Nadia
Aku berjalan menelurusi lorong rumah sakit dengan pikiran yang kacau balau ini. tanpa sengaja, saat di ujung lorong aku menabrak seseorang dan membuat barang-barang yang ia bawa berhamburan. Astaga kesalahan koyol apa lagi yang aku lakukan hari ini?
“Maaf... maaf saya nggak sengaja,” ujarku sembari membantu orang itu membereskan barang-barangnya
“Nadia?”
Aku mendongak. Astaga siapa yang aku lihat sekarang? “Tante Nina?” tanyaku heran.
Ibu Dikta –Tante Nina– bangkit sembari menarik tangan kananku. Ia menyuruhku duduk di kursi ruang tunggu. Aku benar-benar merasa hari ini benar-benar sial untukku. Tadi pagi Elena datang ke rumah dan memberi sebuah pernyataan yang mencengakan bahwa dia itu adiknya Revan, lalu kecelakaan kecil dengan Revan. Sekarang? Aku harus bertemu dengan ibu Dikta ini benar-benar.
“Apa kabar?” tanya Tante Nina.
“Ba... ba... baik, Tan,” jawabku gelagapan, “Tante sendirian?”
“Baik juga. Nggak kok Tante ditemenin lah sama Dikta.” Ia melemparkan senyuman bah malaikat seperti biasa, “Kamu kerja disini, Nad?”
“Lebih tepatnya masih diperbantukan, Tan.” ralatku, “Karena kemungkina sebentar lagi aku akan mengambil sekola spesialis.”
“Oh iya, cepet juga ya kamu udah lulus terus sekarang kamu udah jadi dokter. Memang waktu itu selalu berjalan lebih cepat.” Tante Nina memandangiku dengan wajah yang berbinar.
“Ya begitulah, Tan,” kataku acuh
Saat aku asik berbincang dengan Tante Nina, seseorang mengacaukan pembicaraan kami. “Ibu ayo-.”
Aku membeku. Di depanku sekarang sosok Dikta berdiri sembari memandangiku. Seketika dadaku merasa sesak. Kenapa aku harus bertemu dengannya juga hari ini? Aku benar-benar tak sanggup harus kembali menatap kedua mata cokelatnya itu.
“Nanti dulu ya Dik, ibu mau ngobrol sama Nadia,” sahut Tante Nina, “Udah lama habisnya nggak pernah ketemu lagi sama Nadia setelah kamu lulus SMA ibu nggak pernah ngobrol lagi sama Nadia.”
Dikta nampak salah tingkah. Ia mengacak-ngacak rambut cokelat muda nan ikalnya yang mulai panjang itu. benar-benar stuasi yang tidak menyenangkan saat ini. Papa, andai papa disini aku ingin berlindung di balikmu.
“Apa kabar, Dik?” sapaku cangung.
“Baik, Nad,” sahut Dikta acuh. “Kamu sendiri?”
“Baik kok.”
Dikta duduk di sampingku. Aku benar-benar merasa cangung setelah kejadian tempo hari itu. Dikta berubah sangat dingin denganku apalagi aku sudah mengatakan dengannya bahwa aku sekarang sudah menikah. Dan yang parahnya lagi karena sikap Revan yang tiba-tiba memberi bogem metah untuk Dikta aku semacam kehilangan muka di hadapanya.
“Lagi nggak ada kerjaaan, Nad?” tanya Dikta membuarkan lamunanku.
“O... o... oh iya Dik, aku kerja dulu ya.” Dan aku langsung beranjak dari kursi yang aku duduki. Aku terus berjalan tanpa menoleh kearah belakang sama sekali. Perasaanku benar-benar masih kacau sejak setahun yang lalu aku bertemu denganya aku di hantui rasa bersalah denganya.
“Nadia,” Bisik seseorang tepat di telingaku tepat saat aku berjalan di ujung lorong sepi rumah sakit ini. Lengan kekarnya menglingkar di pinggangku. Desah nafasnya benar-benar terasa di tengkuk leherku. Aku merindukanya. Sangat merindukanya pelukanya, dekapanya, desah nafasnya, dan ciumannya yang nyaris lima tahun tak pernah aku rasakan lagi.
“Pradikta...”
“Boleh aku peluk kamu seperti ini? Aku benar-benar merindukanmu,” bisiknya mengelitik telingaku, “Aku kangen kamu, Annadia.”
“Peluklah aku sesukamu.”
“Aku benar-benar merindukan segala hal tentang dirimu, Anak Pendekku.” Hatiku benar-benar ingin menjerit. Ya tuhan andai aku bukan istri dari Revan aku benar-benar ingin mengatakan aku sangat merindukannya, aku sangat mencintainya, aku-.
“Suamimu, nggak ada disini kan?” Tanya Dikta tiba-tiba.
Aku tersadar. Astaga dokter gila itu kan ada di sekitarku bagimana kalau dia memukul Dikta seperti waktu itu? Buru-buru aku menyikirkan lengan Dikta dari pinggangku. Kuputar tubuhku sembari memandangi wajah Dikta. “Maaf, Dik.”
“Nadia,” kedua mata cokelatnya menatapku dalam, “Aku sangat merindukanmu.”
“Aku tahu, Dik. aku tahu!” kataku histris.
“Kenapa kamu ninggalin aku selama ini?” tanya Dikta tiba-tiba.
“Aku ninggalin kamu? Nggak salah?” sindirku, “Kemana kamu selama dua setengah tahun waktu itu? hmm? Kamu lebih memilih pergi ke Prancis tanpa sepengetahuan aku tanpa sepatah kata pun dan malam itu kamu meninggalkanku sendiri hingga aku... nyaris mati di karena nyaris di perkosa?”
“Kenapa kamu ngelangar janji kita?” Balas Dikta tak kalah sinis. “Kamu lupa dengan semua janji-janji kita?
“Maaf.”
“Nadia, apa kesempatan untukku benar-benar tak ada lagi?”
“Semua sudah sangat terlambat, Dik.” Air mataku mulai membasahi pelupuk mataku. “Aku udah milik orang lain sekarang. Dan aku tak ingin menyakitinya. Karena dia adalah anugerah terindah yang pernah aku miliki... selain Papa dan kamu.”
“APA SEBESAR ITUHKAH KESALAHANKU DENGANMU SEHINGGA AKU TAK BISA MENDAPATKAN KATA MAAF DARIMU, ANNADIA?!” teriak Dikta frutasi.
Aku berjalan meninggalkannya sembari menahan air mataku yang terus mengalir membasahi pipiku. Jika aku memilik mesin waktu, jika aku di izinkan untuk mengulang waktu aku berjanji aku tak ingin membuat Dikta seperti ini. Pradikta... aku bimbang. Aku mencintaimu namun di satu sisi aku juga mencintai Revan, suamiku pria yang selama lima tahun ini menjadi teman hidupku, menjadi imamku, menjadi sandaranku, dan menjadi panutanku.
######
Dikta
Aku memandangi kepergian Nadia sangat lama. ya tuhan memangnya aku sejahat itu kah dengan Nadia? Apa aku masih pantas berada di sampingnya? Tapi... aku benar-benar tidak bisa mencintai wanita lain selain dirinya. Senyumnya, rona merah muda di pipinya, rambut hitamnya, kedua mata cokelat tua nya, dan bibir tipisnya itu... segala yang berada di dalam dirinya adalah racun yang merusak sistem syarafku dan sistem otakku.
“Dikta,” panggil ibu membuyarkan lamunanku.
“Iya?”
“Ayo kita pulang!” ajak ibu.
Aku tersenyum canggung. “Ayo.”
Ibuku berjalan di sampingku. Aku lebih banyak terdiam tak ingin bicara karena perasaanku benar-benar tak karuan saat ini. Kenapa.. aku kembali bertemu dengan Nadia? “Nggak nyaka ya, kita ketemu Nadia di rumah sakit ini.” Kata ibu membuka percakapan di antara kami.
“I-I-iya.”
“Hampir delapan tahun ibu nggak ketemu dia, dia masih tetep kaya dulu ya? Cantik, manis, ramah, menyenangkan dan sopan.”
Aku tersenyum. Mungkin tersenyum miris. Ya dia tak akan pernah berubah sampai kapan pun, dia tetap malaikat bagiku.
“Andai kamu nikah sama dia,” ujar ibu ragu, “Mungkin, Ibu bakalan seneng banget punya menantu kaya Nadia Benar-benar menantu impian.”
Aku juga mau seperti itu namun... ini tak akan pernah terlaksana, Ibuku sayang. “Dia udah punya suami,” kataku.
Terlihat ibuku nampak shock dengan perkataan yang barusan aku lontarkan. “Serius?”
“Ya!” tuasku, “Dia udah nikah... lima tahun lalu.”
“Jadi, dia nikah umur 21 tahun?” tanya ibu nampak tak percaya.
“Mungkin.” aku mengangat bahuku.
“Sama siapa?”
“Teman seprofesianya,” sahutku. aku sangat menghindari ucapan kata ‘dokter’ karena aku sangat membenci dengan kata itu.
“Sayang sekali.” Ibu mendesah kuat.
“Kenapa?”
“Ibu kepengenya kamu nikah sama dia. dia baik, ibu suka sama dia saat pertama kali ngeliat dia waktu bagi rapot kelas sebelas. Mungkin dia satu-satunya temen perempuan kamu yang nggak aneh-aneh, dan nggak genit. Makanya, ibu seneng banget kalo bisa ketemu sama dia.”
“Manusia bisa berencana, tapi tuhan yang menentukan, Bu” kataku parau, “Dan... tuhan belum mengizinkan aku sama Nadia, Bu.”
#####
Revan
Aku nyaris dua jam mencoba mencari Nadia keseluruh pelosok rumah sakit, namun hasilnya nihil aku tak menemukan Nadia. Ia juga tidak mengakat telfonku, tidak membalas SMS, BBM juga Line ku. Dia kemana si? Saat aku melewati taman di belakang rumah sakit yang sangat sepi, telingaku menangkap suara tangisan seorang wanita. Aku melirik kearah taman itu terlihat Nadia sedang terduduk sembari menangis. Perasaan iba menghampiriku, kenapa dia menangis? Apa dia teringat tentang papanya lagi?
“Nadia.”
Ia mendongak. Terlihat maskaranya mulai luntur, kedua matanya sangat merah dan bengkak. Aku langsung berinsiatif memeluknya erat. Ia menangis tersedu-sedu di dalam dekapanku.
“Kamu kenapa?”
“Nggak apa-apa.” Ia mengeleng. Aku merasa ada yang aneh dengan Nadia tapi apa? dia kenapa?
“Serius?”
“Aku cuman lagi keinget papa,” ujarnya lirih.
“Kenapa?”
“Nggak ada yang kamu sembunyiin dari aku kan?” tanyaku, “Aku nggak suka di bohongin loh!”
“Nggak.”
“Serius?”
“Dua rius.”
“Coba cerita kamu kenapa.” Bujukku.
Nadia terdiam sejenak. ia berusaha menyekat air mata yang terus mengalir dari sudut-sudut kedua matanya itu. “Tadi, aku lewat ruang ICU. Terus, aku liat seorang gadis kecil nangis karena... papanya yang dirawat di ruangan itu meninggal dan iini... bikin aku inget sama papa.”
Aku mendekapnya erat. Nadia benar-benar menangis sekarang dan selama aku menikah denganya baru kali ini aku melihat dia menangis seperti ini. Sebegitu besarnya kah arti seorang papa baginya? Dia benar-benar mencintai papanya hingga kehilangan papanya begitu menyakitkan baginya? Apa begitu membuatnya terluka karena dia kehilangan papanya?
“Jangan Menangis... aku nggak suka liat kamu nangis, sayang.”
“Aku kangen Papa!” ulangnya.
“Ada aku disini,” bisiku, “Aku nggak akan ninggalin kamu... sayang.”
*****