TUJUH

2351 Kata
TUJUH   “Amira!” Miko, salah satu anggota panitia dan juga pemeran di dalam pementasan drama nanti, datang menghampiri cewek itu. Amira tersenyum dan mengangkat tangannya sebagai sapaan untuk Miko. Cowok humoris itu menjatuhkan tubuhnya di samping Amira dan merangkul pundaknya bersahabat. “Gue dengar dari Brian kalau lo lagi sakit, ya?”             Amira mengangguk.             “Sakit apa, Mir?”             Hati! Gue sakit hati sampai berdarah-darah! “Cuma maag. Nggak ada yang perlu dikhawatirin, kok.”             “Jangan anggap remeh penyakit maag, loh,” kata Miko mengingatkan. “Sepupu gue juga punya penyakit maag dan sekarang makin parah. Kalau kambuh, kerjaannya keluar-masuk rumah sakit terus.” Miko terkekeh geli. “Makanya, lo jangan sampai kayak sepupu gue, ya!”             “Oke.” Amira mengangguk dan ikut tertawa bersama Miko. Cowok itu benar-benar baik dan ramah pada siapa saja. Sifat humorisnya memudahkannya untuk bergaul dengan semua orang. “Jam berapa kita latihan hari ini?”             “Hmm?” Miko melepaskan rangkulannya pada pundak Amira. “Belum tau. Kak Beno cuma nyuruh kita ngumpul di aula dulu. Eh, elo kenapa lagi sama si Elang?”             Bagaikan disengat lebah, hanya mendengar nama Elang saja mampu membuat Amira salah tingkah saat ini dan jantungnya berdebar keras. Sungguh, ini benar-benar aneh. Baru pertama kali dia merasakan hal ini. Biasanya, jika ada yang menyebutkan nama Elang di depannya atau menceritakan Elang, cewek itu akan langsung muak dan mendengarkan dengan setengah hati.             Semenjak kejadian di atap gedung kampus mereka, Amira memang belum bertemu lagi dengan Elang. Cewek itu absen kuliah. Pada Mama, Amira beralasan bahwa dia sedang merasa tidak enak badan. Alhasil, wanita cantik itu menyuruhnya untuk beristirahat saja di rumah. Namun, ada hal-hal yang justru terjadi di luar logikanya. Misalnya saja, ketika dia mendadak memikirkan Elang dan bagaimana cowok itu berusaha membuatnya melupakan kesedihannya mengenai Alfar saat di atap gedung.             Come on! Ini Elang! Elang, si cowok arogan paling menyebalkan di mata Amira. Masa, sih, hanya dalam dua hari saja, sudut pandang Amira terhadap cowok itu sudah berubah? Please, deh! Ini bukan acara FTV atau novel, di mana si tokoh utama yang tadinya saling bermusuhan mendadak jatuh cinta. Lagian, Elang sudah memiliki Tasya, kok.             Amira menarik napas panjang. Mengingat nama Tasya, entah kenapa membuatnya tidak bersemangat. Sepertinya, dia memang sudah kehilangan akal sehatnya.             “Gue sama Elang nggak kenapa-napa, kok,” jawab Amira setelah terdiam cukup lama. “Kenapa emangnya?”             “Entah, ya. Mungkin hanya perasaan gue aja, tapi....” Miko berbisik di telinga Amira. “He was looking at you.”             Amira terkesiap.             Penasaran, Amira menoleh. Cewek itu menelan ludah dan mencari keberadaan si cowok dingin yang diberinya julukan kulkas. Amira menemukan cowok itu sedang berada di sudut aula sambil berbincang dengan Toni. Ketika ada salah satu panitia cewek bertanya pada Elang, raut wajah cowok itu berubah datar dan terlihat dari gestur tubuhnya kalau dia merasa enggan berbicara dengan cewek tersebut. Akhirnya, Toni yang berbicara dengan panitia cewek itu.             Mendadak, Elang menoleh ke arahnya. Seperti orang t***l, Amira hanya diam. Menatap Elang tanpa berkedip. Membiarkan jantungnya berdegup kencang seperti ingin meloloskan diri dari rongganya. Ini tidak benar. Ini sangat berbahaya.             “Tuh, dia ngeliatin elo lagi, Mir!” seru Miko bersemangat. Cowok itu langsung sadar bahwa Amira tidak merespon ucapannya, karenanya dia menatap Amira. Kening Miko mengerut ketika menemukan cewek itu terpaku di tempatnya. Sambil mengibaskan sebelah tangannya di muka Amira, dia mengagetkan cewek itu.             “Miko!” teriak Amira kaget. “Elo ngapain, sih?!”             “Siapa suruh gue lagi ngomong malah dicuekkin.” Miko terkekeh geli. “Hayo, lagi liat-liatan sama Elang, ya? Katanya musuhan? Musuhan kok saling tatap begitu, sih?”             “Apaan sih, lo?!” bentak Amira bete. Dia mendorong bahu Miko. “Pergi sana! Jangan ganggu gue!”             “Sensi.” Miko tertawa dan menepuk pundak Amira. “Ingat, dia punya pacar.”             Dihadapkan oleh kenyataan itu lagi membuat Amira membeku. Sepeninggal Miko, cewek itu menarik napas panjang dan menunduk. Dia menatap kedua sepatunya sambil memijat pelipisnya.             Iya, Elang memang sudah punya pacar. Sialnya, hati Amira sekarang mendadak ngilu. Nggak tahu kenapa. ### Ada yang berbeda, Brian sadar itu.             Amira jadi lebih banyak diam. Biasanya, cewek itu akan berceloteh ke sana-kemari. Amira juga bilang bahwa dia sudah tidak apa-apa. Sudah baikkan. Ketika dua hari yang lalu dia mengantar cewek itu pulang pun, keadaannya jauh lebih baik daripada saat dia berada di lembaga. Entah apa yang Elang lakukan, yang jelas, cowok itu berhasil membuat Amira kembali menjadi Amira yang biasanya. Brian ingat waktu itu, di saat Amira meneleponnya dan memintanya untuk bertemu di parkiran karena cewek itu ingin pulang, Amira menunggunya dengan raut wajah kesal. Dan, keluarlah semua makian serta curhatannya mengenai sikap Elang yang sangat menyebalkan di atap gedung kampus—dikutip dari ucapan cewek itu sendiri.             “Koreksi kalau gue salah, tapi, lo jadi agak pendiam hari ini.”             “Biasa aja,” jawab Amira sekenanya. Brian menghela napas.             “Amira,” panggil Brian lagi. “Gue hafal kelakuan lo kalau lo lagi banyak pikiran.”             Tiba-tiba, suara Beno menggema. Amira dan Brian sontak menoleh lalu menegang. Di pintu masuk aula, Alfar muncul. Dia tersenyum ke arah Beno dan menjabat tangan cowok itu. Begitu tersadar dari keterpakuannya, Amira langsung berdiri dari kursi. Diikuti Brian, cewek itu berniat keluar dari pintu samping aula, saat suara Beno kembali terdengar.             “Amira! Kak Alfar nyariin lo, nih.”             Tidak bisakah dia hidup tenang dan melepaskan diri dari Alfar? ### Melihat wajah Amira entah kenapa memberikan kenyamanan yang tiada tara untuk Alfar. Dia baru menyadari bahwa cewek itu ternyata memiliki pengaruh yang besar untuknya. Untuk otak, terutama hatinya. Dia belum mau berpikiran terlalu jauh. Dia juga tidak ingin terlalu cepat mengambil kesimpulan. Walau bagaimanapun, selama ini Alfar hanya menganggap Amira sebagai teman. Kalau sekarang dia tiba-tiba memiliki perasaan khusus untuk cewek itu, Alfar ingin membuktikannya terlebih dahulu.             “Amira,” panggil Alfar lembut. Dia berjalan ke arah cewek itu dan berhenti tepat di depannya. Amira diam. Cewek itu mendongak agar tatapan mereka sejajar. Amira bahkan tidak membalas senyuman Alfar sama sekali. Dia memasang wajah dan tatapan sedatar mungkin, seolah-olah kehadiran Alfar tidak memiliki pengaruh apa pun baginya. Hal yang kebenarannya jelas patut dipertanyakan. Di tempatnya, Brian mengawasi semua gerak-gerik Alfar. Cowok itu akan langsung menghajar Alfar, jika dia berani membuat Amira marah bahkan menangis di sini. Lihat saja. Brian tidak pernah main-main dengan ucapannya walau hanya dia umbar di dalam hati. “Apa mau kamu?” tanya Amira langsung. Nada suara cewek itu membuat senyuman Alfar menghilang. Cowok itu menatap Amira dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Amira berubah. Amira benar-benar berbeda dengan sosok yang dulu pernah dikenal sangat baik oleh Alfar. Cewek itu bahkan tidak menggunakan embel-embel ‘Kak’, ketika berbicara dengannya barusan.             Situasi berubah dengan cepat. Atmosfer yang tercipta sanggup membuat orang-orang di sekitar Amira dan Alfar menjadi tegang. Tak terkecuali Brian dan juga... Elang.             “Bisa kita bicara berdua sebentar?” Alfar menatap sekitarnya lalu kembali fokus pada cewek di depannya. “In private.”             “Aku nggak perlu ngomong apa pun sama kamu.” Amira berdeham untuk menormalkan suaranya yang mendadak bergetar. Dia tidak boleh menangis di depan Alfar. Dia harus kuat. Dia harus bertahan. “Dan aku rasa, emang nggak ada yang perlu diomongin di antara kita berdua.”             “Ada!” tegas Alfar. Cowok itu kemudian menyambar lengan Amira dan membawa tubuh cewek itu mendekat ke arahnya. Tatapan Alfar berubah tajam. Cowok itu benar-benar tidak mengerti kenapa Amira bisa berubah menjadi orang yang dingin seperti ini. “Aku harus minta penjelasan dari kamu soal sikap kamu ke aku!”             Baru saja Amira akan membalas ucapan Alfar, juga Brian yang terlihat tidak bisa menahan emosinya lebih jauh lagi dan berencana menghajar cowok sialan di depannya itu, bahu Alfar telah lebih dulu diputar. Begitu Alfar menoleh, sebuah kepalan tangan sudah mendarat di wajahnya. Semua yang menyaksikan hal itu terperangah, pun dengan Amira. Cewek itu bahkan sampai menjerit tertahan dan menatap sosok yang baru saja memukul Alfar.             “Elang...?”             “Kalau dia berubah, harusnya lo mikir!” Elang menatap Alfar yang masih tersungkur di atas lantai dengan tatapan dinginnya. Jarinya menunjuk wajah cowok itu lurus-lurus. “Lo pikir pake otak lo itu! Harusnya, sejak dulu, ketika lo dekat sama Amira, lo pake hati lo supaya lo bisa ngeliat dan bisa peka!”             “Elang!” seru Amira takut. Takut kalau ternyata, orang yang dianggapnya menyebalkan itu tahu mengenai perasaannya pada Alfar. Meskipun kenyataannya, Amira sama sekali tidak mempunyai gagasan, bagaimana Elang bisa tahu semua tentang itu.             “Lo tau rasanya mencintai seseorang diam-diam, Kak Alfar?” tanya Elang dengan penekanan nada pada kalimat terakhirnya. Senyum cowok itu terbit. Jenis senyuman yang terkesan sinis. Elang mendengus keras. “Gue berani taruhan, lo bahkan nggak pernah tau gimana rasanya. Biar gue kasih tau lo satu hal. Dia....” Elang menarik Amira ke arahnya dan tetap mencekal lengan cewek di sampingnya itu. Amira memberontak, mencoba untuk melepaskan diri namun gagal. Dia menatap Brian, meminta bantuan sahabatnya itu melalui kedua matanya, namun Brian justru diam. Brian seolah tuli dan buta. “Dia cinta sama lo! Gue ulangi sekali lagi, ya, supaya lo paham... AMIRA CINTA SAMA LO, b******k!”             Amira berhenti berontak dan menunduk. Bahunya bergetar. Matanya memanas dengan cepat dan bulir-bulir kristal itu perlahan turun. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya mulai tidak beraturan. Selesai. Semua sudah selesai. Hal yang selama ini dia tutup rapat-rapat akhirnya terbongkar juga. Di depan semua orang. Di depan... Alfar sendiri.             Mendengar teriakan Elang itu membuat Alfar tersentak. Dia menatap Elang dan Amira bergantian. Tidak bisa percaya dengan pendengarannya sendiri. Cewek itu bahkan tidak mau menatap ke arahnya.             Jadi... selama ini Amira mencintainya? Dan dia sama sekali tidak bisa melihat hal itu?             “Dia cinta sama lo dari dulu, tapi lo bahkan terlalu bodoh untuk bisa ngeliat hal tersebut.” Elang melirik Brian sekilas. Sahabat Amira itu hanya diam dan menatapnya datar. Amira sendiri masih terguncang di tempatnya. Tidak mengerti bagaimana Elang bisa tahu rahasia terbesarnya itu. “Jadi, kalau sekarang lo ngerasa sikapnya mulai berubah, lo harus bisa terima! Mungkin dia sadar kalau selama ini, dia udah mengorbankan hatinya untuk orang yang salah!”             Selesai berkata demikian, Elang menarik Amira keluar dari aula. Beno, Miko dan semua anggota panitia yang lain tidak tahu harus berbuat apa. Beberapa di antara mereka tahu mengenai hubungan Elang dan Amira yang tidak pernah akur, seperti musuh bebuyutan. Tapi, hari ini mereka bahkan melihat bagaimana Elang mencoba melindungi hati cewek itu.             Brian menghampiri Alfar yang masih terkejut di tempatnya. Dia masih belum bangkit. Wajah cowok itu benar-benar terlihat kacau. Brian berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Alfar. Ditatapnya alumni kampusnya itu dengan tatapan tajam.             “Sekarang lo ngerti, kenapa gue nyuruh lo untuk jauhin Amira? Karena lo terlalu banyak menorehkan luka di hatinya. Meskipun semua itu lo lakukan tanpa lo sadari.” Brian bangkit dan menunduk untuk melihat kejatuhan Alfar. “Mulai detik ini, kalau lo emang peduli sama Amira, kalau lo emang menganggap Amira sebagai adik lo sendiri, adik yang harusnya lo jaga dan lo lindungi, jauhi dia. Ingat itu.”             Brian keluar dari aula dan menutup pintu dengan bantingan. Disaksikan oleh Beno dan yang lainnya, Alfar menggeram keras kemudian meninju lantai di bawahnya. ### Ketika mereka berada di dalam kelas yang sudah kosong dan Elang menutup pintu di belakangnya dengan keras, barulah cowok itu melepaskan lengan Amira yang sejak keluar dari aula selalu memberontak. Cewek itu menatap Elang dengan wajahnya yang berlinang air mata, juga dengan tatapan amarahnya.             “Buka mata lo, Amira!” Elang mulai membuka suara. Nadanya terdengar sarat akan emosi. Elang sendiri tidak tahu kenapa dia bisa seemosi ini. Padahal sudah jelas kalau semua ini bukanlah urusannya. “Buat apa lo tangisin cowok nggak peka macam dia?!”             “b******k! Elo emang b******k!” teriak Amira menggelegar. Cewek itu semakin menangis dan meringsek maju ke arah Elang. Dikerahkannya seluruh tenaga, ketika Amira memukuli d**a Elang bertubi-tubi. Tidak hanya memukuli, Amira juga mendorong d**a cowok itu hingga Elang beberapa kali tersentak mundur. “Kenapa lo ikut campur urusan gue, hah?! Lo nggak berhak ikut campur, Lang! Dasar b******k! Apa lo bakalan mati kalau nggak bikin gue emosi sedetik aja?! Iya?! Lo mau gue mati, Lang?! b******k!”             Kehabisan tenaga, Amira jatuh beralaskan kedua lututnya di atas lantai. Cewek itu menunduk dan tidak bisa berhenti menangis. Hatinya sakit. Dan yang lebih menyakitkan lagi, Alfar harus mengetahui tentang perasaannya selama ini dari mulut Elang dan disaksikan oleh banyak orang.             Elang tidak bersuara lagi. Cowok itu tidak mengerti dengan perasaan lain yang muncul di hatinya saat ini. Perasaan ingin menjaga dan melindungi Amira. Bukan hanya fisiknya saja, melainkan juga hatinya. Hatinya sakit ketika dia melihat Amira terpuruk seperti ini.             Hanya suara tangis Amira yang mendominasi. Jeda yang tercipta pun cukup lama. Setelah dirasa keadaan mulai bisa terkendali, Elang bersimpuh dengan satu lutut menyentuh lantai. Meski masih menangis, namun tangisan Amira sudah lebih terkontrol sekarang jika dibandingkan tadi. Elang mengulurkan tangan kanannya dan tanpa bisa dicegah bahkan oleh akal sehatnya sendiri, cowok itu menarik tubuh Amira ke arahnya. Ke pusarannya. Ke lingkarannya.             “Kenapa lo harus ngelakuin itu, Lang?” tanya Amira sambil mencengkram kaus cowok yang sedang memeluknya itu. “Kenapa?”             Pertanyaan yang dibiarkan menggantung begitu saja. Elang tidak ingin menjawab dan tidak ingin bersuara sama sekali. Yang dia inginkan hanyalah menenangkan Amira dan mengenyahkan semua kesedihan cewek itu. Yang dia inginkan hanyalah membuat Amira tersenyum lagi. Menghapus air mata sialan itu dari wajahnya.             Amira terlena oleh pelukan Elang. Rasanya sangat nyaman dan hangat. Cewek itu seketika merasakan kedamaian. Kedamaian yang belum pernah dia rasakan saat bersama dengan siapa pun. Termasuk ketika dulu dia dan Alfar masih dekat.             Tiba-tiba, Elang melepaskan pelukannya. Amira mengerutkan kening dan menatap kedua mata cowok di depannya itu. Berbagai macam kilatan emosi silih berganti terlihat di manik mata Elang. Yang paling mendominasi adalah rasa bersalah. Saat itu Amira sadar, dia sudah melakukan hal yang seharusnya tidak boleh dia lakukan.             “Maaf,” ucap Elang cepat. Cowok itu lantas bangkit dan berjalan keluar kelas.             Di luar kelas, bersandar pada daun pintu yang sudah menutup, Elang memejamkan kedua matanya. Ada yang berubah, dia tahu itu. Ketika tadi dia memeluk Amira, perasaan nyaman itu menyusup. Mematahkan semua logika dan akal sehatnya. Membunuh semua perasaan bencinya pada semua kaum cewek. Membutakan hatinya, sampai kemudian, bayangan Tasya muncul di benaknya seraya tersenyum dan memanggil namanya.             “Maafin aku, Sya....” Elang menunduk, mengepalkan kedua tangannya dan tidak menyadari bahwa seseorang sedang memperhatikannya dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.             Brian.              
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN