang melingkupi tubuhnya dengan begitu eratnya. Menyesali takdir yang harus mempertemukan dirinya dan Elang. Menyesali keadaan di mana dia membiarkan Elang memasuki hatinya.             Pintu kamar Amira yang masih terbuka setengahnya, setelah Elang tidak jadi keluar dari dalam kamar cewek itu, memancing perhatian Brian yang akan melangkah menuju halaman belakang villa. Sambil mengerutkan kening, Brian menghampiri kamar Amira dan mengintip melalui pintu yang terbuka setengahnya itu. Begitu dia melihat pemandangan di dalam kamar Amira, cowok itu lantas menarik napas panjang.             Brian yakin, perasaan Amira akan jauh lebih baik beberapa saat lagi. ### “Kenapa kalian menangis? Lalu, siapakah gerangan Putri cantik yang tertidur di dalam peti kaca itu?”             Di dalam peti kaca, tepatnya di atas meja yang dikelilingi oleh kaca—thanks to Haris dan para teman kost-nya yang bisa membuat benda menyerupai peti kaca—Amira tertidur. Rambutnya diberi mahkota kecil, hasil pinjaman—nyaris memaksa—Ria pada adiknya yang masih berusia lima tahun. Make-up natural di wajah Amira membuat cewek itu nampak mempesona dan semakin cantik.             “Dia adalah Putri Salju.” Brian mulai menjalankan perannya. Gondok setengah mati dengan kostum jelek yang harus dia pakai dan iri luar biasa pada Elang yang mendapatkan peran enak dalam pentas ini.             “Apakah Putri Salju sedang tertidur?” tanya Elang dengan tatapan yang terus mengarah pada Amira. Brian yang melihat itu mendadak kasihan. Cowok itu tidak bisa berbuat apa pun untuk sahabatnya dan juga Elang, karena memang tidak ada apa pun yang bisa dia lakukan. Mereka jatuh cinta pada waktu yang salah.             “Tidak. Dia sudah mati. Terkena racun mematikan dari buah apel yang diberikan entah oleh siapa.” Brian melirik Elang. Tatapan cowok itu penuh dengan kesakitan sekaligus rasa sayang yang begitu besar. Tak tahan, Brian akhirnya memalingkan wajah.             “Cantik sekali,” kata Elang seraya membuka peti kaca tersebut. Dia mengelus pipi Amira, menatap keseluruhan wajah cewek itu dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Setiap inci dari wajah Amira akan selalu Elang ingat di dalam otak dan hatinya. “Seandainya saja dia masih hidup....”             Perlahan, Elang mulai membungkukkan tubuhnya. Semua peserta yang menonton langsung terkesiap dan menahan napas. Beberapa peserta cewek saling meremas lengan teman mereka dan mulai berkasak-kusuk. Bertanya-tanya, apakah Elang benar-benar akan mencium Amira atau tidak.             Begitu wajah Elang sudah sangat dekat dengan wajah Amira, sebelah tangan Elang terulur. Telapak tangan cowok itu menutup mulut Amira. Ini adalah yang terakhir. Setelah ini, dia akan menjauh dari cewek itu. Dia akan berusaha melupakan rasa cintanya untuk Amira, meskipun itu akan membunuhnya perlahan. Dia akan tetap berada di sisi Tasya, menemani Tasya, seperti yang Tasya lakukan selama ini kepadanya.             Sebelum Elang mencium punggung tangannya sendiri yang dia taruh di mulut Amira agar mereka tidak perlu berciuman di depan para peserta, Elang mendekati telinga Amira dan berbisik, “Gue mencintai elo... sangat mencintai elo... tapi, gue akan melupakan perasaan gue ini ke lo... dan gue harap, lo juga melakukan hal yang sama. Demi kebaikan gue, lo dan juga... Tasya....”             Dan begitulah... Elang ‘mencium’ Amira.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN