2. Peraturan Utama Keluarga

1085 Kata
“Lihat penampilan kamu itu. Apa pantas wanita seusia kamu berpenampilan begitu? Dan apa? Bar? Mau sampai kapan kamu main-main di tempat seperti itu, Clair?” Kalimat pertama yang Clair dengar setelah tidak bertemu secara langsung dengan papanya lebih dari setahun terakhir. Bukan hal yang mengherankan juga, toh Clair juga tidak berharap papanya akan memeluknya, mengucapkan rindu atau semacamnya. Jika itu terjadi, Clair justru akan lebih terkejut, karena sesuatu seperti itu tidak pernah terjadi di antara mereka. Yang sekarang terjadilah yang terasa umum dan familiar bagi Clair. “Papa mau ketemu aku jam segini cuma buat ngomongin hal ini?” Timpal Clair tenang, masih berdiri menghadap papanya yang duduk di sofa. “Apa?” “Bukannya Papa sendiri yang bilang sama aku dari dulu? Aku bebas ngelakuin apapun di luar kewajibanku sebagai penerus Papa. Kecuali hal-hal yang mempermalukan nama baik Papa, hal-hal yang merugikan nama Papa, dan hal-hal yang nggak bisa aku pertanggungjawabkan.” Dalam hidupnya, sepanjang hidupnya, hidup Clair sudah diatur dengan sangat jelas. Di mana Clair harus menempuh pendidikan, sebagai apa Clair akan bekerja, dan dengan siapa Clair akan menikah. Peraturan itu sudah tertanam sejak wanita itu lahir, dan Clair tidak bisa merubahnya, tapi sebagai gantinya, di luar semua itu Clair bebas melakukan apapun, tentu masih dengan syarat dan ketentuan yang berlaku seperti yang Clair katakan tadi. Jadi seharusnya papanya tidak memiliki hak untuk mengomel mengenai apa yang dilakukan Clair di luar semua kewajibannya itu, kan? Termasuk cara Clair melepas penat dari semua yang ada di hidupnya. “Well, berhubung kamu bicara soal itu. Biar Papa langsung aja ke point yang mau Papa bicarain sama kamu.” Benar dugaan Clair, bukan? Papanya meminta Tama untuk menjemputnya pulang bukan untuk melepas rindu atau semacamnya setelah sekian lama tidak bertemu, tapi memang ada sesuatu yang hendak pria paruh baya itu sampaikan. Dan dugaan Clair, ini pasti tidak jauh-jauh dari pekerjaan. Meski waktu saat ini menunjukan hampir pukul empat pagi, waktu jelas tidak menghalangi orang yang berkuasa di rumah itu untuk mengatakan apa yang menurut beliau perlu di katakan, meski di waktu yang menurut orang lain tidak masuk akal sekalipun. “Papa dengan Pak Hardiwidjaja sudah sepakat untuk menikahkan kamu dengan putra beliau, jadi Papa minta kamu bersiap untuk rencana perkenalan dan pernikahan kalian.” Tidak. Tunggu. Apa yang baru saja Clair dengar? Jadi ini bukan soal pekerjaan? Melainkan peraturan utama keluarga lainnya yang harus Clair penuhi? “Apa? Barusan Papa bilang—” “Menikah, Clair. Udah waktunya kamu menikah. Dan Papa akhirnya bertemu dengan keluarga yang tepat untuk keluarga kita.” Clair melempar pandangannya ke arah lain, terkekeh pelan bercampur dengusan tidak percaya. Di jam segini? Dini hari menjelang pagi ini, papanya mengatakan sesuatu yang menurutnya lebih konyol dibanding pekerjaan. Pernikahan? Apa dirinya benar-benar baru saja mendengar kata “pernikahan”? “Pa, Papa di jam segini bicarain soal pernikahan? Di hari yang sama dengan kepulangan Papa setelah sekian lama? Di saat Papa udah lama nggak ketemu sama Clair? Hal yang mau Papa omongin soal pernikahan? Papa serius?” “Di mana letak nggak seriusnya? Apanya yang nggak masuk akal di sudut pandang kamu? Bisnis Papa dan bisnis keluarga Hardiwidjaja punya kesempatan besar untuk berkembang kalau keluarga kita bersatu, dan itu juga bisa memperluas jejaring…” Clair tidak mendengarkan kelanjutannya, otaknya sudah cukup menyimpulkan semuanya dari apa yang sudah ia dengar. Itu cukup, lebih dari cukup untuk Clari mendapatkan kesimpulan bulatnya. Ini bukan hanya perkara kewajibannya untuk memenuhi peraturan utama dalam keluarga mengenai pernikahan yang sudah diatur, tapi juga peraturan utama keluarga lainnya yang mengharuskannya untuk mengurus bisnis keluarga. Mengurus dan memperluas? Intinya, ini tetap berhubungan dengan pekerjaan? Ya Tuhan, betapa naif dirinya jika memikirkan ini hanya tentang satu hal. Nyatanya, dirinya memang hanya dan akan selalu menjadi objek bagi orangtuanya itu. Objek yang menurut mereka harus ini dan itu, objek yang tidak bisa dengan bebas menolak atau menentukan pilihan terbesar dalam hidup mereka, objek yang harus mengikuti keinginan yang sudah mereka tentukan. Iya, objek. Clair jelas merasa dirinya hanya objek di mata papanya. “Papa udah selesai bicara? Kalau udah selesai, aku bisa kembali ke kamar aku sekarang, kan?” “Clair. Kamu bahkan belum jawab pertanyaan Papa, soal pernikahan itu, soal pertemuan kita dengan keluarga Hardiwidjaja. Kamu udah berani abai sama Papa sekarang?” “Nggak.” Clair menggeleng pasti, tersenyum tipis namun justru terlihat menyedihkan. “Sejak kapan aku boleh abai sama Papa? Sejak kapan aku bisa lawan Papa? Sejak kapan aku berani untuk lakuin itu? Aku nggak perlu bilang apa-apa soal apa yang Papa bicarain karena itu udah keputusannya, kan? Karena itu udah keputusan Papa dan nggak bisa diganggu-gugat lagi, jadi apa yang perlu tanggapi? Semuanya udah jelas dan pasti, nggak akan bisa diubah dan nggak akan pernah bisa berubah. Bukan begitu?” “Clair, Papa lakuin ini buat kebaikan kamu. Buat pastiin kamu hidup dengan orang yang tepat dan bisa menjamin kebahagian kamu bahkan di saat Papa nggak ada, jadi—” “Aku tahu.” Kali ini senyum Clair terlihat lebih tulus, meski dalam senyum itu masih ada setitik rasa hampa yang sayangnya tak mudah dilihat. “Dari aku lahir, kecil, remaja sampai dewasa, semua yang Papa lakuin jelas buat kebaikan aku. Aku tahu. Siapa yang nggak tahu soal itu? Saat Papa kasih semua yang aku butuh dan aku perlu lebih dari yang orang lain dapat. Aku jelas tahu. Aku sangat tahu makanya…” Menarik napasnya banyak-banyak, Clair kini menatap papanya lurus setelah sejak tadi sibuk menghindari menatap pria itu dari mata ke mata. “Aku tahu makanya semua aku serahin ke Papa. Aku percaya sama Papa dan silakan Papa lanjutin apa yang memang udah jadi rencana Papa. Aku ikut aja. Sama kayak sebelum-sebelumnya, seperti yang udah Papa terapin dari aku kecil, peraturan keluarga tetap peraturan, kan? Aku harus penuhi aturan itu tanpa bantahan.” Tuan Soedibjo terdiam, menatap putrinya dengan tatapan dalam yang sulit diartikan. Clair yang memutuskan adu pandang itu terlebih dulu, menarik napas dan menundukan tatapannya ke sepasang kakinya yang kini terasa kebas. Entah karena terlalu lama berdiri, atau karena alasan yang lain. “Sekarang aku beneran udah boleh balik ke kamar, kan? Aku capek, Pa. Butuh tidur sebelum besok ke kantor.” Ucap wanita itu, memberikan gestur sedikit membungkuk pada papanya sebelum berlalu dari sana. Tuan Soedibjo memang belum atau tidak mengatakan apa-apa, tapi diamnya beliau bagi Clair adalah persetujuan, yang mengartikan bahwa dirinya memang sudah diperkenankan pergi, maka dari itu Clair pamit undur diri dari hadapan papanya, berlalu dari ruangan itu dan naik ke kamarnya yang ada di lantai lain rumah itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN