Pagi di Kandang Singa

1148 Kata
Isabella terbangun sebelum fajar menyingsing. Dia tidak bergerak, hanya berbaring telentang, menatap langit-langit tinggi kamar tidur yang mahal itu. Tubuhnya terasa lelah dan sakit, tetapi yang lebih parah adalah kekosongan yang terasa di dadanya. ​Di sebelahnya, sisi tempat tidur Sal kosong. Dia sudah pergi. ​Isabella bangkit perlahan, mengambil jubah sutra yang tergeletak di meja dan menyelimuti dirinya. Dia berjalan ke cermin kamar membalas tatapannya tampak asing mata merah karena kurang tidur dan terdapat hickey di lehernya. ​Dia mendesah, ia bukan lagi Isabella Devito yang naif dan trauma dari dua tahun lalu. Dia adalah wanita yang terpaksa masuk kembali ke dalam sangkar emas dan dia tidak akan keluar tanpa perlawanan. ​Setelah membersihkan diri, Isabella mengenakan pakaian yang paling formal dan profesional yang ia miliki setelan rok hitam yang tajam. Dia harus terlihat seperti wanita yang kuat, bukan sandera. ​Saat ia berjalan ke dapur, aroma kopi yang kuat menyambutnya. ​Sal duduk di kursi di kepala meja, berpakaian lengkap dengan setelan jas abu-abu, membaca laporan keuangan. Dia tampak tenang, berkuasa, seolah tadi malam hanyalah rutinitas biasa. ​"Selamat pagi, Bella," sapa Sal tanpa mengangkat mata dari kertasnya. Suaranya terdengar normal, profesional, yang ironisnya jauh lebih dingin daripada kemarahan. ​Isabella berdiri di seberang meja. Dia tidak duduk. "Aku sudah memenuhi bagianku dari perjanjian," katanya, suaranya mantap. "Sekarang, berikan rinciannya. Apa peran yang kau inginkan aku mainkan di depan publik?" ​Sal akhirnya meletakkan dokumennya. Matanya yang tajam menatap Isabella, menilai. ​"Duduklah. Jangan membuat keributan di depan koki," perintah Sal, menunjuk kursi di sampingnya. "Kopi atau teh?" ​Isabella tetap berdiri. "Rincian, Sal." ​Sal menghela napas, gestur yang menunjukkan sedikit kekesalan. "Kau akan kembali ke Giordano Holdings sebagai Penasihat Bisnis Internasional. Posisi fiktif, tentu saja. Itu akan menjelaskan mengapa kita sering bepergian bersama." ​"Aku tidak tahu apa-apa tentang bisnis internasional," balas Isabella. ​"Kau akan belajar. Yang penting, kau ada di sisiku, terlihat cantik, dan membuat orang berpikir kita... sempurna." Sal mengambil cangkir kopinya. "Di rumah, kau adalah pengurus rumah tangga, ibu tiri yang baik bagi Marco dan Lucio, dan..." Dia menjeda, memberikan senyum gelap. "...pemuas hasratku." ​"Dan jika aku menolak?" ​"Marcus akan kehilangan segalanya sebelum makan siang. Anak-anaknya akan dikeluarkan dari sekolah privat mereka. Dan kau tahu, Bella, reputasi buruk di New York bisa lebih buruk daripada kematian." Sal meneguk kopinya, menekankan kekuasaannya. "Kau tidak boleh menolak." ​Isabella menatapnya tajam. Dia mengerti. Sal tidak menginginkan penolakan ia menginginkan perlawanan yang terkendali, perlawanan yang membuatnya lebih menarik untuk dikendalikan. ​"Baiklah, Giudice," kata Isabella, akhirnya mengambil kursi. "Aku akan memainkan peran ini. Tapi ingat ini. Aku tahu segalanya tentang dirimu, dan kau akan menyesal jika membuatku tidak bahagia." ​"Ancaman yang bagus," puji Sal, dengan nada setengah setuju. "Sekarang, makanlah. Kita harus bertemu dengan Don Moretti di Italia minggu depan. Kau harus menyiapkan dirimu untuk peran Nyonya Giordano yang baru." ​Don Moretti. Isabella membeku. Dia tahu siapa Don Moretti. Dia adalah salah satu Bos Sisilia yang paling tua dan disegani. ​Ini bukan sekedar permainan balas dendam pribadi. Sal menggunakannya sebagai alat negosiasi di tingkat tertinggi Mafia. Isabella menyadari bahwa kembalinya dia bukan hanya tentang melayani nafsu Sal, tetapi tentang mengamankan kekuasaan Sal di dunia yang jauh lebih mematikan. Dia kini berada dalam permainan yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. ​Sebagai penasihat bisnis Internasional Isabella harus mengikuti Sal ke ruang kerjanya yang gelap. Sal duduk di belakang meja mahoni, melakukan panggilan telepon tanpa henti dalam bahasa Italia yang cepat, mendiskusikan angka dan nama yang tidak ia kenali persiapan untuk pertemuan dengan Don Moretti. ​Sore harinya, Nico, penasihat Sal yang bertubuh kecil dan bermata tajam, datang. Nico adalah pria yang selalu membuat Isabella tidak nyaman . ​"Nyonya Devito," sapa Nico, dengan sedikit anggukan hormat yang terasa hampa. "Tuan Giordano meminta saya menjelaskan detail penerbangan ke Palermo. Pesawat pribadi akan berangkat besok malam." ​"Palermo?" ulang Isabella. "Saya pikir kita ke Naples." ​"Palermo. Sisilia," jawab Nico datar. "Tempat di mana perjanjian dibuat. Tempat di mana perjanjian dihormati." Nico menatapnya dengan pandangan dingin. "Anda harus tampil sempurna, Nyonya. Ini bukan pesta amal New York. Anda adalah simbol yang dibawa penguasa Giudice untuk negosiasi." ​Isabella membalas tatapannya. "Saya mengerti, Nico. Saya tahu cara berpakaian. Saya pernah menjadi istri Bos Anda." ​Nico tersenyum tipis, senyuman yang lebih mirip kerutan. "Tentu saja. Tapi kali ini, Anda bukan istri yang dicintai, Nyonya. Anda adalah aset. Aset tidak boleh membuat kesalahan, apalagi jika menyangkut Don Moretti." ​Nico memberikan Isabella sebuah folder tebal berisi rincian jadwal, daftar tamu, dan, yang paling penting, instruksi tentang bagaimana ia harus bereaksi terhadap berbagai isyarat Sal. Itu adalah panduan untuk menjadi boneka yang elegan. ​Setelah Nico pergi, Isabella duduk di sofa, memeluk folder itu erat-erat. Ia bukanlah sandera biasa. Ia adalah sandera yang harus tampil meyakinkan di mata Bos Mafia paling kuat di Italia. ​Yang paling sulit adalah perpisahan dengan Marco dan Lucio. ​Saat ia mengantar kedua anak itu ke tempat tidur, Marco, yang lebih sensitif, memeluknya erat. "Tante Bella janji tidak akan menghilang lagi, kan?" ​"Tante janji, Sayang," bisik Isabella, mencium keningnya. Kebohongan itu terasa berat di lidahnya. ​Lucio, yang lebih kecil, hanya berkata, "Papa bilang Tante Bella akan ikut dia pergi untuk urusan penting. Jangan lama-lama." ​Isabella keluar dari kamar mereka, air matanya akhirnya menetes. Anak-anak itu adalah satu-satunya alasan dia tidak melarikan diri, satu-satunya tali yang mengikatnya pada rumah dingin ini. Sal tahu itu, dan dia menggunakan kelembutan Isabella sebagai senjata. ​Ia kembali ke kamarnya untuk berkemas. Saat ia menutup kopernya, pintu kamar dibuka tanpa diketuk. ​Itu adalah Sal. Dia hanya mengenakan celana tidur, otot-ototnya yang terbentuk sempurna terpahat di balik cahaya temaram kamar. Dia memegang sebotol Simoncelli minuman keras Sisilia. ​"Aku melihat Nico memberimu ceramah," kata Sal, menuangkan sedikit minuman ke dalam dua gelas. "Dia hanya khawatir. Dia mengerti bahaya lebih baik darimu." ​"Bahaya?" tanya Isabella, mengambil gelas itu. "Justru yang bahaya itu kamu, Sal." ​"Mungkin," Sal setuju, tanpa rasa bersalah. "Tapi di Sisilia, ada bahaya yang lebih kejam dariku. Don Moretti adalah pria yang terhormat, tetapi dia tidak mengenal kata belas kasihan." ​Sal mendekatinya, tidak lagi dengan hasrat menuntut, melainkan dengan keintiman yang mengganggu. ​"Kau ingat bagaimana aku melindungi mu saat kita menikah dulu?" bisik Sal. "Di depan orang-orang itu, kau adalah milikku. Dan milikku tidak akan disentuh. Tapi..." dia mengangkat tangannya, menyentuh leher Bella dengan ibu jarinya turun ke belahan d**a memainkan jarinya, "Di belakang kau adalah harga dari perlindungan itu. Jangan lupakan peranmu." ​Dia meneguk Simoncelli nya. "Dua hari di Sisilia. Pastikan perjalanan itu berharga, Bella." ​Sal meletakkan gelasnya dan berjalan keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Isabella ditinggalkan sendirian, memegang minuman dingin dan menyadari bahwa ia baru saja menerima peringatan nyata di Sisilia, dia tidak hanya menghadapi mantan suaminya, tetapi juga seluruh dunia kejahatan terorganisir, dan tubuhnya adalah satu-satunya perisai Sal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN