"Pah."
"Hmm?" Andre hanya menanggapi singkat saat Kia memanggilnya karena sedang membaca sebuah paduan untuk menjalankan perusahaan karena berniat untuk membuktikan bahwa ia mampu tanpa harus mengenakan nama kedua orang tua mereka.
"Kenapa Mama gak ikut? Kenapa Papa marah sama Mama? Mama salah apa?"
Anak polos itu kembali bertanya sesuatu yang tak ingin terdengar di telinga seorang Andre. Semua pertanyaan yang Kia lontarkan hanya mengingatkan perbuatan Sarah padanya.
"Kia sayang, jangan bahas Mama lagi. Sekarang, kamu tidur aja." Kia hanya menurut. Ia diam saja karena takut Andre kembali marah padanya, tidak seperti tadi saat Mamanya pergi dengan jelas di depan matanya.
"Papa."
"Kia, berhenti membicarakan Mama lagi."
"Kenapa? Mama kenapa tidak ikut? Kenapa Papa marah terus sama Kia! Kia cuma tanya Mama Kia kenapa gak ikut, Pa!"
"Ssstt... jangan terlalu keras. Papa mohon kali ini patuh, ya. Kia anak pintarnya, Papa, kan?"
Mata anak itu berkaca-kaca. Ia memalingkan wajahnya dari Papanya. Andre tahu ini akan menjadi hal yang menantang untuknya, terlebih Kia sangat dekat dengan sosok Mamanya. Namun, apa boleh buat... Mamanya yang tah menjadi tokoh pengkhianat di rumah tangga mereka.
Andre mengecup singkat pipi Kia. "Jangan gitu, anak Papa jadi jelek."
Kia hanya mengerucutkan bibirnya kesal. "Papa juga jelek. Mama gak suka kali sama Papa, makanya Mama pergi."
"Iya, Mama udah gak suka sama Papa sama Kia," jawab Andre asal agar Kia diam dan ternyata salah.
"Bohong!" sahut Kia cepat. Kia malah memukul-mukul kecil lengan Andre.
"Kok Papa dipukul, sih?"
"Papa jahat! Mama juga!" Anak polos itu bersedekah d**a yang malah membuat Andre merasakan perih di ulu hatinya.
"Kamu tenang, ya. Pesawatnya sebentar lagi jalan."
"Papa juga bodoh!" Andre menaikkan sebelah alisnya. "Bodoh? Papa?"
Kia mengangguk menanggapinya. "Iya! Pesawat gak ada yang jalan!" Andre terkekeh karena anaknya ini sangat pintar. Menurut Andre setidaknya hal ini membuat Kia tidak terpikir terus oleh Mamanya. Dia bisa saja stress jika Kia terus menuntut kehadiran Sarah lagi diantara mereka.
"Sarah... kamu akan menyesali semua ini. Aku yakin itu," batin Andre sambil kembali merebahkan kepalanya karena Kia yang sudah terdiam di tempatnya sambil memejamkan matanya.
***
Drrtt... Drrtt... Drrtt...
Ponsel Sarah bergetar membuat ia harus merogoh tasnya. Ia pun melihat di layar ponsel tertera nama penelfon.
Jinah, Ibunya Sarah.
"Halo?"
"Kamu dimana!" Suara Jinah terdengar marah dari seberang sana. Sarah memejamkan matanya sebentar. Kepalanya berdenyut kala Jinah berteriak seperti itu. Ia sendiri pusing karena tak berpamitan dengan baik dengan putrinya sendiri.
"Ma... aku akan pulang."
"SAR---"
Tuut...
Dengan cepat Sarah mematikan sambungan telfon. Ia terlalu pusing harus berbicara sekarang dengan Ibunya di telfon. Ia berbalik sebentar kembali ke Bandara.
"Maafkan, Mama... Kia."
Dengan penyesalan terdalam tak bertemu dengan anaknya sendiri karena tak tahu apa ia akan bisa bertemu lagi dengan Kia atau tidak. Hak? Sepertinya Sarah sudah tidak punya hak sebagai Mama untuk Kia. Dia yang berkhianat dari Andre, maka ia juga yang harus menanggung semua konsekuensi yang terjadi sekarang tidak terkecuali untuk berpisah dengan putrinya, Kia.
Sarah yang baru saja mau membuka pintu mobilnya dikejutkan oleh suara yang menyapa di telinganya.
"Hai, sayang." Sarah yang terkejut lantas sempat memundurkan langkahnya. Pria di depannya hanya tersenyum manis padanya.
"Kenapa kamu kaget begitu?"
Sarah mengubah ekspresi kagetnya menjadi normal kembali. Dalam hatinya ia takut Pria ini akan melaporkan hal ini pada Ibunya.
"Aku---"
"Bertemu mantan suamimu?" Kening Sarah berkerut. Kenapa dia bisa tahu, itulah yang terbaca dari mimik wajah Sarah sekarang.
"Tenang saja." Pria itu menyandarkan badannya ke mobil Sarah membuat Sarah gelisah.
"Zain...," cicit Sarah pelan. Pria itu terkekeh melihat wajah ketakutan Sarah.
"Ayolah, sayangku. Kenapa kamu nervous begitu? Aku hanya asal menebak... atau itu benar?" Seringai keluar dari mimik wajah Pria yang disebut Zain oleh Sarah.
"Aku tidak bertemu dengannya." Sarah memalingkan wajahnya
"Oh, ya? Lalu kenapa kamu ada di sini?" Sarah yang merasa diintimidasi oleh Zain semakin gugup. Jari-jarinya bahkan saling bertautan.
"Sarah?" Zain mendekat ke arah Sarah.
"Kamu hanya milikku." Bulu kuduk Sarah meremang mendengar kata itu terbaik telat di telinganya. Zain kembali berdiri tegak.
"Ayo pulang."
"Aku bawa mobil," sahut Sarah cepat.
"Berikan kuncinya padaku." Zain menengadahkan tangannya, meminta kunci mobil Sarah dengan tatapan tajamnya. Sarah dengan terpaksa memberikannya. Setelahnya, Zain mengambil alih mobil Sarah.
"Aku mengikutimu." Sarah menoleh dengan cepat saat sedang memasang sabuk pengaman.
"Kenapa? Apa aku anak kecil yang akan hilang?" tutur Sarah sedikit menaikkan nada suaranya.
"Tidak."
Bummm.... Suara mobil menyala saat Zain sudah menyalakan mesin mobil dengan kunci yang Sarah berikan. Sarah terus menatap Zain yang menatap lurus ke depan hingga ia menoleh kembali pada Sarah.
"Aku takut Ibumu tidak bisa membayar hutangnya."
Sarah meneguk salivanya. Ia dibuat terbungkam hanya dengan perkataan Zain tertuju pada Ibunya, Jinah. Zain menyeringai. Ia tentu saja tak akan membiarkan Sarah lepas begitu saja. Tidak bisa lebih tepatnya.
***
"Sarah! Kamu darimana!" Jinah menarik lengan Sarah dengan kuat. Zain duduk di sofa seperti sutradara yang akan menonton casting pemain film.
"Tenanglah, Bu. Sarah bersamaku, benar, kan, Sarah?" Zain mengedipkan satu matanya. Sarah mengangguk. "Benar, aku bersama Zain tadi."
"Bu, jangan terlalu sering memarahi mempelai wanitaku." Zain berdiri dan berniat memeluk Sarah dari belakang, tetapi dengan cepat Sarah melepasnya.
"Dia tidak boleh diperlakukan seperti itu. Dia harus diperlakukan seperti putri raja." Jinah malah menatao kagum pada Zain.
"Ah, Ibu tidak tahu bagaimana jika Sarah terus bersama mantan suaminya itu, mungkin dia akan terus bekerja seperti seorang budak." Jinah kembali mencela Andre sebagai mantan suami dari putrinya.
"Bu, sudahlah. Jangan membawa nama Andre lagi." Jinah beralih menatap tajam ke arah Sarah.
"Belum cukup untuk membela mantan suamimu itu? Seharusnya kamu bangga bisa menikah dengan Zain." Jinah merangkul Zain yang tersenyum manis pada Sarah.
"Ibu, pliss. Aku capek, aku mau tidur."
Sarah yang berjalan kembali ke kamarnya terhenti ketika Zain berbalik dan mengatakan sesuatu.
"Jangan lupa besok, kita akan mencari dekorasi yang tepat untuk acara pertunangan kita."
Sarah memegang gagang pintu dengan kuat dan membanting pintu dengan kuat setelah masuk dalam kamarnya.
"Sarah!"
"Tidak apa, Bu. Dia hanya terbawa emosi karena terpisah dengan anaknya." Zain hanya tersenyum misterius setelah memenangkan hati calon ibu mertuanya.
"Kita lihat saja nanti. Siapa yang akan menang, Ndre."
***
"Selamat datang, Andre."
Andre tersenyum saat disambut hangat oleh Pria yang mengenakan kemeja berwarna hitam. Pria itu memperbaiki kacamatanya, lalu memeluk hangat Andre seperti saudara.
"Terima kasih, Kak." Pria itu beralih menatap anak kecil yang digandeng oleh Andre, Kia.
"Halo, Kia." Kia menatap Andre, seolah bertanya dia siapa. Tentu saja, dia terlihat asing di mata Kia.
"Dia Om Hasan. Kita akan tinggal di sini dulu."
Mulut Kia terbuka lebar. "Ini rumahnya juga?" Pria itu-- Hasan terkekeh melihat ekspresi Kia yang menggemaskan. Mata Kia berbinar. Kagum.
"Kamu suka?" Kia mengangguk.
"Papah! Kita beneran tinggal di sini?"
Andre terkekeh. "Iya, Sayang."
"Ihhh! Rumahnya cantik! Aku mau masuk!"
Kia langsung berlari masuk ketika mendapat persetujuan dari Hasan yang menyuruhnya masuk.
"Masuk dulu, biar barangmu pembantuku yang membawanya masuk." Andre pun ikut melangkah masuk ke dalam rumah Hasan yang begitu mewah, ia pun tak berbeda jauh dengan Kia yang menatap kagum pada isi rumah Hasan.
"Kamu udah sukses besar, Bro!"
"Semuanya bisa terjadi karena luka itu, Ndre. Tahulah kamu." Andre berdehem. Ia sepertinya harus mengalihkan pembicaraan.
"Papa! Itu koper aku mau dibawa kemana!" Terlihat Kia bersama seorang wanita yang membawa barang-barang Andre dan Kia.
"Dia mau bawa itu ke kamar, Sayang," sahut Hasan membuat Kia meloncat-loncat di tempatnya kegirangan.
"Aku mau ikut! Aku ikut ke kamar!" Wanita itu tersenyum kepada Kia setelah menoleh ke Hasan yang mengangguk padanya.
"Jadi, kamu udah resmi cerai dari Sarah?"
"Iya."
Wajah Andre terlihat murung saat kembali membahas Sarah. Kenangan lima tahu membangun rumah tangga itu tak sebentar, tetapi meruntuhkannya hanya dalam kedipan mata rumah tangga mereka usai.
"Lo tau? Gue gak pernah nyangka hal ini terjadi di pernikahan gue. Sarah... gue gak nyangka dia bisa selingkuh."
"Lo tenang aja. Dia udah buang berlian, demi serbuk debu." Hasan menajamkan matanya. "Fokus saja sama kesejahteraan kehidupan lo dengan Kia."
"Thanks, gue gak tahu kalau lo gak ngajak gue buat kerja sama dengan perusahaan lo." Hasan menyandarkan badannya ke sofa. Kakinya naik dengan angkuh.
"Ada saatnya lo gak perlu lagi menunduk di depan mertua lo itu."
"Gue cuma mau bahagiakan Kia. Itu aja, selebihnya gue gak peduli lagi."
Hasan merasa iba dan juga geram. Ia tahu selak beluk bagaimana mertua Andre itu. Masa lalu dan lukanya berawal dari sana. Namun, sekarang ia bisa berdiri di atas luka itu. Luka selalu mengajarkan pelajaran berharga.
"Dia memang tidak berubah dari dulu, Ndre." Hasan tersenyum kecut. Masa lalu itu terasa kembali mencubitnya.
***
"Wuekk! Wuekk! Wuekk!"
Suara kran air menyala saat Sarah membersihkan muntahannya di westafel. Ia menatap wajahnya di cermin. Tatapan takut terpancar di wajahnya.
"Tidak... ini tidak mungkin."
Ia segera membuka bungkus testpack yang telah ia beli sekitar tiga bulan yang lalu. Saat keharmonisan rumah tanganya dengan Andre masih utuh bersama dengan sang buah hati.
Setelah itu, Sarah keluar dari kamar mandi. Ia menutup hasil testpack dengan ketakutan. Matanya membesar sambil membekap mulutnya tak percaya.
Dua garis merah itu... terlihat di depan matanya.
"Apa yang harus aku lakukan, ya Rabb."
Sarah terduduk lemas, menekuk lututnya dengan punggung yang sebentar lagi akan berguncang hebat.
"Andre... kembalilah. Aku mengandung anakmu."