3. Nama yang Tidak Asing

1132 Kata
“Kak Clair tumben minum? Biasanya ke sini buat main drum aja.” Salah satu gitaris yang beberapa kali main dengan Clair di atas panggung duduk di samping wanita itu, tempat yang sebelumnya kosong karena Clair memang hanya minum dan duduk sendiri di sana. Baru dua gelas, itu sama sekali tidak membuat Clair yang memiliki toleransi alkohol tinggi mabuk dibuatnya. “Hm, ini karena lagi pengin aja, Gas. Kamu mau minum juga? Biar Kakak yang teraktir.” Ucap Clair mengangkat gelas birnya, mengisyaratkan itu pada bartender yang ada di hadapan mereka. “Weishh… kalau Kak Clair nawarin gitu sih aku dengan senang hati nggak bisa nolak.” Balas pria di samping Clair yang bernama Bagas itu. Clair tersenyum sebagai balasan, menerima pesanan barunya yang langsung ia geser ke hadapan Bagas. Keduanya membenturkan gelas bir satu sama lain, sama-sama meminumnya lebih dari separuh gelas sebelum kembali berbincang ringan. “Hari ini Kak Clair nggak mau manggung?” Tanya Bagas lagi, setelah tenggorokannya di isi oleh segelintir minuman beralkohol ringan. “Hng? Aa… itu—” “Lily nolak gue, Al. Lily nolak gue dengan alasan yang menurut gue bener-bener konyol!” Suara yang lebih keras di dekatnya membuat Clair membalikan tubuhnya ke arah yang berlawanan dengan keberadaan Bagas—sosok yang menjadi lawan bicara hingga beberapa detik lalu. “Padahal gue udah nunggu dia selama ini, gue udah nunggu dia bertahun-tahun. Gue tunggu karena gue yakin dia punya perasaan yang sama kayak gue, tapi ternyata—” “Ren, kecilin suara lo. Lo mulai narik perhatian orang.” Pria lain yang bersama pria sebelumnya meringis, mencoba untuk menenangkan pria mabuk berat yang sepertinya adalah temannya itu sambil sesekali melihat sekitar dan membungkukan sedikit kepalanya sebagai permintaan maaf karena pria mabuk itu sudah membuat sedikit keributan di sana. Bagaimana pun itu bar, bukan club malam. Di saat tidak ada pertunjukan tentu saja suasananya akan tenang macam di café-café pada umumnya, hanya saja di sana menyediakan minuman keras. Ya, itu yang membedakan keduanya. “Perbedaan? Gue udah bilang sama Lily biar gue yang urus perbedaan kita, tapi Lily sama sekali nggak denger, Al. Lily sama sekali nggak mau denger, Lily tetep milih untuk nggak sama gue, Al… Lily lebih milih ninggalin gue…” Tatapan mata pria yang dipanggil Al oleh si pria mabuk bertemu dengan Clair, yang detik selanjutnya memberikan senyum tipis juga anggukan mohon maklum dari pria itu untuk Clair. Clair membalas dengan cara yang sama, mengirimkan isyarat bahwa dirinya tidak terlalu bermasalah soal itu, meski yah, kenyataannya suara pria mabuk itu cukup mengganggu, kalau tidak, Clair tentu tidak akan menjatuhkan perhatiannya ke arah mereka. “Hhmph, jaman sekarang ternyata masih ada aja yang secinta itu sama orang yang udah nolak dia.” Gumam Clair akhirnya mengalihkan pandangannya pada dua objek tadi. “Kenapa, Kak? Memang Kakak nggak punya pengalaman kayak gitu? Secinta itu sama orang yang nggak cinta sama Kak Clair?” Bagas menyambung gumaman Clair yang terdengar olehnya. “Eh?” “Yah, bisa dimaklumin sih. Perempuan kayak Kak Clair pasti nggak pernah ngalamin hal kayak gitu, yang ada pasti Kak Clair yang dicintai sebegitunya, kan?” Clair diam, mengambil gelas birnya dan tersenyum tipis sebelum mengosongkan gelasnya dalam satu tegukkan. Cinta? Dicintai? Selama lebih dari 28 tahun hidupnya Clair bahkan tidak percaya yang namanya cinta itu ada, yang Clair tahu hanya bisnis, kepentingan yang dibalut dengan lebih halus dengan kalimat-kalimat cinta yang orang kenal. Yah, semacam itu. Baik dulu ataupun sekarang, Clair rasa itu masih hal yang sama, tidak ada yang berubah. Di saat dirinya merasa kalau itu cinta, nyatanya mereka hanya menjadikan Clair objek bisnis maupun kepentingan mereka sendiri. Tak beda jauh dengan apa yang akan dialaminya dalam waktu dekat. Pernikahan? Kata itu jelas bukan sesuatu yang bisa Clair deskripsikan dengan kalimat cinta atau dicintai, baginya hal itu juga hanya berkutat dengan bisnis dan kepentingan. Clair tidak pernah merasa dicintai sebegitu besarnya, pun mencintai sebegitu besarnya, sebab sebelum Clair mencintai seseorang lebih dalam hatinya sudah lebih dulu dihentikan oleh fakta—bahwa tidak ada yang mencintainya dengan tulus sebagaimana dirinya mencoba melakukannya. “Satu lagi.” Ucap Clair meletakan gelas kosongnya di meja, bicara pada bartender yang ada di hadapannya untuk memberinya satu gelas bir lagi. “Menurut kamu begitu?” Ucap Clair tersenyum tipis ke arah Bagas setelah mendapatkan gelas bir barunya. “Hm, itu jelas dan udah pasti, kan? Siapa juga yang nggak akan jatuh cinta sedalam itu sama Kak Clair. Dalam pandangan pertama, siapapun bisa jatuh cinta sama Kakak.” Tawa yang keluar bersama dengusan kecil itu Clair tutupi dengan menengguk birnya kembali, bergumam sangat tipis sebelum ujung pinggiran gelas menyapa bibirnya. “Aku harap aku bisa ngalamin hal itu sebelum mati.” Bisik Clair sarkas pada dirinya sendiri. “Daren Hardiwidjaja! Mau sampe semabok apa sih lo? Lo kayak gini juga nggak bikin Lily balik sama lo? Lo pikir Lily mau nerima cowok yang mabok-mabokan kayak lo gini, hah?!” “Hm?” Sekali lagi Clair menolehkan kepalanya pada objek yang banyak menarik perhatian tadi. Hanya saja kali ini pria yang ada di sana bukan hanya berdua, melainkan sudah ada sosok lain yang sepertinya baru datang, dan itu terlihat pria yang baru datang tadi begitu marah, mungkin juga datang untuk menjemput pria yang mabuk berat tadi. Tidak. Bukan itu. Bukan itu yang menarik perhatian Clair untuk kedua kalinya, bukan murni keributan yang mereka buat, tapi… “Hardiwidjaja? Itu kedengaran nggak—” “Ayo pulang! Pulang dan berhenti bersikap kekanakan kayak gini, Daren!” Pria yang baru datang tadi memutus pikiran Clair yang tengah berusaha mengingat di mana dirinya pernah mendengar marga itu. “Nona Clair.” Baru saja Clair hendak kembali menyambung ingatannya yang terputus entah di mana sambil mengamati perginya pria mabuk yang dibopong dua temannya untuk pergi dari sana, sosok lain sudah datang dengan panggilannya yang paling Clair benci. Panggilan yang berulang kali sudah Clair peringatkan untuk dihilangkan jika mereka tidak dalam situasi formal atau hal-hal yang menyangkut pekerjaan. Panggilan yang hanya dikeluarkan oleh satu orang yang selalu bisa menemukannya di tempat-tempat seperti ini. “Ya Tuhan… orang ini lagi.” Gumam Clair memutar bola matanya malas. Benar, di sana sudah ada Tama. Berdiri dengan pakaian formalnya seperti biasa, dengan panggilan noraknya yang baru saja Clair dengar dan membuatnya harus mengingatkan diri untuk tidak meledak di sana. “Mau apa lagi…? Kamu kalau mau ngawasin saya apa nggak bisa diem-diem aja, Tam? Kenapa sih harus—” “Hari ini saya datang bukan buat ngawasin Non—maksud saya, bukan untuk ngawasin kamu, Clair.” Tama mengubah sebutannya secepat dirinya menerima tatapan mematikan Clair yang tertuju padanya. Dahi Clair jelas berkerut mendengar ucapan sekertaris sekaligus asistennya itu. “Hng? Kalau bukan buat…” Kalimat Clair tidak berlanjut saat melihat Tama bergerak mengambil duduk di samping lainnya, posisi kosong yang tidak di tempati Bagas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN