Qiera
Aku benar-benar puas dengan cara Bapak mertua mendidik istri dan anak-anaknya. Sebagai kepala rumah tangga memang harus tegas seperti itu. Apalagi jika sikapnya begitu semua. Aku saja rasanya sangat pusing.
Ingin marah, tapi coba kutahan. Karena bagaimanapun mereka adalah suami dan mertuaku.
"Kita gak akan bisa bernapas dengan tenang kalau Bapak ada di ini!"
Tidak sengaja aku mendengar Mas Yasa berbicara, tapi di mana, dan apa yang mereka bicarakan jam dua belas malam begini.
Aku berjalan pelan ke arah sumber suara yang kupikir ada di sebelah kiri, berarti mereka di dapur. Tapi aku salah, ternyata di dapur tidak ada apapun.
Aku kembali ke depan pintu kamar dan mencoba untuk tenang dulu sambil memastikan mereka ada di mana.
"Justru kita semakin akan dimarahi Bapak kalau masih ada Qiera, jadi sebaiknya kita berikan Qiera pelajaran dulu. Kalau tidak kunjung jera, terpaksa kita gunakan cara terkahir," jelas seorang wanita yang aku tahu ini adalah suara Ibu.
Spontan tangan kakak ini langsung menutup mulutku agar tidak bicara. Ya Allah, kenapa mereka begitu tega, apa yang sudah kami lakukan sampai mereka ingin melakukan hal-hal yang k**i?
Meksipun mereka hanya mengatakan 'menggunakan cara terakhir', tapi tetap saja aku punya firasat buruk tentang itu. Ya Allah, jangan biarkan rencana mereka berhasil, karena ini adalah rencana jahat dan k**i.
"Itu gampang!" Mas Yasa mulai bicara.
Kali ini aku melangkah ke arah kanan dengan perlahan. Lalu, berdiri di balik pintu belakang yang menuju taman. Ternyata mereka ada di taman dan berkumpul bertiga dengan wajah serius.
"Gampang gimana, Yas?"
"Iya, Mas?"
"Kita akting saja di depan Bapak, kalau Qeira sakit. Selama ini kan Bapak paling khawatir kalau ada sesuatu sama Qiera, jadi aku yakin kalau Bapak akan percaya sama kita kalau tentang dia. Setelah itu kisah kasih obat yang sedikit membuatnya tenang, nanti lama-lama bisa menjadi penyakit yang tidak ada obatnya," jelas Mas Yasa begitu kejamnya.
Astagfirullah ... astagfirullah ... astagfirullah, ya Allah, kenapa aku bisa punya keluarga yang seperti ini?
"Aku setuju!" Yani begitu antusias.
"Ibu juga."
Mereka bertiga mulai merencanakan rencana yang lebih jahat lagi dan tidak sanggup aku dengar. Aku lebih memilih pergi ke kamar, mengistirahatkan tubuh, hati, dan pikiran. Setelah tenang, baru memikirkan rencana apa yang akan aku ambil.
***
"Kamu sudah bangun?" Mas Yasa bertanya dengan lembut.
Tubuhku spontan menjauh darinya ketika nada suaranya berubah dan aku kembali teringat dengan apa yang semalam mereka bicarakan.
"Aku tidak apa-apa, Mas. Aku mau pergi masak dulu!" Segera aku jauhkan selimut yang menutupi tubuhku, lalu berlari keluar.
Aku tidak ingin mereka bergerak lebih dulu, lalu aku kalah. Jangan sampai itu terjadi. Mereka memang suami dan mertuaku, tapi tetap saja apa yang mereka rencanakan tidak bisa dibenarkan, dan aku samasekali tidak bisa menerima hal ini.
Aku harus selalu bergerak lebih cepat. Kalau mereka berjalan, aku harus berlari. Atau anak-anak dan orang-orang yang aku sayangi akan menjadi korbannya.
"Qiera!" Mas Yasa berteriak dan mencoba memanggil, tapi aku tetap saja berlari sampai ke dapur. "Kamu harus istirahat," teriaknya lagi sambil berusaha menarik pergelangan tanganku.
"Aku gak sakit dan gak lelah, untuk apa aku harus istirahat?" Aku langsung mencuci banyak pakaian dan barang-barang kotor, lalu membuatkan sarapan untuk meja makan.
"Kamu katanya sakit, istirahat saja." Bapak mulai bicara.
Ternyata mereka menjalankan rencana yang begitu kotor secepat ini, berarti aku harus segera mengambil langkah.
"Mana ada, Pak. Kalau aku sakit, aku akan meminta Mama dan Papa untuk menemani aku di sini. Kalau tidak, tandanya aku sehat." Aku sengaja menekan kata Mama dan Papa agar mereka takut, tapi sepertinya hal itu tidak terlalu berpengaruh.
"Benar? Kalau iya, jangan terlalu dipaksakan. Jangan buat badanmu terlalu lelah, karena tubuh juga perlu istirahat," pesannya dan aku hanya mengangguk.
Kalau saja aku istirahat di kamar, bukan hanya Bapak yang terancam, Pak, tapi juga aku, dan Ziron, ingin aku berkata begitu tapi tidak bisa.
***
Pagi ini seperti biasa aku mengantar Ziron pergi ke sekolahnya. Memang tidak terlalu jauh, tapi ini yang membuatku lebih khawatir karena tidak ada yang menjaganya di sini selama aku ada di rumah. Aku malah semakin tidak bisa tenang.
Kali ini aku tidak pulang dulu, tapi lebih memilih menunggunya di sekolah sambil mencari tempat yang aman untuk menelpon Papa.
"Pa, aku boleh minta pengawalnya untuk ngawasin Ziron?"
"Jangankan pengawal, Papa sendiri mau kalau untuk menjaga cucu." Papa terdengar lebih tegang, tapi tetap berusaha bercanda agar aku tidak ikut tegang.
Papa tidak banyak menanyakan tentang alasan aku meminta pengawal, Papa tahu kalau aku ada masalah kalau harus seperti ini.
"Nanti Mama dan Papa juga sering-sering ke sana, ya. Nginap juga." Suara Mama mulai terdengar.
"Iya, Ma, Pak."
Aku duduk di kantin sekolah dengan perasaan yang tidak begitu tenang.
"Makan, Kak." Seorang pria menawariku makan. Karena aku termasuk wanita yang tidak suka ditanya sama lawan jenis, aku hanya menjawab seperlunya tanpa tersenyum.
Bukannya marah, pria itu malah senyum-senyum sendiri.
"Jangan cuma mikirin perasaan hidup yang tidak akan ada selesainya, Kak, lebih baik makan dengan saya." Ia kembali bicara.
"Tidak usah panggil Kakak, kita tidak dekat." Aku mulai emosi, tapi coba aku tahan, dan hanya aku keluarkan seperempatnya.
"Ya ampun, judesnya saja cantik, apalagi kalau senyum." Sungguh tidak tahu malu, pria itu malah mengeluarkan kalimat godaan.
"Saya sudah emak-emak dari dua anak, tidak pantas kau goda saya begitu!" Aku tidak bisa menahannya lagi. "Kau juga pasti sudah punya istri dan anak, kan? Istrimu guru di sini atau wali murid? Agar nanti saya adukan sama istrimu!" Aku menatapnya tajam.
"Em ... aku belum nikah, Mbak. Aku cuman bantu jaga anak dari wanita yang kucintai." Dia menjawab dengan begitu percaya diri sampai membuatku agak kesal.
Daripada berlama-lama di sini dan takut menjadi gila sama pria itu, aku memilih menunggu Ziron di mobil.
Mataku terbelalak ketika melihat pria yang sok kenal sok dekat itu berbicara dengan Angga, temannya Mas Yasa.
Apa jangan-jangan pria itu temannya Mas Yasa juga?
Setelah berbicara cukup lama dengan Angga, dia mendekat ke arah mobilku dan mengetuk kaca dengan pelan dengan bibir yang tidak berhenti tersenyum.
Lah, mau apa ini orang? Enggak mungkin kalau dia mau merampok di siang-siang begini, kan?
Aku tidak takut, tapi tetap saja harus waspada, karena menjaga lebih baik daripada mengobati.
Daripada menuruti keinginannya, aku lebih memilih diam, dan pura-pura tidak tahu. Tidak lama dia pun pergi. Syukurlah.
"Kak!" panggilnya lagi sambil membawa batu di tangannya.
Astagfirullah ... siapa sebenarnya orang ini, kenapa begitu nekat dan tidak tahu malu?
Aku terpaksa menurunkan kaca mobil sedikit, "Kenapa kau terus menganggu orang seperti ini?" tanyaku kesal.
"Aku hanya ingin berpesan, jangan lupa makan, karena aku akan sedih kalau Kakak sakit," ucapnya sambil tersenyum, lalu pergi begitu saja.
Aku mengusap d**a sambil menahan amarah, enak sekali dia bicara begitu saja, lalu pergi tapi dengan cara mengancam.
***
Teman-teman Ziron sudah keluar, tapi anak itu masih tidak kelihatan. Sepertinya aku harus menjemput langsung anak itu ke dalam, tapi baru saja membuka pintu mobil, pria itu mendekat dengan membawa Ziron di dalam pelukannya yang dibungkus jaket.
"Jaketnya tidak usah dibuka dan dikembalikan. Tetap saja pakai begini, karena tadi ada orang jahat yang mengincarnya," ucapnya terburu-buru dan serius, beda seperti tadi yang hanya mengeluarkan kalimat bualan sambil tertawa.
Aku langsung melihat ke arah yang ditunjuknya. "Ya ampun, kenapa Yani dan teman-teman prianya bisa ada di sini? Jangan-jangan ...."