Masa Kecil

1925 Kata
Delapan belas tahun yang lalu. Dari dalam mobil, Kean menatap rumah mungil yang menjadi tempat perhentian perjalanan mereka. Rumah kayu yang berada di sebuah pinggiran desa terpencil dengan banyak pohon besar di sekitarnya. Sementara itu dari kursi depan, Widya menoleh pada kedua anaknya yang duduk di kursi belakang, bersama tumpukan kardus. Tersenyum lebar melihat putri bungsunya yang sedang tertidur pulas di atas pangkuan Kean. Sesaat wanita itu mengerling penuh arti pada rumah tua yang tampak tak terawat, di depannya. Rumah yang akan menjadi tempat tinggal mereka nantinya. “Kita sudah sampai, ayo turun!” ajak Widya dengan senyum yang memancarkan kehangatan.Bergegas keluar dari mobil sembari menenteng tas besar. Kean meregangkan kedua tangan, memutar tubuhnya ke kiri dan ke kanan untuk melakukan peregangan. Akhirnya setelah beberapa jam duduk terjepit di antara banyak barang di dalam mobil van tua sewaan mamanya, Kean bisa bernapas lega. Diguncangnya tubuh Erin, adik perempuannya yang baru berumur lima tahun. Gadis kecil itu mengerjap-ngerjapkan matanya yang cantik, lalu duduk dan menyandarkan kepala di bahu sang kakak. “Ayo, keluar dari mobil! Inilah istana kita yang baru, kalian tidak mau lihat?” tanya Widya dengan mata berbinar. Wanita itu membuka pintu belakang mobil, sedikit memaksa kedua anaknya untuk segera keluar dari van. Kean dan Erin berdiri mematung, melihat rumah yang lebih layak disebut pondok kecil. Sebuah bangunan yang amat sangat sederhana, dengan dinding dan lantai papan. Halamannya dipenuhi dengan daun kering yang berserakan hingga ke teras. Sementara bagian belakang rumah dipenuhi banyak pohon besar, membuatnya terlihat seperti hutan lebat. Kedua gadis kecil itu menelan ludah, memaksakan diri tersenyum, Menyadari rumah yang akan mereka tempati merupakan sebuah pondok kecil yang telah lama kosong dan tidak terawat. Di saat Kean asik memindai dan menilai tempat tinggal baru mereka, Widya sibuk membantu beberapa orang laki-laki mengangkut perabot yang tidak seberapa ke dalam rumah. Sementara itu Erin memeluk erat lengan Kean sambil menggendong boneka kain miliknya yang sudah butut. “Kalian suka?” tanya Widya yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang kedua anak kecil itu. Kean menganggukkan kepala meskipun enggan. Terbayang di pelupuk matanya, bagaimana mereka bertiga harus tinggal di pondok tua tersebut. Terlebih lagi kalau mamanya sedang tidak di rumah, pasti rasa takut akan menghantuinya dan Erin. Kean pikir, tidak ada orang yang mau tinggal di rumah tua dan sepi seperti ini, apa lagi letaknya sangat jauh dari tetangga. Rumah papan sederhana yang dikelilingi kebun dengan banyak pohon karet di sekitarnya. Namun, apa daya, dirinya tidak bisa menolak, karena hanya inilah kemampuan sang mama, mencarikan tempat tinggal untuk kami bertiga. Gadis kecil itu melangkahkan kaki, membimbing Erin masuk ke dalam, sementara Widya membayar ongkos sewa van. Keduanya anak kecil itu masih berdiri memperhatikan langit-langit rumah yang dipenuhi sarang laba-laba. Menutup hidung dan mulut dengan tangan, khawatir kemasukan debu yang beterbangan. Bau apek menyebar, menusuk penciuman mereka. Setelah puas melihat bagian dalam rumah, Kean memberanikan diri mengajak Erin berkeliling. Melihat-lihat lingkungan sekitar tempat tinggal mereka yang teduh, walaupun sebenarnya bisa dikatakan suram. Pohon karet tumbuh besar dan berjejer rapi di kebun belakang rumah mereka, entah milik siapa. Di samping kiri dan kanan pun tidak jauh berbeda. Sejauh mata memandang, hanya pepohonan besar dan tinggi yang tampak, tanpa ada satu hunian penduduk pun yang berdekatan dengan rumah mereka. Widya yang masih sibuk berkutat mengurus barang bawaan mereka, tidak menghiraukan apa yang dilakukan oleh kedua anaknya. Asalkan Erin diam dan tidak mengganggu pekerjaanya, wanita itu tidak peduli. Untuk Widya, tugas menjaga Erin adalah pekerjaan Kean, putri sulungnya. Tugas yang tanpa di sadari telah menjadi kewajiban anak kecil itu, tepat setelah dirinya mengambil alih peran sebagai tulang punggung keluarga, setelah sang suami meninggal dunia. Puas berkeliling, Kean kembali ke dalam, duduk di ruang tamu yang lantainya masih dipenuhi debu. Menemani Erin bermain sambil melihat mamanya membersihkan seluruh bagian rumah, menyapu lantai dan mengepelnya berulang kali. Tidak butuh waktu lama untuk Widya membersihkan seluruh rumah, karena tempat yang akan mereka tinggali saat ini hanya sebuah pondok kecil dengan ruang tamu, satu kamar tidur, dan dapur kecil. Mereka juga tidak membawa perabot apa pun, hanya kasur tipis, pakaian di dalam koper, serta perlengkapan memasak dan peralatan dapur lainnya. “Ma, aku lapar,” adu Kean pada Widya yang sedang membawa tas berisi pakaian ke dalam kamar.Berniat menatanya dalam sebuah keranjang kecil. Widya mengangkat wajah. “Anak kesayangan, Mama lapar?” tanyanya sambil membelai rambut putri sulungnya. “Kean bisa masak mie?” tanyanya lagi. Kean mengangguk. “Tapi, kompornya …?” tanya gadis kecil itu, berharap sang mama mengerti akan kata-katanya yang menggantung. “Mama pasang dulu selang gasnya, nanti Kean masak mie untuk kita bertiga. Airnya ada di dalam tempayan kecil dekat pintu dapur,” balas Widya menggiring Kean, mengikuti langkahnya menuju dapur. “Kak, Erin juga mau ma’em,” ujar si bungsu sembari berlari mengikuti langkah ibu dan kakaknya. "Ayo, ke dapur, temani Kakak masak mie!" ajak Kean, membimbing adiknya menuju dapur. Hidup susah yang mereka rasakan, membuat Kean harus dewasa sebelum waktunya. Di usia tujuh tahun dirinya sudah harus menggantikan peran Widya mengasuh Erin, tepatnya sejak sang papa meninggal dunia setahun yang lalu. Keadaan juga yang memaksa wanita itu menjadi tulang punggung keluarga, membuat dirinya sering meninggalkan Kean dan Erin berdua saja di rumah. Sejak pagi hingga malam hari kedua anak kecil itu harus bisa merawat diri mereka sendiri. Itulah sebabnya Kean sudah tidak canggung lagi dengan pekerjaan rumah tangga. “Kalau sudah selesai masak mie, keluarkan nasi yang ada di dalam rice cooker. Kita makan sama-sama!" perintah Widya pada Kean setelah menyalakan api kompor dan meletakkan panci berisi air untuk memasak mie. Kean mengangguk kecil, mengambil alih pekerjaan selanjutnya, memasak mie untuk mereka bertiga. Mengabaikan Widya dan Erin yang masuk ke dalam kamar. Meninggalkan dirinya seorang diri di dapur.Sambil memasak, sekali lagi gadis kecil itu mengedarkan pandangan pada sekeliling rumah. Bulu kuduknya bergidik ngeri, merasakan suasana suram karena minimnya pencahayaan. Meskipun rumah itu ada penerangan listrik, tetapi pijar lampunya yang tidak seberapa terang,membuat ruangan terasa remang-remang. Beranikah aku dan Erin berada di rumah ini berdua saja, saat ditinggal Mama pergi bekerja nanti? Tinggal di sini, seperti berada di pinggiran hutan, batin Kean. Resah dengan keadaan rumah barunya yang terasa sangat menyeramkan. Gadis kecil kembali mengingat sepanjang perjalanan mereka ke rumah baru ini. Dari persimpangan desa, menuju rumahnya sekarang, hanya ada beberapa hunian yang ditinggali warga, itu pun dengan jarak berjauhan. Jangankan bermimpi memiliki tetangga di sebelah rumah, orang yang lalu lalang di depan rumah mereka pun, bisa di hitung dengan jari. Sejak mereka tiba hingga menjelang sore seperti ini, belum ada satu orang pun yang melintas di depan rumah mereka. “Sudah masak, Kean? Erin sudah tidak sabar ingin makan!” teriak Widya dari kamar, membuat gadis kecil itu tersadar dari lamunannya. Mengecilkan api kompor agar air yang sudah mendidih tidak cepat mengering. “Sebentar lagi, Ma,” jawab Kean, sambil membuka bungkus mie instant dan memasukkannya ke dalam panci. Perkara memasak mie dan nasi sangat mudah untuk gadis kecil itu, karena memang sudah menjadi tugasnya setiap hari. Selain menjaga Erin, masalah memasak, dan membersihkan rumah sudah menjadi kewajiban tak tertulis untuknya. Semua pekerjaan itu dapat dilakukannya dengan baik tanpa ada kesalahan. “Sudah, Ma. Ayo makan!” ajak Kean setengah berteriak dari dapur. Meletakkan panci berisi mie instant dan rice cooker di tengah ruang dapur yang sudah dialasi tikar plastik kecil. Widya keluar kamar sambil menggendong Erin, meletakkan anak itu di atas tikar kecil, tempat di mana mereka akan duduk makan bersama. Wanita itu juga membantu putri sulungnya menyediakan piring makan dan air minum, setelah itu barulah mereka duduk bertiga, menikmati nasi dan mie instant yang dijadikan lauk. Hidangan sederhana, tetapi terasa sangat mewah. “Besok Kean dan Erin tinggal di rumah. Mama mau ke pasar, belanja kebutuhan dapur,” ucap Widya tanpa melihat pada Kean dan Erin. Wanita itu menikmati makanannya dengan sangat lahap tanpa melihat perubahan raut wajah kedua putrinya. Raut wajah cemas karena akan ditinggalkan di rumah baru yang suram tanpa pengawasan orang tua. Kean tergugu sesaat, sebelum akhirnya memberanikan diri mengeluarkan keluhan. “Ma, Kean takut tinggal berdua dengan Erin,” lirih gadis kecil itu dengan wajah tertunduk. Entah mengapa, dirinya merasa enggan ditinggalkan oleh Widya, padahal sudah sejak dulu, terbiasa ditinggalkan oleh wanita itu tanpa ada rasa takut. Di rumah lama mereka, dirinya selalu merasa aman, meskipun setiap hari sang mama tidak pernah ada di rumah. Tempat tinggal mereka di salah satu rumah susun yang padat penghuni, tidak pernah membuatnya merasa takut. Jauh berbeda dengan rumah mereka yang sekarang, serasa tinggal di tengah hutan. Widya meletakkan piring nasinya yang telah kosong, memandang Kean dengan tatapan yang sulit diartikan. “Kean, harus berani. Jaga Erin baik-baik dan jangan keluar rumah sebelum Mama pulang!” ucapnya tegas, melunturkan keberanian anak kecil itu untuk membantahnya lagi. “Mama cuma punya Kean ,yang bisa diandalkan untuk menjaga Erin. Mulai sekarang kalian berdua tidak boleh manja dan jadilah anak yang mandiri. Tidak ada orang yang bersedia menolong kita, kalau bukan diri sendiri. Pindah ke mari tidak berarti harus mengubah kebiasaan kita. Kean dan Erin akan tetap seperti dulu, diam di rumah setiap hari, menunggu Mama pulang!” Ketus Widya. Tangannya mengelus rambut Erin yang sedang menikmati makanan dengan lahap. Entah apa yang ada di pikiran wanita itu, sedikit pun tidak mau berusaha memahami ketakutan kedua putrinya. Mata sendu yang dulu selalu memancarkan kasih sayang, kini berkabut, seakan menyimpan kemarahan. Kean menunduk, hatinya bergejolak ingin membantah kata-kata sang mama, tetapi bibir mungilnya tidak mampu berucap sepatah kata pun. Penolakan Widya telah berhasil mengunci rapat mulutnya. Walaupun jauh di dalam hati, gadis kecil itu bertanya-tanya. Tidakkah Widya iba padanya dan Erin? Mereka bertiga baru saja pindah ke tempat sunyi ini, tidak ada warga yang mereka kenal. Jika terjadi sesuatu padanya dan sang adik, tidakkah mamanya khawatir? "Kenapa Kean jadi penakut begini? Biasanya Mama tinggal pergi bekerja seharian, tidak masalah. Malah Kean terlihat senang bisa bermain sepanjang hari bersama Erin!" tanya Widya sembari membelai rambut putri sulungnya, dengan suara yang mulai melembut. Sejujurnya Widya tahu apa yang ada di dalam pikiran Kean, dan apa yang ditakutkan anak sulungnya itu. Namun, bukankah cukup aneh, melihat anak yang selalu berani, tiba-tiba menjadi penakut hanya karena mereka tinggal di sebuah desa terpencil seperti ini? Wanita itu tidak ingin tempat tinggal mereka yang sekarang menjadi alasan untuk kedua anaknya bermanja-manja. Lupa pada cara hidup mereka yang prihatin. Menurutnya tidak ada waktu untuk Kean merasa takut, apalagi ditengah kesulitan dirinya mencari nafkah. Ia membutuhkan keberanian gadis kecil itu untuk membantunya menjaga Erin di rumah. "Tempat ini menyeramkan, Ma. Terlalu sepi, tidak ada teman bermain, dan hanya pohon besar yang tampak di mana-mana," sahut Kean pelan, masih dengan wajah menunduk. Meskipun belaian tangan sang mama terasa lembut di pucuk kepalanya, tetap saja rasa takut akan kemarahan wanita itu tidak pudar. Kean sadar, ibunya sangat tidak suka dengan anak yang manja, sehingga dirinya pun tidak berani merengek seperti anak kecil pada umumnya. gadis kecil itu juga mengerti kalau dirinya adalah tumpuan sang mama untuk menjaga Erin serta membantunya melakukan beberapa pekerjaan rumah. Menangis dan merajuk bukan ciri khasnya sebagai anak sulung. Namun, salahkah dirinya, berharap Widya mau menuruti keinginannya sekali ini saja? "Tidak ada yang perlu ditakutkan, Kean. Kunci saja semua pintu dan jendela, saat Mama tidak ada di rumah," sahut Widya dingin. "Tempat ini justru sangat bagus dan tenang. Tidak akan ada yang memarahimu dan Erin, ketika kalian berteriak saat bermain nanti," lanjut Widya, sembari mencuci tangannya. Kean diam, tidak kuasa lagi membantah perkataan sang mama. Seperti apa pun usaha gadis kecil itu menjelaskan apa yang hatinya rasakan, percuma saja. Widya tidak akan pernah mengerti, karena wanita itu sudah terbiasa dengan kedewasaan yang ditunjukkan anak-anaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN