DELAPAN

2808 Kata
DELAPAN   Hari ini, Tasya kembali mengunjungi Elang tanpa sepengetahuan pacar tersayangnya itu. Langkah kaki Tasya terhenti kala dia melihat sosok yang akan ditemuinya itu sedang menarik Amira. Cewek itu mengerutkan kening dan jadi bertanya-tanya di dalam hati. Apakah Elang dan Amira sedang ada masalah? Kelihatannya, Amira sedang menangis. Tasya hanya berharap bahwa Elang tidak melakukan sesuatu yang bisa membuat hati cewek sebaik Amira sakit.             Penasaran, Tasya akhirnya mengikuti ke mana Elang akan membawa Amira. Cewek itu berjalan dengan kewaspadaan supaya Elang tidak akan mengetahui keberadaannya. Lalu, untuk yang kedua kalinya, langkah Tasya terhenti.             Elang membawa Amira ke sebuah kelas yang sepertinya sudah kosong. Entah apa yang ditakutkan oleh Tasya, yang jelas, cewek itu mulai tidak bisa menutup kegelisahannya. Dia cewek dan dia paham betul dengan apa yang saat ini berkecamuk di dalam hatinya. Dia takut kalau Elang akan pergi darinya.             Tidak! Tidak! Tasya menggelengkan kepalanya dan menarik napas panjang. Dia menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Senyumnya kembali muncul ke permukaan. Gue harus percaya sama Elang, harus!             Mempercayai instingnya bahwa Elang tidak akan pernah mengkhianati kepercayaan yang sudah dia berikan, Tasya bergegas mendekati ruangan kelas yang tadi dimasuki oleh Elang. Tasya tidak pernah menyangka bahwa hatinya akan hancur secara perlahan, ketika dia membuka pintu tersebut dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi yang bisa membuat Elang mengetahui keberadaannya.             Dari celah pintu, Tasya menyaksikan pemandangan itu. Pemandangan di mana Elang bersimpuh dengan satu lutut menyentuh lantai dan memeluk Amira yang sedang menangis dengan sangat... erat.             Setetes air mata itu bergulir turun di pipi mulus Tasya. Cewek itu dengan cepat menghapus air matanya dan memutar tubuh. Dia masih membelakangi pintu, menyentuh dadanya dengan sebelah tangan dan memejamkan kedua mata.             Dia tidak boleh mengambil keputusan secara sepihak. Dia tidak boleh menghakimi Elang hanya dengan melihat pemandangan menyakitkan tadi. Pasti ada alasan dibalik sikap Elang pada Amira saat ini. Ya, itu pasti.             Setelah berdebat dengan batinnya sendiri, Tasya akhirnya mengambil satu keputusan. Detik itu juga, ketika pintu di depannya siap terdorong, sebuah tangan besar memegang pergelangan tangannya. Tasya menoleh dan mengerutkan kening. Dia menjauhkan tangannya dari gagang pintu dan menghapus air mata yang entah sejak kapan terus saja mengalir.             “Siapa lo?” tanya Tasya. Sepertinya, dia pernah melihat cowok di depannya itu sebelumnya. Tapi, di mana?             “Gue Brian.” Sahabat Amira itu menarik pelan tangan Tasya, membawa cewek itu ke salah satu sudut di dekat ruangan kelas tempat Elang dan Amira berada. “Gue sahabat Amira.”             Tasya hanya diam. Dia melepaskan tangannya dari cekalan Brian dan memaksakan seulas senyum. Semua orang sepertinya sangat menyukai Amira.             “Gue mau minta tolong sama lo,” pinta Brian. Tatapan matanya sarat akan ketegasan dan terlihat begitu serius. Tasya sendiri tidak menjawab. “Gue mau, lo mengizinkan Elang sehari ini aja untuk nenangin Amira.”             “Kenapa harus Elang?” tanya Tasya akhirnya. Sisi sensitifnya sebagai seorang cewek mulai menyeruak keluar. Cewek mana pun tidak akan bisa tahan melihat pacarnya memeluk orang lain. “Kenapa bukan lo?”             “Karena Elang yang memulai semua keributan di aula tadi, Sya.”             Tasya tidak tahu harus berbuat apa. Egonya menyuruhnya untuk menarik Elang keluar dari dalam kelas dan membawa cowok itu pergi dari area kampus. Tapi, Brian berkata bahwa semua ini terjadi karena Elang lah yang memancing keributan. Apa yang harus dia lakukan?  “Akan gue pastikan, dia kembali ke pelukan lo. Akan gue pastikan, dia hanya akan tetap melihat lo. Karena, gue nggak sudi kalau Amira harus dekat dengan cowok dingin macam kulkas seperti cowok lo itu.”             Anggukkan kepala yang terlihat ragu dan lemah itu membuat Brian kasihan. Dia berjanji, tidak akan membuat Elang meninggalkan Tasya. Dia berjanji, Tasya akan terus mendapatkan cinta Elang.             Karena, kalau firasatnya memang terbukti benar, ada sesuatu dalam pancaran mata Elang kala menatap Amira. Ada sesuatu dibalik sikap Elang yang membela Amira habis-habisan di hadapan Alfar dan melindungi hati sahabatnya itu.             Brian seorang cowok. Dan Brian yakin dengan asumsinya itu. ### Brian tahu dia sudah berlaku salah.             Malam itu, hari di mana Amira menangis hebat di lembaga kampus dan disaksikan oleh Elang juga Beno, Brian bertemu dengan Elang untuk mengucapkan terima kasih atas pertolongan Elang. Karenanya, dia mengirim sms untuk cowok itu dan mengajaknya bertemu di kafe dekat kampus.             Tak sampai lima belas menit menunggu, sosok Elang muncul. Dia langsung duduk tanpa menunggu Brian mempersilahkannya. Seperti biasa, walaupun Elang terkenal ramah di kalangan cowok, dia tetap bersikap datar kalau berhadapan dengan Brian. Brian dan Amira sepertinya terdaftar dalam satu paket di otak Elang. Sama-sama makhluk menyebalkan.             “Apa tujuan lo ngajak gue ketemuan?” Tanpa basa-basi, Elang langsung menuju persoalan.             Brian berdeham. “Cuma mau berterima kasih sama lo. Terima kasih dengan apa pun cara yang lo gunakan tadi untuk bikin Amira kembali seperti biasanya.”             “Cuma itu?” Elang menatap tegas Brian. “Cuma buat ngucapin terima kasih, yang harusnya bisa lo lakuin lewat sms atau menelepon gue, lo sampai rela buang-buang waktu lo untuk ketemu gue?”             Sial! Harusnya, Brian sadar kalau ini bukanlah rencana yang bagus untuknya.             “Kalau begitu,” kata Elang lagi. Kini, cowok itu menyandarkan punggungnya dan melipat kedua tangan di depan d**a. “Gue mau tanya sesuatu sama lo. Siapa itu Alfar?”             Brian diam. Menatap Elang tepat di manik mata.             “Don’t get me wrong, dude,” ucap Elang yang tahu arti tatapan Brian itu. “Gue nggak tertarik sama sekali dengan urusan sahabat lo itu. Gue cuma nggak mau jadwal latihan drama kita untuk pementasan nanti jadi kacau hanya karena sahabat lo itu keasyikan bergalau.”              “Alfar itu senior kita. Dulu, waktu kita masih semester satu sampai kita semester tiga. Dia lulus tepat ketika kita duduk di tahun ajaran baru di semester tiga. Alfar dan Amira berkenalan saat pekan ospek. Mereka jadi teman dekat sejak saat itu. Bisa dibilang, Alfar itu cinta pada pandangan pertamanya Amira.” Elang mendengus. Brian sendiri cuek dan kembali bercerita. Kalau saja Amira tahu akan hal ini, cewek itu pasti sudah mendepaknya dari status sahabat. Tapi, Elang sudah berbaik hati membantunya. Brian rasa, Elang pantas tahu mengenai Alfar. Siapa tahu di lain kesempatan, kalau Alfar kembali mengganggu Amira, Elang bisa kembali membantu.             “Dia bilang sama gue kalau dia udah bisa melupakan Alfar setelah cowok itu lulus. Tapi, nyatanya, Amira jauh dari kata ‘melupakan’ Alfar,” jelas Brian sambil membuat tanda kutip dengan jarinya. “Gue pernah nyuruh dia untuk jujur soal perasaannya ke Alfar. Tapi, cewek itu menolak keras. Hebatnya lagi, waktu itu, Amira cerita kalau Alfar hanya menganggap Amira sebagai seorang adik.”             “Cih,” cibir Elang sinis. Hal yang langsung membuat kening Brian mengerut. “Klise.”             Mengabaikan komentar Elang, Brian melanjutkan, “Makanya, gue mati-matian ngejauhin Alfar dari Amira. Gue bahkan sempat ketemu sama Alfar dan hampir nonjok cowok itu. Waktu itu, saat lo tiba-tiba muncul di hadapan kami, dan lo narik Amira pergi dari hadapan Alfar, itu adalah kali kedua gue hampir nonjok dia.”             “Dan lo nggak melakukannya sama sekali,” sahut Elang cepat. “Cemen banget.”             “Amira menghadang!” Brian berseru keras. Kedua matanya menatap tajam Elang dan detik berikutnya, dia berdeham untuk mengusir ketegangan yang sempat hadir di antara mereka, hingga menyebabkan beberapa pasang mata tertuju ke arahnya dan Elang. “Terus, apa rencana lo?” tanya Elang setelah jeda yang cukup lama mengambil alih keadaan. Brian menarik napas.             “Yang bisa gue lakuin saat ini cuma berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhkan Amira dari Alfar,” katanya lesu. “Amira akan terus merasa sakit kalau melihat kehadiran Alfar atau berdekatan dengan cowok itu.”             “Gue setuju.”             “Kenapa lo sependapat sama gue?”             Elang diam. Dia tidak tahu bahwa saat ini, Brian sedang menilainya. Elang sendiri heran dengan perubahan sikapnya terhadap Amira. Yang jelas, dia tidak suka melihat Amira menangis seperti itu lagi hanya karena Alfar.             “Alasan gue masih tetap sama seperti sebelumnya,” kata Elang tiba-tiba, ketika cowok itu berhasil menemukan suaranya lagi. Elang tersenyum miring. “Dia boleh melanjutkan sesi patah hatinya kalau semua acara sudah selesai. Untuk sekarang, gue mau dia fokus! Walau gue hanya sebagai panitia tambahan, gue mau semuanya berjalan lancar. Kerja keras anggota lain nggak boleh berakhir sia-sia hanya karena satu orang panitia yang kerjaannya nangis nggak karuan.”             Dan begitulah... itu adalah hal yang disembunyikan oleh Brian dari Amira. Bahwa dia dengan sangat terpaksa menceritakan soal Alfar kepada Elang. Bahwa semua itu adalah awal dari terjadinya kekacauan yang lebih parah lagi. ### Latihan hari itu kembali dilanjutkan. Amira terlihat fokus dan lebih serius. Bisa dibilang, cewek itu sengaja menyibukkan diri dengan memfokuskan semuanya pada latihan drama. Brian sendiri sedang diam dan mengawasi Amira juga Elang. Dia merasa ada sesuatu yang menyusup tanpa keduanya sadari.             “Yan,” panggil Amira tiba-tiba, membuat Brian tergagap karena merasa telah dipergoki oleh cewek itu. Brian berdeham lantas tersenyum. Didekatinya Amira dan dia mengambil tempat tepat di samping sahabatnya itu.             “Kenapa?”             “Gue sumpek.” Amira menghembuskan napas panjang. Matanya menatap naskah dialog di atas pahanya dengan tatapan datar. “Gue mau nenangin diri sama pikiran. Kenapa, sih, semuanya harus terjadi sama gue? Gue cuma pengin keluar dari situasi ini secepatnya.” Amira mengepalkan kedua tangannya di atas paha. Matanya mulai berkaca, membuat Brian mengusap rambut cewek itu.             “Jangan dipikirin dulu,” saran Brian. “Semua yang terjadi, emang harus terjadi, Mir. Lo harus yakin kalau setelah ini semua selesai, akan ada hikmah yang bisa lo petik. Mungkin semuanya emang berat buat lo, tapi....” Brian tersenyum tipis. “Everything will be alright, Mir.”             Amira hanya bisa mengangkat kepala dan menatap Brian di manik mata. Senyuman Brian itu membuat perasaan Amira sedikit tenang dan cewek itu balas tersenyum. Sambil mengangguk, Amira menghapus air matanya dengan punggung tangan. Berdua dengan Brian, Amira tertawa ketika sahabatnya itu mencubit hidungnya gemas.             Tawa Amira dan Brian menghilang kala Elang menghampiri. Cowok itu menatap Brian sebentar lalu fokus pada Amira. Dia bisa melihat bekas air mata di pipi cewek itu. Amira balas menatapnya, sampai kemudian, Elang menarik napas panjang.             “Gue mau ngajakin lo latihan. Hanya di bagian Pangeran dan Putri Salju.”             Kedua mata Amira mengerjap. “Berdua doang?”             “If you don’t mind,” jawab Elang santai. “Gue rasa, gue sama lo perlu membangun chemistry supaya bisa terlihat nyata saat pementasan nanti.”             Brian membuang muka dan mendengus pelan. Chemistry, katanya? Yeah, right!             “Gimana?” Elang kembali bersuara. “Mau apa nggak? Kalau nggak mau juga nggak apa-apa, gue sama sekali nggak maksa.”             Amira bimbang. Cewek itu terlihat sedang berpikir. Masalahnya, saat ini Amira mengalami sport jantung. Jantung tidak tahu malunya itu menendang-nendang rongga dadanya tanpa ampun. Belum lagi dia jadi teringat akan sikap Elang yang sangat perhatian padanya saat di kelas kosong beberapa jam yang lalu. Kejadian yang, entah kenapa, sanggup membuat wajah Amira memanas detik ini. Terlebih ketika adegan Elang memeluknya.             “Oke.” Amira mengangguk tegas. Cewek itu menatap Brian. “Tapi, Brian harus ikut.”             “Nggak masalah,” sahut Elang. “Gue nggak keberatan sama sekali.” ### Latihan itu dilakukan di rumah Brian. Beruntung, orang tua Brian dan adiknya belum pulang ke rumah. Hanya ada pembantu rumah tangga cowok itu saja, yang langsung menyiapkan minuman juga makanan ringan, ketika anak majikannya pulang bersama dua orang temannya. Brian membawa Amira dan Elang ke lantai dua untuk latihan di sana.             “Kalian ngobrol aja dulu,” kata Brian sambil melirik Elang sekilas. “Gue ke kamar, mau ganti baju.”             Sepeninggal Brian, suasana senyap. Amira dan Elang sibuk dengan ponsel mereka masing-masing. Hanya terdengar suara hela napas dan kucing milik Brian yang mengeong di lantai satu.             “Gue belum bilang terima kasih.”             Suara Amira menembus dunia Elang, membuat cowok itu menatap ke arahnya. Amira tidak balas menatap. Cewek itu menunduk, menatap ponselnya yang berada di genggaman.             “Untuk?”             “Karena lo udah ngeluarin gue dari aula dan bawa gue pergi dari hadapan Alfar.” Amira tersenyum kecil. “Walaupun lo harus ngomong soal perasaan gue ke Alfar, di depan cowok itu sendiri dan semua orang.”             “Maaf soal itu,” ucap Elang merasa bersalah. “Gue cuma kesal sama sikap lo yang terlalu lemah di depan Alfar. Gue kesal sama sikap Alfar yang nggak peka soal perasaan lo selama ini.”             “Lo tau dari mana soal perasaan gue ke Alfar?” tanya Amira seraya mendongak. Dia dan Elang saling tatap. Elang tersenyum samar. Senyuman yang, bisa dibilang, tidak terlihat seperti sebuah senyuman. Kalau saja mata Amira tidak jeli, mungkin senyuman Elang itu tidak akan terlihat. Senyuman samar yang entah bagaimana caranya bisa membuat d**a Amira berdesir.             “Gue maksa Brian untuk cerita semuanya.”             “Elo?” Amira terbelalak. “Maksa Brian buat cerita? Dan dia mau cerita?!”             Elang mengangguk.             “Kok bisa?” tanya Amira. “Yang gue tau, selama gue bersahabat sama Brian, dia adalah tipe orang yang nggak bisa dipaksa apa lagi disogok, loh.”             Bahu Elang terangkat tak acuh. “Yah, mungkin karena dia ngerasa berutang budi ke gue.”             “Utang budi?”             “Karena berhasil bikin lo normal lagi hari itu.”             “Normal?” Amira mendelik dan mendengus. “Kurang ajar benar si Brian! Dianggapnya gue udah gila, kali!”             “Lo emang setengah gila waktu itu,” Elang membenarkan, membuat Amira melotot mengerikan ke arahnya. “Intinya, gue tau semua.”             Elang dan Amira kembali sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, sampai akhirnya, suara Elang terdengar lagi.             “Brian nggak suka kalau lo terus bersedih karena perasaan lo untuk Alfar, Mir,” cowok itu menarik napas panjang. “Lo pantas dapat yang lebih baik dari Alfar. Brian benar-benar pengin lo move on dari Alfar.”             “Jangan ngegosipin gue!” Brian mendadak muncul dan berkacak pinggang. “Dan lo, Elang! Bisa-bisanya lo bocorin ke Amira kalau gue yang membeberkan semua hal tentang Alfar?! Dasar kurang ajar!”             Elang hanya tersenyum miring dan mengangkat bahu tak acuh. Dia menatap Amira, memberikan senyumannya pada cewek itu. Amira sendiri bagaikan orang t***l saat ini. Dia hanya bisa terpana dengan senyuman Elang, membiarkan jantung malangnya kembali melakukan maraton tanpa bisa dia cegah.             Percakapan mengenai Alfar dan Amira langsung berakhir ketika Brian muncul. Sebelum memulai latihan semua adegan mengenai sang Pangeran dan sang Putri Salju, Amira sempat menangis karena terlalu banyak tertawa akibat perdebatan Elang dan Brian. Bongkahan es yang pernah tercipta di antara Elang dan Amira, juga Elang dan Brian, seolah mencair tak berbekas. Lantai dua rumah Brian dipenuhi canda tawa yang memang didominasi oleh Brian dan Amira, namun Elang juga sesekali ikut tersenyum.             Pernah satu kali, lelucon yang diucapkan oleh Brian mengenai Amira membuat cewek itu cemberut namun justru membuat Elang tertawa. Tawa keras yang terkesan lepas tanpa beban. Tawa yang sanggup membuat Brian serta Amira melongo maksimal. Brian mungkin mengalami amnesia mendadak, karena cowok itu nyatanya tidak menutup mulutnya kembali. Kalau saja Amira tidak tersadar ketika Elang berhenti tertawa kemudian berdeham, mungkin cewek itu tidak akan mengatupkan mulut Brian yang menganga lebar dengan menggunakan tangannya.             “Siapa gerangan Putri cantik yang berada di dalam peti kaca itu?” tanya Elang dengan wajahnya yang teramat serius. Benar-benar sempurna, persis seperti akting si Pangeran dalam film anak-anak tersebut. Kedua matanya menatap Amira dengan tatapan ingin tahu dan tatapan penuh arti. Ketika dia berjongkok di samping Amira yang berbaring di atas sofa seraya memejamkan kedua matanya, cowok itu lantas mendekatkan tubuhnya ke arah Amira. Wajah mereka semakin dekat, hanya tinggal sedikit lagi, dan...             “Nggak usah beneran juga ciumannya, kali!” Brian memukul punggung Elang dengan gulungan naskah dialog di tangannya. Elang mendengus dan menjauh dari tubuh Amira. Cowok itu berjalan ke arah sofa yang lain dan duduk di sana, sedangkan Amira bangkit dari posisinya kemudian terkekeh geli.             Kekehan yang sebenarnya dimaksudkan untuk menormalkan detak jantungnya. Jantung malangnya yang kembali berulah hingga membuat Amira memiliki rencana untuk mencari donor jantung di rumah sakit-rumah sakit terdekat.             Elang membawa pengaruh yang buruk bagi kesehatan jantungnya. Apa yang sedang terjadi pada dirinya sebenarnya?             “Gue rasa latihan kita udah cukup.” Elang meraih gelas di atas meja dan meminumnya sambil menatap dua orang di depannya tersebut. “Gue rasa, gue sama Amira bisa berakting dengan baik nantinya. Gimana menurut lo?”             Brian mengedikkan bahu. “I think so.” “Asal lo nggak mengacaukan semuanya aja.” Elang melirik ke arah Amira.             “Jangan mulai, Lang,” balas Amira bete. Cewek itu berdiri dan membawa gelas kosongnya ke lantai satu. “Udah mau malam. Gimana kalau lo sekalian makan malam di sini?” tanya cewek itu sebelum dia menuruni tangga.             Lama Amira menunggu jawaban Elang. Dalam hati, belum pernah dia bersikap seperti ini. Berharap bahwa Elang bersedia menerima tawarannya dan mau memakan masakannya.             YANG BENAR SAJA, AMIRA!             “Lo kenapa, deh?”             Suara Brian menginterupsi dunia khayal milik Amira, mengembalikan cewek itu ke alam nyata. Sambil mengerjap, Amira menatap Brian dan juga Elang. Kedua cowok itu menatapnya dengan kening berkerut. Sepertinya, tanpa sadar dia sudah menyuarakan isi hatinya sendiri.             “Gue baik-baik aja.” Amira berdeham. “Lo nggak boleh nolak, oke? Hargain niat baik gue ini. Jarang-jarang, kan, gue mau bersikap baik sama lo sampai rela masakin lo segala?”             Desahan napas Elang yang dinilai Amira terlalu berlebihan hanya membuat cewek itu terkekeh. Dia menuruni tangga, meninggalkan Elang yang sibuk mengetik entah apa di ponselnya, serta Brian yang termenung di tempatnya. Brian yang semakin khawatir dengan asumsinya yang mulai mendekati kenyataan.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN