Qiera
Awalnya keluarga Mas Yasa sangat baik padaku, terutama Bapak. Namun, semenjak kami pisah rumah, Mas Yasa mulai menunjukkan sikapnya.
Suka marah-marah dalam segala hal, bahkan menyangkut hal kecil sekalipun. Hinaan dan kata-k********r menjadi makanan sehari-hari untukku.
Ingin rasanya aku menyerah, tapi kembali ingat kalau setiap rumah tangga pasti akan ada ujian, apapun itu. Kalau tidak diuji keturunan, pasti ekonomi, kalau tidak keduanya, diuji dengan sikap suami dan anak-anak.
Selama ini aku berusaha sabar, tapi sampai ketika Mas Yasa mengatakan ibunya dan adik ipar akan datang, aku menyerah. Aku memilih untuk pergi ke rumah orang tuaku dan bersantai sejenak dari kehidupan yang hanya aku lalui penuh luka dan air mata.
"Jangan khawatir, Bapak tidak akan pernah membiarkan anak sebaik kamu terluka." Lelaki berusia lebih dari setengah abad itu berusaha untuk menguatkan aku. "Nanti kalau dia berbuat macam-macam lagi, laporkan segera sama Bapak," lanjutnya.
Aku hanya mengangguk, lalu tersenyum tipis. Jujur, aku sendiri tidak tahu bagaimana sikap Mas Yasa sebenarnya. Dia memang baik, tapi tidak bisa mengontrol emosinya dan selalu berbicara kasar seolah dialah yang hebat.
Akan tetapi, dia tidak pernah berani untuk kain kasar, baik itu padaku, ataupun anak-anak. Kecuali kalau menurutnya aku sudah keterlaluan, itu pun hanya kalau aku bentrok dengan Ibu. Kalau tidak, dia tidak akan berani.
Ketika aku menitipkan anak-anak pun, dia tidak pernah berani melukai anak-anak. Pernah beberapa hari lalu dia ingin mengurung Ziron di kamar mandi, untungnya aku menyimpan benda untuk membela di kamar mandi agar bisa digunakan anakku untuk membela dirinya.
"Apa selama ini dia sudah melakukan hal-hal yang keterlaluan?" tanyanya lagi dengan wajah khawatir.
"Tidak ada, Pak. Alhamdulillah Mas Yasa sangat baik," jawabku yang kembali tersenyum dan menutupi setumpuk luka yang lebih perih serta menyakitkan.
"Baik? Yasa yang seperti itu kamu bilang baik? Ya ampun Qiera, kamu adalah perempuan sempurna. Istri shalihah yang akan menjadi rebutan lelaki yang faham wanita seperti apa yang harus mereka nikahi, sayangnya Yasa tidak mengerti hal itu," ucapnya yang tampak kecewa.
Apa yang bapak mertua katakan sama seperti yang dikatakan orang tuaku, tapi aku sadar kalau setiap orang yang hidup akan terus diuji untuk meningkatkan kadar keimanan.
Selama jiwa dan ragaku masih kuat, maka aku akan bertahan. Namun kalau tidak, mungkin aku akan langsung menghilang dari kehidupannya tanpa meninggalkan satu patah kata pun.
"Kewajiban seorang istri adalah patuh kepada suaminya selama tidak menyimpang, Pak, dan aku memegang hukum itu." Aku memberikan penjelasan.
"MasyaAllah, Bapak memang tidak salah memilihkan pasangan untuk Yasa, sayangnya anak itu tidak bisa bersyukur." Lelaki yang akan di sampingku itu memasang wajah marah.
Aku bisa merasakan kemarahannya, karena aku juga pernah mengalaminya. Yaitu ketika Mas Yasa memarahi anak-anak yang lahir dari rahimku, saat itu rasanya hatiku sengaja dipatahkan, dihancurkan, lalu disiram air garam.
***
Setelah lama menunggu, beberapa hidangan sudah disiapkan di atas meja makan. Alhamdulillah, atas bantuan Bapak, hari ini aku bisa istirahat. Sepertinya besok juga begitu, karena katanya Bapak mau menginap.
"Bawa semua makanannya ke sini!" titah Bapak tajam.
Ibu dan Yani bergegas membawa semua makanannya dengan badan yang lebih keringat. Sangat bau. Tapi aku harus berterima kasih, meksipun dalam hati.
"Enak 'kan kamu hari ini gak masak?" Mas Yasa berbisik ketika kami sudah duduk di bangku masing-masing. "Makanya jadi perempuan itu jangan malas, masa iya menantu mau dilayani sama mertua?" ledeknya.
Aku makan dengan tenang tanpa menggubris apa yang dia bisikkan. Intinya aku harus makan dengan tenang dan jangan sampai berhasil terprovokasi.
"Dasar mantu durhaka! Gak tahu diri mau enaknya saja!" bisiknya lagi dengan penuh penekanan.
Aku meletakkan alat makan di meja, lalu menatap ke arah Bapak. "Memangnya aku adalah menantu yang tidak tahu diri ya, Pak?" tanyaku membuat Mas Yasa mencubit lengan kiri.
"Siapa yang bilang?" Bapak langsung mengangkat wajahnya. Seketika wajahnya yang terlihat menyeramkan berhasil membuat Mas Yasa salah tingkah.
"Aku gak ngomong gitu, Mas." Ibu langsung membela diri. "Benar kan Ibu barusan gak bilang gitu?" tanyanya padaku.
"Aku juga gak bilang, Pak. Untuk apa aku bilang gitu." Yani pun membela diri.
Kini Mas Yasa terlihat salah tingkah, ingin dia membela diri, tapi semua bukti mengarah padanya.
"Kamu?" Mata Bapak langsung terarah kepada Mas Yasa begitupun telunjuknya.
Akan tetapi mata Mas Yasa malah melihat ke arahku. "Kau?"
"Aku kenapa, Mas? Kau sendiri yang mengatakannya dengan bibirmu, bukan aku." Aku tertawa kecil, lalu melanjutkan makan kembali dengan tenang. Begitupun Bapak dan yang lainnya.
"Temui Bapak di depan rumah!" ucap Bapak membuat Mas Yasa gemetar.
Tentu saja Mas Yasa akan seperti itu setiap Bapak memberikan perintah, karena dia takut tidak akan diberikan warisan.
Orang tua kami memang orang kaya, tapi kami hidup mandiri di sini. Jauh dari rumah Ibu dan Bapak, begitupun dari rumah Mama dan papaku. Tapi ya, itu, sikap Mas Yasa berubah drastis.
Apalagi selama ini aku selalu membawakan bekal, padahal uang yang diberikan padaku tidak cukup untuk kebutuhan seminggu, untungnya aku punya usaha yang tidak diketahui Mas Yasa.
Sejak kemarin, aku memutuskan tidak akan memberikannya bekal lagi. Karena katanya bekal itu dia berikan kepada sekretaris atasannya di kantor. Jadi percuma saja kalau bukan dia yang makan.
Karena penasaran dengan apa yang Bapak dan Mas Yasa obrolkan, aku berpura-pura duduk di ruangan depan sambil menemani Ziron belajar.
"Kamu tahu kan konsekwensinya dari menyakiti Qiera dan anak-anak?" Terdengar suara Bapak meninggi.
"Aku tahu, Pak, makanya aku tidak berani." Mas Yasa berbicara pelan.
"Tidak berani tapi kau kembali berbuat begitu, apa maksudnya? Kau ingin aku adukan kepada kakak angkatnya Qiera dan kau akan dihajar sampai babak belur bahkan ... mati?" Kali ini Bapak melibatkan Bang Zy, kakak angkat yang sangat membenci Mas Yasa.
"Tidak, untuk apa Bapak adukan masalah kecil seperti ini." Mas Yasa terdengar panik.
"Masalah kecil? Kalau memang kecil, Bapak tidak akan sampai datang ke sini. Atau kau mau tanah bagianmu diberikan kepada Ziron?" Bapak kembali mengancam.
"Pak." Mas Yasa keberatan.
"Atau kau memang tidak ingin pemberian dari kami?" Bapak kembali bertanya tanpa mendengarkan jawaban Mas Yasa.
"Pak, aku mau."
"Baguslah kalau tidak mau, nanti biar Bapak berikan kepada panti asuhan saja. Biar dijual atau dibuat bangunan baru," lanjut Bapak.
"Pak!!!" Mas Yasa berteriak. "Aku mau, apa Bapak b***k?"
Plakkk ... terdengar bunyi tamparan yang sangat keras.
Aku mendekat ke arah Ziron dan memeluknya. "Lupakan apa yang Abang dengar hari ini, ya?"
Anak yang ada di dalam dekapanku hanya mengangguk.
"Kau sudah melewati batas. Kalau saja menyuruh kalian bercerai tidaklah berdosa, akan aku minta kalian pisah dari dulu. Anak-anak butuh seorang ayah yang bener-bener menyayangi anaknya, bukan pria sampah yang hanya menginginkan harta sepertimu!" maki Bapak kehilangan kesabaran.
"Sampah? Memang cocok." Aku bergumam.
"Tidak, hanya aku ayah yang baik. Sebaik apapun lelaki di luaran sana, tetap saja tidak akan ada yang sebaik aku ayah kandungnya!" teriak Mas Yasa tidak tahu diri.
Baik?
Ya ampun. Kalau benar baik, tidak mungkin anak-anak sampai takut padanya.
Bapak terlihat semakin geram. "Baik? Coba kau bercermin di air yang jernih, jangan yang keruh agar kau tahu seperti apa busuknya dirimu itu sebenarnya," tegas Bapak penuh penekanan dan kali ini aku sangat setuju.