Pernikahan

1501 Kata
Setiap orang, pasti akan menikah begitu juga dengan Jiwa. Tapi Jiwa tidak pernah berfikir akan menikah secepat ini. Usianya masih muda, masa depannya masih panjang. Akan terasa membosankan saat sepasang suami istri hidup seatap, jika hatinya tidak pernah menetap. Jiwa kembali menatap pantulannya di cermin, kebaya putih akan menjadi saksi masa gadisnya sudah selesai. Tidak ada raut bahagia sedikitpun, yang ada hanyalah rasa ingin mengakhiri semuanya dan mengatakan kalau semua itu hanyalah omong kosong seorang laki-laki licik bernama Raga dirgantara. "Kak Awa cantik Banget, Ayu besok kalau udah besar mau cantik mirip kak Awa. Pasti calon suaminya kak Awa, tambah sayang deh."  Jiwa tersenyum getir, saat adik kecilnya Ayu mengungkapkan rasa kagumnya pada Jiwa. Apakah Raga akan menyayanginya?  "Kalau Ayu udah besar, jangan mau kayak kak Awa ya."  Ayu menggeleng tidak suka, baginya Jiwa adalah idolanya di rumah dan di manapun. Saat Jiwa menikah, sebenarnya Ayu merasa tidak rela. Namun, sang ibu mengatakan kalau Jiwa sudah saatnya berkeluarga. Mau tidak mau, rela tidak rela Ayu akan melepaskan sang kakak untuk menikah. "Kenapa? Apa jadi orang dewasa itu susah kak?"  "Tergantung sih, kalau Ayu nakal pasti susah,"  "Kalau gitu, Ayu bakalan jadi anak penurut ya kak. Kalau Ayu udah jadi anak penurut, apa Ayu boleh kayak kak Awa?" Jiwa akhirnya mengangguk, tidak akan selesai jika meladeni sang adik terus menerus. Semuanya sudah di gariskan, mungkin ini sudah menjadi takdir seorang Jiwa Prameswari. Saat ini, Jiwa masih berada di dalam kamarnya. Hatinya begitu bimbang, apakah sebuah pernikahan yang terjadi karena paksaan akan berakhir dengan kebahagiaan?  "Ayu sampai lupa, kata ibu bang Raga udah dateng. Kak Awa bentar lagi di suruh turun," Jiwa hanya mengangguk kaku, tidak ada rasa bahagia sedikitpun. Jika saja, malam itu teman temannya tidak memaksa dirinya datang pasti saat ini Jiwa tidak akan tersiksa seperti ini. Raga Dirgantara, laki laki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Laki laki yang akan, menjadi imam dalam keluarga kecilnya. Laki laki, yang akan menjadi ayah dari anak-anaknya. Jiwa merasa aneh saat membayangkan Raga menjadi seorang ayah, tidak. Pernikahan ini tidak berlandaskan rasa cinta, tidak akan ada anak diantara mereka. "Sudah siap. Sekarang mbak Jiwa boleh turun. Pasti calon suaminya pangling, liat mbak Jiwa hari ini." Ucap mbak Fani, perias pengantin pilihan Raga. Jiwa mengangguk, berusaha menampilkan senyum terbaik. Senyum yang memiliki arti berbeda, semua itu hanyalah sebuah senyuman palsu. Nyatanya, Raga tidak akan memberikan pujian padanya. Bagi Jiwa, semua ini dilakukan hanya untuk menjaga martabat keluarganya. Keluarga besar Raga sudah tiba di rumah Jiwa, sebenarnya Raga sudah menyiapkan gedung untuk resepsi pernikahan. Tapi Jiwa menolak, alasannya rumah ini adalah tempat di mana dirinya di besarkan dan di tempat ini juga Jiwa akan menjadi seorang istri. Mendengar alasan Jiwa, bunda Raga langsung setuju baginya yang terpenting mereka secepatnya menikah. Karena hal baik, tidak boleh di tunda terlalu lama. "Kenapa kamu senyum senyum sendiri?" Tanya sang bunda pada Raga. Raga menggeleng, jika Jiwa tidak merasa bahagia dengan pernikahan ini. Maka sebaliknya, Raga sangat bahagia hari ini. Meskipun, Jiwa belum mencintainya tak apa. Cinta memang tidak bisa di paksakan, tapi cinta akan datang karena terbiasa. "Sadar bang, Jiwa pasti bentar lagi keluar." Sang ayah mengerti, jika Raga sudah tidak sabar menunggu Jiwa. Calon istrinya. "Kalau nggak sabar, udah dari kemarin aku seret dia ke KUA yah." Sang ayah hanya menggeleng, sudah tau tabiat anaknya itu. Sejak keputusan Raga melamar Jiwa dua minggu yang lalu. Kedua orang tuanya, tidak bisa mencegah keinginannya. Karena bagaimanapun, Raga memang sudah saatnya menjadi kepala keluarga. Meskipun sedikit aneh, Raga datang melamar Jiwa sementara gadis itu sama sekali tidak mengenal Raga. Tak lama setelah perbincangan ayah dan anak itu, Jiwa sudah selesai di rias. Kebaya putih pilihan calon mertuanya sangat cocok untuk Jiwa. "Kalau kedip, Jiwa nggak akan ilang kok Ga."  Raga tersenyum tipis, nyatanya saat ini hanya ada rasa bahagia.  "Jodoh nggak akan kemana Bun, paling nanti cuma di bawa ke rumah kita kan?" Tanya Raga, laki laki itu begitu yakin jika Jiwa memanglah jodohnya. Namun, Raga lupa. Apapun yang berlebihan tidak baik! Raga dan Jiwa duduk bersebelahan, Raga yang terlihat begitu tenang. Dan Jiwa terlihat acuh tak acuh saat ini, yang ada dalam pikirannya hanyalah bagaimana caranya agar Raga bisa segera menceraikannya sebelum memiliki anak. Jangankan memiliki anak, tidur bersama dengan Raga tidak akan pernah ia lakukan. Jika menikah bukanlah keinginannya, maka tidak akan ada yang bisa memaksa untuk menjadi istri yang baik. Ijab qobul berjalan dengan lancar, Raga begitu tenang saat menyebutkan nama istrinya. Jiwa Prameswari, gadis yang usianya berbeda darinya kini resmi menjadi istrinya.  "Om ngapain ikut ke kamar?" Jiwa menatap curiga laki laki yang baru saja resmi menjadi suaminya itu. Raga tidak menanggapi pertanyaan Jiwa, Raga malah merebahkan tubuhnya di atas kasur sang istri. Membuat Jiwa hampir kehilangan kesabarannya. "Ini kamar aku, sana keluar!" "Mau tidur bentar, jangan di ganggu." Ucap Raga pelan, sepertinya Raga sedang menguji kesabaran istrinya. Jika tidak ingat masih banyak orang di rumah ini, mungkin Jiwa sudah menyeret Raga untuk keluar. Karena malas berdebat, Jiwa memilih duduk di sofa dekat jendela. Menatap langit yang begitu cerah, berbanding terbalik dengan kondisi hatinya saat ini. Bahkan, Jiwa tidak peduli ada Raga di sini. Statusnya boleh berganti menjadi seorang istri, tapi tidak dengan perasaannya. Sebenarnya, Jiwa tidak membenci Raga. Hanya saja, Jiwa tidak bisa di paksa seperti ini. Pernikahan merupakan suatu hal yang akan di lakukan sekali dalam seumur hidup, menjadi janda bukan pilihannya. Tapi jika, suatu saat hal itu terjadi Jiwa siap menerimanya. "Apa kamu bahagia?" Jiwa menoleh, mendapati Raga yang ikut duduk bersamanya. Menatap langit yang sama, dengan perasaan yang berbeda. "Meskipun aku nggak bahagia, tapi liat orang tuaku bahagia rasanya lebih dari cukup."  Raga tersenyum tipis, sangat tahu apa maksud ucapan sang istri. Jiwa memang masih muda, tapi rasa pedulinya pada keluarga membuat Raga semakin yakin pilihannya menikahi Jiwa secara paksa adalah pilihan yang tepat. Raga tidak memikirkan, apa yang Jiwa rasakan saat ini. Tidak peduli jika Jiwa merasa tertekan, tidak peduli jika Jiwa menderita. "Mulai besok, kita tinggal di rumah baru. Cuma ada kita, jadi kamu bebas mau marah marah karena benci sama saya." Ujar Raga, laki laki itu memang sudah memiliki rumah sendiri sebelum memutuskan untuk menikah dengan Jiwa. Jiwa mengangkat bahu acuh, tidak peduli dimana dirinya akan tinggal. Rasanya, menolak juga percuma. Tidak akan ada yang mendengarnya, lebih baik menurut daripada memperburuk keadaan. "Diam, berarti setuju."  Jiwa tersenyum sinis, kenapa diam selalu di artikan sebagai persetujuan? "Mau nolak, om nggak bakalan ngikutin kemauan orang lain kan? Nikah aja harus maksa, kenapa tempat tinggal harus tanya aku? Apa aku ada hak di sini?" Ya memang benar. Sekalipun Jiwa menolak, Raga tidak akan mendengarnya. "Bagus, kamu mulai mengerti saya. Jadilah istri yang baik," "Meskipun aku tersiksa?" Tanya Jiwa pelan. Raga memejamkan matanya, kenapa Jiwa sulit mengerti dirinya. Padahal, Raga melakukan semua ini untuk kebaikan mereka. Mungkinkah semua ini salah? Jika memang semua ini adalah sebuah kesalahan Raga tidak akan pernah menyesali perbuatannya. "Aku nggak sejahat itu," "Apa memaksa seseorang untuk menikah, bukan sebuah kejahatan? Apa merebut kebahagiaan orang lain adalah suatu hal yang wajar?"  Jiwa terus memberikan pertanyaan pada Raga, jika ada kesempatan untuk berdebat tidak akan Jiwa sia siakan. "Kadang, kamu terlalu membenci hal yang mungkin bisa buat kamu bahagia suatu saat nanti."  Jiwa menatap Raga sinis, kebahagiaan apa yang di katakan. Semuanya bohong, di luar sana banyak pasangan yang menikah karena cinta tapi tidak sedikit yang gagal dalam berumah tangga. Apalagi mereka, yang menikah tanpa rasa cinta. Alasan Jiwa menolak resepsi pernikahan adalah jika suatu saat nanti mereka bercerai keluarganya tidak akan menanggung rasa malu lebih banyak lagi. "Bulshit, dari awal aku udah bilang. Pernikahan ini nggak seharusnya ada,"  "Tapi kita harus menikah wa." Ucap Raga lagi. "Om adalah laki laki pertama yang aku benci, sayangnya laki laki yang pertama kali aku benci adalah suamiku sendiri. Menyedihkan," Raga tidak mengatakan apapun, Raga menerima kenyataan jika Jiwa membencinya. Raga akan lihat, sejauh mana rasa benci itu akan tetap ada. "Terserah kamu mau benci saya tau tidak, satu hal yang nggak bisa kamu lupa. Laki laki itu sekarang adalah suami kamu. Laki laki yang akan, menjaga kamu. Laki laki yang menganggap bahwa kamu penting setelah ibunya. Dan laki laki itu, siap melakukan apapun hanya untuk bisa hidup bersama kamu." "Tapi ada satu hal yang juga harus kamu ingat, berhenti panggil saya Om. Karena saya bukan Om kamu, mengerti?"  Jiwa menggeleng, membuat Raga merasa geram. Harus dengan cara apa agar Jiwa mau menerima dirinya sebagai suami. Jangankan suami, Jiwa sepertinya tidak sudi menganggapnya sebagai teman. "Apa kamu punya pacar?" Suara Raga terdengar lirih, pertanyaan itu seharusnya terucap sebelum pernikahan terjadi. Rasanya sangat aneh, menanyakan hal ini pada wanita yang sudah resmi menjadi istrinya. Jiwa menggeleng, membuat Raga bernafas lega. Setidaknya, Raga tidak perlu bersaing dengan laki laki yang selama ini sudah mengisi hati istrinya. Namun, rasa cemas kembali. Bagaimana, kalau Jiwa diam diam mengagumimu laki laki lain? Banyak pertanyaan yang muncul sekarang. Jiwa ini cantik, tidak mungkin tidak memiliki pacar. Sedangkan Raga? Jangan di tanya laki laki itu memiliki banyak wanita yang ingin menjadi istrinya tapi sialnya, Raga malah mencintai Jiwa yang jelas-jelas membencinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN