bab 3

1255 Kata
Nur yang mengetahui jika suaminya itu tidak akan melakukan yang dia inginkan, memutuskan untuk berangkat lebih awal ke toko buku. "Kamu mau kemana?" suara bariton suaminya membuat langkahnya terhenti. "Ada urusan!" Ia berangkat meninggalkan Raka yang mematung di ambang pintu. Raka menatap punggung istrinya dengan tatapan yang sulit di mengerti, pergi kemana istrinya itu? kepalanya menunduk lesu, semakin hari rumah tangganya semakin kacau saja. Entah kenapa juga, akhir-akhir ini ia selalu terpancing emosi ketika berdebat dengan istrinya, terdengar suara gaduh dari dapur ia memutuskan melihatnya. "Kenapa, Bu berisik sekali!" "Ini isi kulkas kamu?" tunjuk ibunya pada sayuran yang ada di dalam sana. "Iya memangnya kenapa?" "Memangnya istrimu gak kamu kasih uang apa? isi kulkas cuma sayuran dan daging ayam saja." "Sudahlah, Bu! lagipula itu stok untuk, Nur, aku 'kan sering makan di Restoran." "Makanya kalau ngasih uang sama istrimu itu gak usah kebanyakan, kamu juga jarang makan di rumah. Oh iya, apa sekarang kamu masih suka ngirim uang buat adiknya itu?" "Sesuai saran ibu, aku tidak mengirim dia uang! dia seorang laki-laki harus bisa bertanggung jawab untuk hidupnya." "Bagus, itu baru anak ibu. Lagipula kamu itu harus waspada sama keluarga istri kamu, mereka hanya orang asing yang kebetulan ada di dalam kehidupan kamu. Yang kamu harus pikirkan itu ibu dan Putri yang sudah jelas keluarga kamu sendiri." "Iya, Bu!" Tiba di toko buku, Nur tidak langsung masuk karena masih belum ada orang. Ia memutuskan untuk mencari sarapan dulu, tidak jauh dari sana ada tukang bubur yang sedang berjualan. "Mang pesan satu porsi tanpa daun bawang dan gak pedas ya!" "Baik, Mba!" Ia mengutak-ngatik ponselnya menghilangkan kejenuhan, potret adik iparnya sedang memamerkan mobil baru lewat di beranda akun media sosialnya. "Hem, bisa-bisanya kamu pilih kasih, Mas!" gumamnya pelan. Di Restoran Raka bertemu dengan Zian, mungkin lebih tepatnya Zian yang ingin bertemu dengan Kakak dan Kakak iparnya. Tadi pagi, ia dapat kiriman uang dari Nur, mungpung kondisi ibunya sudah membaik apa salahnya berkunjung. "Kak Raka, apa kabar?" sapanya ketika Raka masuk ke Restoran. "Baik, ngapain kamu di sini?" tanya Raka balik dengan sedikit ketus. Ia yakin kedatangan adik iparnya itu hanya untuk meminta uang. "Kebetulan lewat sini aja, aku juga mau mengucapkan terima kasih karena sudah mengirim uang untuk pengobatan ibu dan biaya ujian semester kuliah aku, sekali lagi terima kasih, Kak!" Raka yang tidak mengerti dengan pembicaraan adik iparnya hanya diam saja, pikirannya terlalu sibuk mencerna setiap kalimat yang keluar dari mulut Zian. "Memangnya berapa yang kakakmu kirim?" "Pas ibu di rawat lima juta dan tadi pagi tiga juta, totalnya delapan juta Kak! semoga usaha dan rezeki Kakak sekeluarga semakin lancar." Zian pun pamit pulang niatnya ingin bertemu dengan Nur, dengan motor matic yang jadul ia membelah jalanan kota dengan sumringah, berbeda dengan Raka yang masih kepikiran tentang Nur yang mengirim uang begitu banyak. Padahal waktu itu, ia menolak uang yang di berikan dirinya. Darimana ia mendapatkan uang itu? Karena penasaran akhirnya ia mencoba menghubungi nomer istrinya, namun sayang tidak ada respon apa-apa hanya suara operator yang berbicara. Tiba di rumah Kakaknya, Zian memarkir motornya di halaman rumah berdekatan dengan mobil baru milik Putri. Ia mengetuk pintu, suara langkah kaki terdengar dan pintu terbuka sedikit. "Ngapain kamu ke sini?" sapa Wati. "Maaf, Bu! Kak Nur nya ada?" "Dia gak ada di rumah, entah kemana pagi-pagi sekali dia sudah pergi." Dari belakang Wati, Putri baru turun dari tangga. Ia melihat mobilnya berdekatan dengan motor butut milik Zian. "Eh, siapa yang suruh motor butut Lo di parkir di samping mobil Gue? cepat pindahin, merusak pemandangan aja. Lagian ngapain sih Lo kemari? Kakak Lo pergi tuh udah dari pagi." Zian menunduk, bukan tidak punya keberanian untuk membalas setiap perkataan Putri, namun ia masih menghargai kakaknya karena sudah baik padanya. "Kalau begitu saya permisi dulu!" pamit Zian dengan tatapan dingin. "Udah pergi sana, bawa motor butut Lo itu!" teriak Putri dengan berkacak pinggang. Zian pergi membawa motor bututnya, mencoba menghubungi kakaknya, namun tidak di angkat, akhirnya ia putuskan pergi ke toko buku berniat membeli buku untuk bahan ujian nanti. Raka masih terus menghubungi ponsel Nur, bahkan mengirim pesan juga. Nur yang baru saja sampai di toko buku, menyimpan tasnya di loker, mengecek ponselnya ada beberapa panggilan dan pesan dari Raka serta adiknya. "Ada apa kamu telepon aku?" sapa Nur tanpa basa-basi ketika sudah terhubung dengan suaminya. "Kamu dimana?" "Aku ada urusan!" "Cepat katakan, kamu dimana? aku akan jemput kamu! aku butuh penjelasan dari kamu." "Nanti sore saja kita bertemu di rumah." "Tap--" Nur memutuskan panggilan sepihak, ia menuju meja kasir dan mulai bekerja. Ia juga sudah dekat dengan karyawan lainnya, seperti sekarang ia sedang berbicara dengan Maya. "Mba Nur temen dekatnya Pak Matin ya?" "Iya, dulu kita berteman dari SMA, terbilang dekat juga." "Oh, jangan-jangan mantannya ya, Mba?" "Ngawur kamu! engga lah, dia itu teman dekat rasa sodara." Maya mangggut-manggut, entah dia mengerti atau tidak yang pasti ia sudah tidak bertanya lagi. "Nur!" "Eh, Matin, belum pulang ke Bandung?" "Ini mau pulang, sengaja datang ke sini dulu!" "Oh iya, salam untuk istri di rumah dan terima kasih kemarin udah transfer." "Gak usah di pikirin, aku berangkat dulu!" "Oke, hati-hati!" tangan Nur melambai melepas kepergian Matin. Ia merasa beruntung mempunyai teman seperti Matin yang tidak melupakan pertemanan meski mereka sudah berkeluarga. Zian memasuki toko buku tempat kakaknya bekerja, matanya melihat sosok kakaknya sedang melayani pembeli, bahkan matanya sampai memicing memastikan apa yang dilihatnya tidak salah. "Kak Nur!" Kepala Nur mendongak, matanya membulat sempurna, bahkan tangannya reflek menutup mulutnya. "Kakak kerja di sini?" Nur meminta bantuan Maya untuk menggantikan dirinya dulu, ia membawa Zian menjauhi meja kasir. Mereka duduk di taman kecil yang berada di belakang toko buku, tidak ada yang berbicara sepatah katapun. Zian hanya menunggu kakaknya siap untuk berbicara, karena bosan akhirnya ia memecah kesunyian. "Kaka kerja di sini?" "Iya, semuanya menjadi semakin rumit, hanya ini yang bisa kakak lakukan. Jangan beritahu ibu, takutnya ia semakin terbebani dengan keadaan kakak sekarang!" "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Maaf, untuk saat ini kakak belum bisa menceritakan semuanya." Hari menjelang sore, Nur membuka pintu dengan wajah yang lelah. Tak di sangka, Raka sudah menunggunya di ruang tamu. "Darimana kamu?" "Aku cape, mau mandi dulu!" tangan Raka mencekal tangannya dengan kuat, langkahnya terhenti. "Sakit, Mas!" Raka membawa Nur menuju lantai dua, tepatnya ke kamar tempat mereka dulu. "Jelaskan padaku darimana kamu mendapatkan uang untuk biaya ibu dan membayar kuliah adikmu?" "Itu uangku, memangnya kenapa?" jawab Nur ketus. "Kamu punya uang darimana?" "Itu bukan urusanmu!" "Jelas itu urusanku, aku suamimu dan aku berhak tahu apa yang kamu lakukan di belakangku." "Suami? suami macam apa kamu, yang tega mendoakan ibu dari istrinya agar meninggal, suami yang tidak bertanggung jawab dengan keluarganya, bahkan menganggap keluarga istrinya menjadi beban. Itu yang di namakan suami?" Raka mengerang frustasi, ke dua tangannya mengepal sempurna. Ia mencoba menahan amarahnya agar tidak lepas kontrol, sedangkan Nur duduk di tepi ranjang dengan mata yang waspada. "Sekarang kamu pilih aku atau ibu dan adikmu yang tinggal di sini?" "Aku tidak akan memilih, kalian bertiga harus tinggal di sini!" "Baiklah, kalau begitu biar aku yang pergi!" Nur bangkit dan melangkah keluar, namun tangannya di cengkram Raka dengan kuat. "Satu langkah kamu pergi dari sini, aku bisa pastikan adik dan ibumu akan menderita selamanya, bahkan aku bisa mengeluarkan adikmu dari kampus." "Kamu pikir aku takut? memangnya kekuasaan apa yang kamu punya sehingga mampu mengeluarkan Zian dari kampus, di kampus manapun ia akan dengan mudah di terima secara adikku jauh lebih pintar dari adikmu yang hanya mengandalkan kekayaan Kakaknya!" Raka menjadi serba salah, semakin ia berdebat dengan Nur ujung-ujungnya ia kalah telak lagi, entah darimana keberanian istrinya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN