bab 2

1006 Kata
Nur masih tidur di kamar tamu, ia enggan untuk berdekatan dengan suaminya. Ia tahu ini salah, sebagai seorang istri tidak boleh melakukan itu, tapi di sisi lain hatinya masih sakit. Suara klakson mobil membuyarkan lamunannya. Ia menengok dari jendela kamar, sebuah mobil terparkir di halaman, tak berselang lama mertua dan adik iparnya datang. Nur tersenyum tipis, ternyata hidupnya tidak akan mudah. Suara pintu kamar di ketuk, ia buru-buru membukanya. Raka berdiri dengan kedua tangan bersidekap di d**a. "Ada apa?" "Kita makan bersama, ibu bawa nasi uduk katanya buat syukuran karena Putri sudah aku belikan mobil." "Oh, tumben ibu inget sama aku." Tukasnya seraya berlalu menuruni tangga. Raka mengusap wajahnya kasar, ia pikir menaklukan hati Nur kembali akan mudah nyatanya tidak. "Kak Nur! aku di beliin mobil, mau lihat gak?" seru Putri ketika Nur sudah berada di bawah tangga. "Enggak usah!" "Mana ngerti dia mah, secara dulu dia hidup di kampung!" ucap Wati. Nur hanya diam, tak berselang lama Raka sudah berada di sampingnya. "Ayo makan! ibu udah lapar nih!" Mereka semua menuju dapur, nasi uduk dan teman-temannya sudah tersaji di sana. Nur mengambil piring suaminya, menuangkan nasi uduk lebih banyak, sedang untuk dirinya hanya mengambil sedikit. "Kamu nambah lagi dong! entar kalau kurus orang-orang nyangkanya kamu gak di kasih makan lagi." "Gak usah ini cukup, lagipula takutnya adik kamu masih kelaparan dia sudah biasa 'kan makan jatah aku." Raka mengeratkan rahangnya, ia melirik ke arah istrinya itu, namun Nur tak kalah tajam menatap Raka. "Aku tidak lapar!" celetuk Nur dan berlalu. Ketika Raka hendak menyusul Nur, tangan Wati mencengkram tangannya. "Udah gak usah di kejar, nanti juga istrimu baik lagi sama kamu. Secara yang punya uang itu kamu, ingat pesan ibu istrimu itu gak usah di manja terus sekali-kali biar dia hidup mandiri. Nyusahin aja, nanti ujung-ujungnya dia mau mengeruk harta kamu." Raka yang merasa perkataan ibunya ada benarnya juga memutuskan untuk kembali duduk dan makan, secara dulu mereka menikah karena di jodohkan. Nur menelepon ibunya memastikan kalau keadaannya baik-baik saja, Zian juga mengeluh uang semesternya harus segera di bayar kalau tidak, ia tidak akan mengikuti ujian. "Memangnya berapa uang kuliah kamu?" "Semuanya tiga juta, Kak!" Ia teringat uang yang di berikan Matin, masih ada sisa tiga juta. Untuk kali ini mungkin ia masih bisa membantu, tapi untuk ke depannya ia belum yakin. Kalau Zian kuliah sambil kerja, apa dia bisa? "Zian, uangnya nanti Kaka kirim ya! emh, sebenarnya ada hal yang ingin kakak katakan, bagaimana kalau misalkan pas libur kuliah kamu mencari kerja sampingan. Mau gak?" "Oh, Zian sih mau aja Kak, itung-itung mengurangi beban kakak sama kak Raka." "Bukan itu maksud kakak, ya setidaknya kamu bisa punya tabungan untuk kamu gunakan nanti, penghasilan di Restoran suami kakak 'kan gak tentu kadang rame kadang juga enggak." "Iya, kak! nanti aku cari kerja sampingan, udah ya, Kak, aku mau lanjut belajar lagi." "Iya." Nur mengakhiri panggilan dengan adiknya, pintu kamar dibuka dengan lebar Raka berdiri di sana dengan tatapan tajamnya. "Maksud kamu apa bicara seperti itu di depan ibuku?" Nur hanya mengangkat bahu acuh. "Kamu harus minta maaf, kalau tidak aku tidak akan memberimu uang sepeserpun." Ancamnya dengan seringai kemenangan. "Sampai kapanpun aku tidak akan meminta maaf, kalau aku mau minta maaf sama ibumu maka kamu juga harus minta maaf pada ibuku karena di belakangnya kamu sudah mengharapkan dia meninggal, dan untuk masalah uang aku tidak peduli." "Oh, jadi sekarang kamu merasa hebat! kita lihat apa kamu akan bertahan di sini tanpa uangku, hah?" "Aku tidak takut dengan ancaman orang sepertimu, bagaimana kalau kita berpisah saja?" Tangan Raka mencengkram bahu Nur dengan kuat, ia sedikit meringis kesakitan karena ada kuku yang menancap di kulitnya. "Dengarkan aku baik-baik, pantang bagiku untuk menceraikan kamu. Apa kata orang-orang jika aku berpisah dengan kamu, seorang Raka Wijaya yang sukses, tapi malah berpisah dengan istrinya. Berita seperti itu membuatku malu seumur hidup." "Aku tidak peduli!" jawab Nur dengan penuh penekanan. "Raka! Raka, kamu dimana, Nak?" Wati memanggil anaknya itu dengan suara yang memekikkan telinga, sial entah rencana apalagi yang akan di susun oleh mertuanya itu. Raka pun pergi, karena penasaran akhirnya Nur mengekor di belakang suaminya. "Ada apa, Bu?" "Ibu dan Putri sudah putuskan akan tinggal di sini, lagian kampus dia lebih dekat jaraknya jika di tempuh dari rumah kamu." Nur yang mengetahui mertua dan adik iparnya akan tinggal di sini, membuatnya segera turun menghampiri mereka. "Aku keberatan jika ibu dan Putri tinggal di sini!" Kini semua mata tertuju pada dirinya, Raka juga mengerutkan keningnya tidak percaya. "Kamu kenapa, Nur? ibu 'kan punya hak untuk tinggal di sini, lagipula kamu harus tahu seorang anak laki-laki itu milik ibunya bukan milik istrinya." "Terserah, satu yang pasti aku tidak setuju." "Nur!" bentak Raka padanya. "Kenapa? gak terima aku berbicara seperti itu pada ibumu? lantas apa kabarnya dengan kalimat yang kamu ucapkan untuk ibuku? kamu pilih ibu tinggal di sini atau aku?" "Maksud kamu apa, Nur? kamu mau memisahkan ibu dan anak?" sergah Wati dengan wajah yang dibuat sepilu mungkin. "Bukankah ibu yang bilang kalau seorang anak laki-laki adalah milik ibunya? itu berarti mas Raka tidak membutuhkan aku di sini, bukan begitu Mas?" Raka mematung mendengar perdebatan kedua wanita yang menjadi prioritas dalam hidupnya. Ia dilema bagaimana mungkin memilih salah satu dari mereka, kalau milih ibu maka ia akan kehilangan Nur dan orang-orang akan mencap dirinya suami yang gak bertanggung jawab. Kalau memilih Nur, ia tidak ingin dianggap jadi anak durhaka. Karena bosan menunggu, Nur kembali ke atas membanting pintu kamarnya sehingga terdengar suara yang membuat jantung siapa saja akan terkejut. "Lihat istrimu, dia mulai kurang ajar sama ibu!" Raka yang tersulut emosi menyusul istrinya, ketika hendak memutar kenop pintu kamar tamu ia tidak berhasil, pintunya di kunci. "Nur kita harus bicara!" sesekali ia menggedor pintunya agar Nur mau keluar. suara kunci di putar, ia mengambil nafas panjang entah kenapa istrinya jadi seperti ini. "Bicara apalagi?" "Mau kamu apa? aku akan turutin semua kemauan kamu asal kamu ngizinin ibu untuk tinggal di sini!" "Bersujud di kaki ibuku!" "Apa? jangan gila kamu!" Nur berbaring membelakangi suaminya, percuma berbicara juga toh sudah tidak ada gunanya lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN