Bab 1
“Sakila buatkan Jusnya sekarang.”
“Iya Ma.”
“Sakila celana dalam aku yang baru udah dicuci belum?”
“Udah Mil, ada di tempat setrikaan.”
“Sayang, sarapan aku mana? Sekalian laptopnya.”
“Bentar Mas, aku lagi buatin roti bakar buat Mili.”
Sakila selalu mengawali paginya dengan kesibukkan yang sangat luar biasa, mengurus t***k bengek urusan keluarganya, mulai dari mertua, adik ipar dan suaminya.
Semuanya dia lakukan sendirian, tak ada pembantu karena dia harus mengirit-irit uang yang dia terima dari suaminya yang terkadang minus.
Sakila mengusap peluh setelah dia baru selesai memasak untuk suami tercinta, Bagaskara.
Usia pernikahan mereka sudah berjalan lima tahun, sayangnya sampai detik ini mereka belum juga dikarunia momongan.
Tak jarang Sakila harus menahan sedih ketika mendengar beberapa kenalannya yang sudah hamil dan memiliki banyak anak, sementara dirinya satu pun tidak ada.
Belum lagi cibiran ibu mertuanya yang berlidah tajam dan sering mengatainya mandul.
Padahal, menurut dokter tidak ada masalah apa pun, hanya belum diberi saja oleh Yang Maha Kuasa.
“Sakila!” Lamunan Sakila terpecah ketika mendengar teriakan Ibu mertuanya yang bernama Hanifa, yang memuntahkan lagi jus yang dia minum barusan.
“Ada apa, Ma?” tanya Sakila yang harus selalu sabar menghadapi sikap Ibu Mertuanya yang sangat luar biasa itu.
Sakila berjalan mendekat ke arah meja makan, dimana Ibu mertua, suami dan adik iparnya tengah menikmati sarapan yang dia buat. Sebelumnya, ketika Hanifa belum meminum jusnya mereka semua sedang tertawa, bercanda dan mengobrol santai, begitu sangat menikmati pagi ini, tidak seperti Sakila.
Setiap pagi, ketika mereka sedang sarapan, Sakila masih sibuk membereskan dapur, kalau dia mau ikut nimbrung sarapan, tiba-tiba mereka bubar dan hanya menyisakan makanan sisa saja yang terkadang hanya tinggal kuah atau bumbunya saja.
Hanifa memandang ketus Sakila, terlihat begitu jengkel pada menantunya tersebut. “Kamu tuh gimana sih, jus sehat! Ini malah kebanyakan gula, kamu mau bikin Mama diabetes apa?”
Lagi-lagi, Sakila hanya dapat menghela nafas pelan. Dan kembali bersabar. Dia melihat suaminya Bagas, tampak tak peduli dengan ocehan ibunya itu. “Kan Mama selalu bilang jangan terlalu polos, beri sedikit gula.”
“Tapi ini gulanya kebanyakan!” sahut Hanifa yang semakin meninggikan nada suaranya.
Melihat Kakak iparnya kembali membuat ulah dan membuat Ibunya marah-marah membuat Mili merasa jengah, dia pun tak tahan untuk melemparkan kata-kata lebih ketus dari yang dikatakan oleh ibunya. “Makanya belajar, jangan bikin masalah aja, udah tau punya mertua banyak maunya, ini mah malah males-malesan.”
Seketika Sakila merasakan darahnya melesat naik ke ubun-ubun. Mili ini tidak pernah sekalipun memanggilnya dengan panggilan yang lebih sopan, dan kata-katanya tak kalah tajam dari ibunya, bahkan lebih sering menjadi kompor dan membuat suasana semakin memanas.
“Emang dia ini menantu pemalas, nggak ngertilah kenapa Kakakmu bisa mau sama dia, mana mandul lagi, pengangguran juga.”
Hanifa lagi-lagi mengungkit soal Sakila mandul dan pengangguran. Demi Tuhan, Sakila rela melepaskan segala kenyamannya agar dia bisa fokus menjadi seorang istri yang bisa fokus mengurus suami dan rumah tangganya. Tapi kenapa malah balasan seperti ini yang dia dapat dari Ibu Mertuanya.
Sakila kembali menarik nafas dalam-dalam, meski sebenarnya rasa sesak di d**a sudah nyaris tidak dapat dia tahan lagi. Terlebih Bagas hanya diam saja, tidak pernah sekalipun membela dirinya.
“Tidak pernahkah sekalipun Mama melihat apa yang sudah saya lakukan selama ini? Mengurus rumah ini, menyiapkan segala sesuatunya dari mulai pagi buta...” Sakila tak lagi mampu menahan diri untuk diam saja, dia harus membela dirinya sendiri meski dengan suara bergetar hebat. “Dan lagi, saya tidak mandul, semuanya hanya menunggu waktu, saya melepaskan pekerjaan saya karena saya...”
“Sudah cukup!” Tiba-tiba saja Bagas bersuara memotong perkataan Sakila. Membuat semua orang menatap ke arahnya dengan kening berkerut. “Cuman soal jus aja repot, tinggal bikin lagi aja kan gampang?”
“Sudah tidak ada buah-buahan lagi, Mas,” sahut Sakila dengan cepat dan menatapnya dengan mata menyipit.
“Ya beli lah,” ucap Bagas dengan ketus dan terdengar jengekl.
Kali ini Sakila tidak lagi ingin diintimidasi oleh keluarga ini, sudah cukup dia hanya dapat bersabar, mengalah dan mengiyakan apa pun yang suami, serta ibu mertuanya katakan.
Sakila berpikir, sudah saatnya dia melawan dan mencelikkan mata mereka semua, bahwa mereka seharusnya bersyukur bahwa ada dirinya di rumah ini. Bukan malah dihina dan direndahkan seperti ini.
“Uangnya mana, Mas? Beli buah-buahan itu harus pakai uang,” kata Sakila tak gentar.
Seketika Bagas menatapnya dengan mata menyipit tajam. “Uang bulanan, kamu pakai apa saja? Masa beli buah saja tidak mampu.”
“Heh.” Sakila tertawa miris. Seperti orang gila, dia membuat semua orang tampak ketakutan dengan caranya tertawa sambil menitikkan air mata. Lalu Sakila kembali menatap mereka semua secara bergantian. “Uang bulanan yang kamu berikan itu cuman dua juta lima ratus, kamu pikir uang segitu bisa sampai mana? Aku harus bayar uang listrik yang suka membengkak, air, wifi, belum lagi masak harus selalu ada daging, buah-buahan harus komplit, belum lagi aku harus bayarin kalau Mama sama Mili adikmu itu suka tiba-tiba COD barang yang harganya selalu diatas seratus ribu, kamu pikir uang segitu cukup? Minus Mas...”
“Halah, kamunya aja yang nggak bisa ngatur keuangan yang bener,” sahut Hanifa menyepelekan perkataan Sakila dan malah memelototinya dengan tatapan mengancam.
“Mama, Mama kenapa masih menyuruh Sakila membayar COD’an Mama? Bukannya Bagas udah kasih Mama uang bulanan lebih dari yang biasa Bagas kasih dan cukup besar, kamu juga Mili.”
Keterkejutan Bagas tentu saja membuat Sakila jauh lebih terkejut darinya, selama menikah dia tidak pernah diberitahu oleh Bagas bahwa suaminya itu suka memberi uang bulanan lebih untuk Hanifa dan juga Mili.
“Mas... Mas masih kasih uang bulanan lebih buat Mama dan Mili? Bukannya mereka udah Mas kasih uang bulanan yang sudah kita sepakati dan itu jumlahnya lumayan, dan Mas masih kasih lagi ke mereka?”
Seketika Bagas diam tak berkata-kata. Sialnya, apa yang dikatakan oleh Sakila semua benar adanya. Dia membisu seperti seorang pria dungu.
“Wow.” Sakila menggeleng tidak percaya, ia menatap nanar diiringi tetesan air mata yang jatuh tak tertahankan, rasanya amat sesak dan menyakitkan.
Sebelumnya Sakila dan Bagas sepakat memberi uang bulanan untuk Hanifa dan Mili, bahkan Sakila rela tidak meminta lebih karena dia tahu penghasilan suaminya itu serba pas-pasan, tapi kalau kenyataanya seperti ini, apakah Sakila masih bisa bertahan?
Sakila merasa dikhianati oleh suaminya, dia mati-matian mengirit dan menahan diri untuk tidak membeli apa pun yang dia mau, menahan diri konsultasi ke dokter kandungan demi memuaskan keinginan mereka untuk punya keturunan, bahkan nyaris tidak pernah skin care’an, tapi sekarang...
Dia baru tahu kalau uang suami ternyata sudah habis untuk Ibu Mertua dan adik Iparnya yang doyan jajan dan foya-foya.
Sakila melepaskan celemek berwarna hitam yang dipakainya, lalu diletakkannya dengan kasar di atas meja makan.
“Oke.” Sakila menatap Hanifa dengan tajam dan berkata, “Kalau Mama merasa tidak puas dengan pengaturan keuangan dari Sakila, dan jus Sakila yang rasanya selalu salah dimata Mama, silahkan Mama atur semuanya sendiri, silahkan Mama buat sendiri jus yang sesuai dengan selera Mama, dan kamu Mili, silahkan cuci celana dalam kamu sendiri yang kuning-kuning itu, jangan sampai ada seorang bujang yang tahu kejorokan kamu itu.”
Usai mengatakan hal itu, Sakila membuang tatapannya ke arah Bagas. “Dan kamu, urus semua kebutuhan kamu sendiri, aku tidak sudi lagi jadi pembantu di rumah ini! Aku istri kamu Mas, aku juga berhak bahagia.”