Fakta Tersembunyi

1416 Kata
"Kia! Kia!" Andre yang berada di dalam ruangan kerjanya keluar begitu mendengar suara berteriak. "Nggak, Kia gak ada di dalam kamarnya, aku panik." "Coba kita cari dulu, dia pasti ketakutan untuk berkeliaran sembarangan." Andre kembali bergegas mencari putri kecilnya. Ia takut Kia belum bisa beradaptasi dengan rumah baru mereka. Langkah kaki Andre membawanya keluar dari rumah. Halaman belakang. Putri kecilnya itu ternyata sedang menatap langit sambil berbaring di rumput hijau yang indah itu. Andre menghela napasnya lega setelah bisa memastikan putrinya itu tidak kemana-mana. Ia pun ikut berjalan ke sana dan merebahkan badannya dengan Kia. "Kamu ngapain, Sayang?" "Bintang. Aku suka bintang." Andre tersenyum kecut. Hal yang sama dipikirannya. Sarah belum bisa terlepas sepenuhnya dalam kehidupannya dan juga bagi Kia. "Ibu menyukainya juga. Benar, kan, Pa?" "Ibu yang mana yang kau maksud, Nak?" tanya Andre dalam hatinya. "Sekarang, Kia hanya boleh menyebutkan nama Papa." "Kenapa?" Kia memandang Andre dengan tatapan teduhnya. Ayah satu anak itu menahan air mata di depan sang putri tersayangnya. "Sekarang, hanya akan ada Ayah saja." Kia diam. Tatapannya masih tertuju ke langit malam. Sarah, nama itu sudah menggoreskan begitu dalam luka di hatinya. Tak pernah menyangka dengan apa yang Sarah perbuat padanya. "Sekarang, Kia tidur dulu. Besok, kita akan jalan dengan Om Zain." "Jalan kemana?" Andre tersenyum kalau putrinya itu menyahut dengan begitu cepat. "Kemana yang Kia mau." "Banyak! Aku mau kembali ke kamar dulu, Yah! Aku sayang Ayah! Muahh!" Kecupan singkat dari putrinya cukup kembali menghangatkan perasaannya yang sempat membeku karena Sarah. Andre duduk, ia menoleh ke belakang dan sudah tidak mendapati putrinya itu yang berlarian ke kamarnya karena senang akan diajak jalan-jalan. "Seandainya saja kamu bisa lebih bijaksana, Sar. Kita semua tidak akan seperti ini dan Kia... tidak harus kehilangan sosok ibunya." Andre menghela napas. Ia memperhatikan jarum jam di tangannya, sudah larut malam. Ia pikir akan tidur bersama putrinya di kamarnya, menemani malam pertama putrinya tanpa sosok Ibu. Pagi hari yang sangat cerah membuat sinar matahari menelisik masuk ke dalam celah-celah jendela kamar Kia. Matanya bergerak ingin terbuka. Sedetik kemudian mata bulat itu terbuka sempurna. Ditatap nya tanpa berkedip baju yang indah di depan lemarinya. "Bajuku?" Kia bertanya dalam hatinya sembari mengumpulkan nyawa yang baru saja terbangun. Hingga usapan terakhir tangannya di mata membuatnya bersin kembali. Tak lama, suara pintu terbuka mengalihkan fokusnya. Pembantu wanita tua itu datang dengan senyum hangatnya menyapa Kia di pagi itu. Anak polos itu menatapnya sambil menunjuk ke arah baju yang tergantung di depan matanya. "Itu baju kamu. Kamu suka?" Kia mengangguk antusias mendengar bahwa baju itu adalah miliknya. "Cantik!" Ia meloncat-loncat di atas ranjang empuk yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. "Kasurnya enak!" Tias, pembantu lama yang sudah diperkerjakan oleh Andre itu tersenyum melihat bocah perempuan yang baru saja bergabung bersamanya tinggal di rumah besar milik Hasan. "Kia, kamu mandi dulu. Katanya mau jalan-jalan sama Om Hasan juga." Kia menoleh setelah terduduk dari acara lompat melompat nya di atas ranjang. "Ayahku?" tanyanya. Mbak Tias mengangguk. "Tentu dengan Ayahmu. Biar Kia mandi sama Mbah dulu, gimana?" Tanpa basa basi, Kia melonjak dari ranjang ke lantai membuat Mbak Tia hampir jantungan. "Ya Allah, hati-hati, Nak." Mbak Tias akhirnya membawa Kia masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar. Di ruang tengah, Hasan sedang berbincang dengan Andre mengenai pekerjaan yang akan Hasan berikan untuk Andre. "San, gak bisa, dong. Masa gue langsung jadi manager? Gak fair namanya," keluh Andre pada Hasan yang langsung ingin memberikan jabatan tinggi pada Andre. "Ndre, gue tau kualitas lo. Lo gak usah gak enakan atau apalah, tolong lo Terima ini bukan buat gue atau persahabatan kita, setidaknya buat Kia." Andre terdiam. Sarah meninggalkannya tak lain karena Ibunya yang menganggap ia tidak bisa memenuhi kebutuhan sang mantan istri, tentu membuat sedikit sayatan di hatinya. "Plis?" mohon Hasan sekali lagi. Andre mengalihkan pandangannya. Di satu sisi, seandainya ia mau, dari dulu ia bisa menjadi seorang CEO andai saja ia menerima tawaran Ayahnya yang berada di Amerika. "Biar gue pikirin lagi, San," balas Andre singkat. Helaan napas yang Hasan lihat, membuatnya mengerti perasaan Andre. Hasan pun berdiri. Menepuk pundak Andre pelan. "Cuma sekarang lo harus ingat, lo bakal jadi Ayah sekaligus Ibu buat anak lo." "AYAHH!" Suara Kia menggelegar membuat keduanya menoleh dan mendapati sumber suara anak itu dan diikuti Mbak Tias yang ikut berlari di dekatnya. "Ayahh!" Hap! Andre menangkap Putrinya itu jatuh dalam pelukannya. "Maaf Mbak Tias kalau anak saya nyusahin Mbak." Mbak Tias menggeleng. "Saya senang dengan kehadiran Kia di sini. Rumah jadi lebih hidup, kan, Pak?" Hasan mengangguk. Rumahnya biasa hanya ada pekerjanya saja, sementara Istri dan anaknya lebih memilih tinggal bersama Ibunya di luar negeri karena sedang sakit. "Bagaimana jika kita jalan sekarang?" "Ayuk!" seru anak polos itu dengan begitu cepat. Andre tersenyum senang, putrinya terlihat sudah mulai kembali ceria lagi. Rumah Sarah, Jakarta "Loh? Sarah belum bangun?" ucap Jinah yang melewati kamar Sarah yang masih terkunci rapat. Tok! Tok! Tok! "Sar! Bangun ah! Kita mau makan siang entar sama keluarganya Zain." Jinah mendengus kasar. Sarah tak menjawabnya. "Anak itu masih tidur? Tidak biasanya seperti ini." Jinah berlalu pergi dengan mengira putrinya itu masih tidur. Sarah tidak tidur. Matanya sembab dengan tisu yang setia berada di tangannya. Malamnya yang panjang ditemani air mata yang terus mengalir mengenai pipinya. "Apa yang harus kukatakan padamu, Bu? Kamu memisahkan anak ini... dari Ayahnya," ujar Sarah dengan suara yang terdengar berbisik. Kehamilan yang tak terduga ini membuat ia dilema dengan keputusannya. "Maafkan Ibumu ini ... maaf ...." Sarah mengusap perutnya yang masih rata dengan penuh tekanan bathin. Antara merasa bersalah dan juga harus merelakan semua terjadi begitu saja. "Bagaimana kalau Zain tahu? Apa ia akan membunuhmu?" Sarah memeluk erat perutnya sendiri. Dia tidak akan rela jika sampai Ibu atau Zain calon suaminya menyuruhnya untuk melakukan hal yang tidak-tidak untuk calon buah hatinya, karena satu hal yang Sarah pahami sekarang. Ia sudah melepas satu kewajibannya yang harus setia pada pria yang sudah bergelar menjadi mantan suaminya, sekarang... ia tidak rela untuk melepas anaknya. Hanya ini yang bisa ia pertanggungjawabkan. Tidak ada lagi harapan untuk dirinya dan Andre rujuk. Drrrt ... drrrt ... Drrrt ... Lama melamun, ponselnya berdering. Dari ekor matanya, ia membaca kontak yang menghubunginya. "Halo---" "Aku ada di bawah. Aku ijin masuk ke kamarmu atas permintaan Ibumu, bagaimana Ibu mertua?" Sarah membulatkan matanya. Terdengar suara Ibunya itu sangat senang dengan kehadiran Zain. Sarah dengan cepat menutup telfonnya. Ia masuk ke dalam kamar mandi untuk memperbaiki penampilan acak-acakannya. "Apa yang kamu---" Sarah menatap tajam ke arah Zain yang dengan lancang masuk ke dalam kamar mandinya. Zain terkekeh. "Kamu habis menangis?" Tebakan yang tepat keluar dari mulut Zain. Sarah terdiam. Tangannya terkepal. Rasanya ingin menampar wajah yang terlihat memandang remeh ke arahnya. "Aku benar, kan kalau kamu menangis karena mantan suamimu itu?" Da*da Sarah Bergemuruh. Benar-benar Zain memancing emosinya. "Zain, keluar! Aku mau mandi!" Sarah mendorong Zain keluar dengan tenaganya yang tentu lebih kecil dari Zain. "Sarah." Zain memegang tangan Sarah, aksi Sarah mendorong Zain pun terhenti. "Kehidupanmu akan jauh lebih baik bersamaku? Bukankah selama ini Ibumu selalu menyusahkanmu karena gaya hidupnya yang bergelimang harta harus redup karena ayahmu yang meninggal malah meninggalkan hutang yang membebani Ibumu?" "Zain!" Zain terkekeh. Ia meletakkan tangan Sarah yang belum ia lepas agar menyentuh da*danya. "I'm here, baby." "Kamu memilihku, itu yang terpenting sekarang. Oke, aku akan keluar. Berdandanlah yang cantik." Zain keluar setelah mengelus wajah Sarah yang menegang akan perkataan Zain. Elusan tangan Zain di wajah Sarah membuat Sarah hampir saja mual. Ia pun teringat kehamilannya. Ia harus merencanakan sesuatu, itulah pikir Sarah. "Pikirkan rencana yang baik, Sarah." Sarah membatin. *** "Oh, iya, Ndre." Andre menoleh ke arah Zain. Mereka sedang berada di dalam arena bermain dalam mall terkenal yang ada di Bandung. "Kira-kira kamu berniat menikah lagi? Cari ibu buat Kia?" Zain menanyakan hal sensitif ini dengan hati-hati. Takut Andre marah atau apa kepadanya. Andre menghela napasnya. Tatapannya tertuju pada Kia yang asik bermain di tengah bola-bola yang mengelilinginya. "Gue gak tahu. Di satu sisi, gue gak yakin Kia bakal marah atau enggak sama Mamanya, dia terlalu sayang dengan Mamanya dibanding gue. Kedua, gue trauma buat bangun rumah tangga lagi, Zain." Penjelasan itu membuat Zain mengangguk paham perasaan Andre. "Tapi saran gue, gak ada salahnya lo cari kebahagiaan lo dengan wanita yang bisa bahagiain Kia sekaligus lo sendiri." Andre menoleh. "Untuk sekarang, kebahagiaan gue ada sepenuhnya pada Kia. Hanya dia prioritas gue saat ini." Andre melambaikan tangan pada Kia yang naik di atas luncuran. Tak disangka, pijakan kaki Kia kurang tepat, sehingga badannya terhuyung jatuh ke bawah. Andre dan Zain membulatkan matanya. "Kia!" "Awhh!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN