4. Bukan Pertemuan Pertama

1272 Kata
“Saya ke sini buat temani kamu minum. Itu yang mungkin paling kamu butuhin sekarang, kan?” Tanya Tama menatap wanita di sampingnya itu dengan tatapan datar. Ya, datar. Sesuatu yang tidak pernah berubah bagaimanapun situasi dan suasana hati pria itu. “Hmph.” Clair mendengus lucu, mengalihkan pandangannya dari Tama sejenak untuk beralih pada Bagas dan meminta pria itu untuk memberikan waktunya berdua saja dengan Tama di sana. Bagas yang langsung menengerti arti tatapan Clair itu langsung mengangguk dengan senyum pengertian. Pria muda itu tidak lupa mengangkat gelas birnya dan mengumamkan terima kasih pada Clair karena sudah mentraktirnya malam itu, setelahnya Bagas pergi, memberikan ruang dan waktu untuk dua orang itu berbincang lebih leluasa. “Kenapa? Kamu ngerasa kasihan sama saya yang bentar lagi harus lepas dari kehidupan bebas ini?” Pertanyaan itu Clair lempar begitu kembali menjatuhkan pandangannya pada Tama, namun di saat yang sama wanita itu mengerutkan kening lebih dalam, melihat sesuatu yang membuatnya tidak tahan untuk mengeluarkan dengusan dari hidung dengan apa yang dilihatnya. “Kamu bilang mau minum, Tam. Tapia pa-apaan itu? Cola? Kamu mesen cola buat nemenin saya minum?” Tanya Clair melempar tatapan tidak percaya melihat gelas berisi cola yang sudah ada di depan Tama. “Bagaimanapun harus ada yang menyetir pulang, kan?” Yah, itu terdengar masuk akal sih. Tapi tetap saja, kan… “Saya udah masukan jadwal pertemuan kamu sama keluarga—” “Benerkan, kamu udah tahu perkara rencana pernikahan itu. Kenapa? Ngerasa kasihan sama saya sekarang?” “Clair…” “Silakan. Kalau mau merasa kasihan. Rasa kasihan kamu itu toh buat beberapa pandangan orang masih sesuatu yang harus saya syukuri karena punya kehidupan yang lebih baik menurut mereka.” Ucap Clair kembali menenguk minumannya hingga gelas di tangannya kosong. Clair mengangkat tangannya untuk meminta satu gelas baru, yang kali ini dihentikan Tama dengan memberi isyarat pada bartender di depan mereka untuk tidak memberikannya. “Berhenti minum, kamu udah terlalu banyak—” “Kamu bilang ke sini untuk temenin saya minum, kenapa kamu minta saya berhenti? Ini bisa jadi kali terakhir saya bisa bebas minum kayak gini, Tam. Kamu tahu, kan? Kalau saya udah jadi istri orang, udah jadi menantu dari keluarga konglomerat lain, udah menyandang title lain dalam nama saya, saya jelas harus menjadi sosok lain lagi. Saya harus lebih menahan diri saya lagi, saya nggak bisa seenaknya lagi, saya nggak bisa—ah, dari awal saya memang nggak bisa seenaknya, kan? Bebas? Omong kosong. Bebas yang Papa kasih buat saya bahkan bukan bener-bener kebebasan yang punya arti sama dengan orang lain.” Clair mulai mengoceh panjang, entah disadari wanita itu atau tidak, yang pasti bagaimanapun efek alkohol mulai memengaruhinya. Well, sebenarnya bukan hanya beberapa gelas bir yang Clair teguk sejak duduk di sana, melainkan minuman yang lebih keras sudah lebih wanita itu tenggak sebelumnya. “Kamu pernah dicintai sebegitu besarnya, Tam? Sampai di titik meski kamu nggak cinta sama orang itu pun—orang itu tetap cinta sama kamu.” Celoteh Clair lagi, tanpa merasa perlu tanggapan dari pria di sampingnya. “Atau seenggaknya di posisi sebalilknya. Kamu yang tetap cinta sama satu orang, meski orang itu nggak cinta sama kamu.” Tambah Clair dengan senyuman. “Saya… berharap saya bisa ngerasain salah satunya, entah itu dicintai atau mencintai. Apapun, yang manapun nggak masalah yang penting saya seenggaknya bisa tahu dan mengalami, gimana jadi manusia normal pada umumnya.” “Nona Clair, sebaiknya kita pulang. Nona udah…” Mabuk. Iya, Clair tahu dirinya sudah mabuk, sebab kalau tidak, ia jelas tidak akan bicara panjang lebar seperti itu. Clair yang dalam keadaan normal, adalah Clair yang terbiasa diam, menyimpan isi hati dan pikirannya, tanpa membaginya dengan siapapun. *** “Jadwal setelah ini?” Menutup berkas terakhir yang diperiksanya hari itu, Clair menaikan pandangannya ke arah Tama yang berdiri di depan meja kerjanya, pria itu sudah siaga sejak tadi di sana, menunggu Clair menyelesaikan pekerjaannya. “Pertemuan dengan keluarga calon—” “Ahh…” Belum juga Tama menyelesaikan ucapannya, Clair sudah lebih dulu mengerti juga mengingat apa yang harus dilakukannya hari itu. Wanita itu melempar tubuh bersandar di kursi kerjanya, memejamkan mata mencoba untuk mengendalikan pikirannya agar tidak membuat masalah ini menjadi sesuatu yang membuatnya frustrasi. “Kalau gitu kita perlu ke salon dulu, Tam. Kamu juga nggak mau denger Papa marah-marah karena lihat saya yang menurutnya berantakan, kan?” Uh… Soal itu Tama sebenarnya tidak merasa ada yang salah dengan penampilan Clair dengan pakaian kerjanya, masih sopan dan sangat bisa diterima, berbeda dengan apa yang Clair pakai jika mengunjungi tempat-tempat pelepas stress-nya. Tapi yah, yang paling mengerti Tuan Soedibjo jelas putrinya sendiri, bukan? Jadi Tama tidak bisa berkata apa-apa. “Tumben penampilan kamu layak hari ini, Papa kira kamu berencana ngerusak semuanya?” Kalimat pertama setelah Clair bertemu papanya sehabis membenahi diri di salon adalah itu. Pujian? Jelas bukan, dari segi manapun itu tentu tidak bisa disebut sebuah pujian, tapi bagi Clair yang memang tidak pernah mendapatkan pujian dari yang bersangkutan, kalimat macam itu sudah cukup dikategorikan sebagai sesuatu yang positif meski terdengar sebaliknya. Yah, setidaknya Tuan Soedibjo tidak mengomel, dan untuk Clair itu sudah cukup baik, bahkan lebih dari cukup. “Clair rusak pun Papa akan nawarin kandidat yang lain, akan begitu terus sampai Clair setuju buat nikah. Jadi buat apa buang-buang waktu? Sama siapapun akan sama aja, kan? Semuanya toh pilihan Papa.” Balas Clair acuh tak acuh, yang justru malah memancing tatapan tajam dari pria yang masih sangat berusaha dihormatinya. “Jaga bicara kamu, Clair. Jangan sampai kamu keluarin kalimat macam itu atau sejenisnya saat pertemuan nanti. Papa nggak mau Pak Hardiwidjaja menangkap hal yang salah dengan cara kamu bicara itu.” Clari mengangguk-angguk bahkan sebelum papanya menyelesaikan kalimatnya, dan terus begitu hingga kalimat itu diselesaikan sang Papa. “Iya, iya. Dimengerti.” Jawab Clair pendek, tidak ingin membuat masalah lebih jauh. Ayah dan anak itu sudah duduk di sebuah ruangan khusus restoran yang menjaga privasi mereka dari pengunjung restoran yang lain. Ruangan yang khusus disediakan bagi mereka yang memesannya. Tak lama setelah percakapan itu berakhir, pintu ruangan terbuka dengan seorang pelayan restoran yang mengantar tamu lain yang ditunggu di ruangan itu, menampakan dua sosok pria yang Clair tahu salah satu di antaranya adalah calon suaminya. Tentu saja, itu jelas pria yang lebih muda. “Apa kabar Pak Hardiwidjaja… Akhirnya kita bisa bertemu di luar urusan pekerjaan, ya?” Tuan Soedibjo berdiri, menyambut kedatangan calon besannya itu dengan senyum, pun itu yang dilakukan Clair, bergerak bagai robot yang sudah deprogram dan mengikuti apapun yang papanya lakukan hingga pikiran wanita itu tiba-tiba diisi sesuatu. Hardiwidjaja? Tunggu, sepertinya dirinya benar-benar sudah lumayan sering mendengar nama itu. Tidak, beberapa kali sih, tapi Clair cukup mengingatnya meski… “Kabar baik, kabar baik. Bagaimana dengan Pak Soedibjo?” Kedua pria paruh baya itu bersalaman, pun diikuti dengan Clair yang masih mencoba mengingat seusatu di kepalanya. “Ini toh yang namanya Clair? Cantik sekali, seperti yang saya duga.” Ucap Tuan Hardiwidjaja itu menyambut uluran tangan Clair, yang di saat bersamaan hanya bisa Clair balas dengan gumaman terima kasih dengan senyum tipis. Bukan apa-apa, Clair masih memproses sesuatu di kepalanya hingga wanita itu tidak bisa memikirkan respons yang lain. “Oh, kenalkan ini Daren. Daren Hardiwidjaja, putra saya. Anda pasti baru pertama kali bertemu dengannya kan, Pak Soedibjo?” Daren? Daren Hardiwidjaja?! Pria yang Clair lihat di bar waktu itu? Pria mabuk yang tergila-gila dengan seorang wanita yang menolaknya? Iya. Sekarang Clair sudah mengingatnya, mengingat jelas baik nama itu maupun wajah yang sudah dilihatnya lumayan teliti di bar malam itu. Jadi ini pria yang akan Clair nikahi? Pria yang sudah mencintai orang lain dan tergila-gila pada orang itu? Yang benar saja…
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN