Sakila membalikkan tubuh pria yang memunggunginya. Alangkah terkejutnya Sakila. Betapa kenyataan ini kembali menusuk-nusuk hatinya hingga hancur berkeping-keping.
Dikhianati saat masih pacaran rasanya saja sudah sangat menyakitkan, apalagi ini... Sekarang dia harus merasakan kembali sakitnya dikhianti oleh suaminya sendiri, suami yang selalu dia banggakan, suami yang dia yakin tidak akan bermasalah dengan urusan kesetiaan.
Pandangan Sakila mengabur, seiring dengan air mata yang sudah menumpuk di kedua bola matanya, ketika ia kembali merasakan kekecewaan. "Mas Bagas?"
Ingin Sakila menyangkal apa yang dia lihat, namun kenyataan ini terlalu nyata dan sulit untuk disangkal olehnya. Pandangan Sakial beralih pada wanita berpakaian minim yang kini membuang mukanya ke arah lain, menghindari tatapa Sakila.
"Sejak kapan, Mas? Sejak kapan?" lirih Sakila dengan suara bergetar.
Bagas mendadak bisu, dia gugup dan tidak bisa berkata-kata. Wajahnya memutih seperti hantu, namun bukan itu yang membuat Bagas sangat tidak menyangka adalah keberadaan Sakila di tempat ini, tempat yang seharusnya tidak pernah didatangi oleh istrinya yang polos ini.
Lalu dia terperanjat bangun dari lamunannya menatap Sakila dengan kening berkerut tajam dan perlahan amarahnya pun terbit. "Kamu... Kenapa kamu ada di sini?" ujarnya yang semakin pucat di depan Sakila, dia seperti pengecut.
"Jawab aku Mas, sejak kapan kamu kayak gini?" sahut Sakila lebih cepat. Sorot matanya kemudian menatap wanita berambut panjang yang bersembunyi di belakang Bagas. "Dan wanita jalang itu."
Bagas turut menatap wanita yang ada di belakangnya. Sorot matanya seketika memperlihatkan kemarahan yang teramat sangat pada Sakila dan jari telunjuknya teracung penuh ancaman padanya. "Jaga mulutmu, Sakila!"
Karena merasa terpojok, tanpa tedeng aling-aling Bagas langsung mencengkram bahu Sakila, menyeret wanita itu keluar dari club dengan kasar.
"Mas, Mas!" Meski dengan langkah terseret-seret Sakila mencoba melepaskan diri dari cengkraman Bagas.
Bang!
Suara itu berasal dari Bagas yang melemparkan asal tubuh Sakila hingga membentur tiang listrik lalu tersungkur ambruk di jalanan.
Terasa sakit dan kekuragan oksigen, wajah Sakila seketika memucat, ia merintih kesakitan menahan nyeri yang tak terhankan.
Melihat istrinya yang merintih kesakitan tidak serta membuat Bagas merasa iba, dia hanya berjalan mendekat, berjongkok di depannya mencoba mengintimidasi Sakila dengan kata-katanya yang tajam serta menyakitkan. "Kamu pikir aku bisa bersabar hidup dengan wanita mandul kayak kamu? Kamu pikir kamu layak?"
Seketika kata-kata itu meresap dan benar-benar membuat Sakila menderita, matanya menitikkan air mata, tidak hentinya memandang Bagas dengan tidak percaya.
Sakila putus asa, merasa dunianya runtuh, ia berusaha bangkit dan membela diri. "Aku nggak mandul, Mas... Semua tentang waktu dan tidak seharusnya kamu kayak gini."
Bagas menatap Sakila dengan menyipitkan mata. "Nggak usah menggurui aku Sakila, kamu sendiri juga nggak bisa apa-apa, satu hal yang aku sesali adalah menikahi kamu."
Jadi ini buah ksesetiaannya selama ini, ini juga buah pengorbanan Sakila selama ini. Air s**u dibalas air tub ternyata memang benar adanya, menyakitkan dan tidak layak mencapatkan maaf darinya.
Dalam getirnya, Sakila melengkungkan tawa seiring dengan matanya yang kembali menitikkan air mata. "Benar... Seharusnya kita tidak menikah, bertemu denganmu nyatanya malah membawa sial untukku, terlebih keluargamu, kamu pikir kalian layak untukku? Kalian orang rendahan tetaplah rendahan..."
Ketika kata-kata terakhir terucapkan, Bagas memegang pergelangan tangan Sakila, menariknya dan telapak tangannya meahan Sakila di bagian leher.
Wajah Sakila seketika memerah karena ia merasa kesakitan dan juga kekurangan oksigen.
"Gghh..." Sakila mencoba membuka jari-jari Bagas dengan tangannya, tetapi tenaganya tidak sebanding dengan Bagas. "Lepas... Lepaskan aku, Mas."
Bagas berbicara dengan mengeratkan giginya. "Berani-beraninya kamu berbicara seperti itu, Sakila."
Ketika melihat Sakila diseret dengan kasar oleh suaminya, tentu saja Satria tidak tinggal diam. Amarahnya terbit, melihat wanita itu diperlakukan semena-mena oleh pria yang ia sebut sebagai suaminya.
Satria keluar dari club setelah ia memberikan pelajaran pada wanita yang tadi bersama dengan Bagas. Hatinya semakin memanas ketika melihat Sakila tersungkur tak berada di depan Bagas dan pria itu kini tengah mencekiknya.
Brengsek!
Satria berjalan cepat menerjang tubuh Bagas dengan tendangannya yang mematikan. Tubuh Bagas terseret, tersungkur jauh dibawah trotoar jalan, dia terbatuk dan merintah kesakitan ketika tendangan Satria tepat mengenai ulu hatinya.
Bug!
Sebelum Bagas menyadari apa yang terjadi, Bogem mentah milik Satria sudah mendarat tepat di pipi kanan Bagas, membuat darah seketika mengucur dari lubang hidung serta sudut bibirnya.
"Beraninya kamu sama perempuan," kata Satria dengan menggertakkan gigi, suaranya dingin seperti es, hanya mendengarnya saja Bagas gemetaran. Dan dia kembali mendaratkan pukulannya di wajah Satria sebelum beberapa orang di sana menjauhkannya dari Bagas.
Pada saat ini, Sakila sangat terkejut. Kedatangan Satria dan bagaimana cara pria itu memberikan pelajaran pada Bagas sungguh membuatnya tercengang.
Melihat Bagas sudah terkapar tak berdaya, Sakila dengan sisa tenaganya dia bangkit berdiri berjalan mendekat. Satria melihat hal itu segera berjalan untuk menopang tubuh Sakila.
"Kita ke rumah sakit," ujar Satria. Dia melingkarkan tangan di tubuh Sakila, membuat wanita itu sedikit kaget dan menatap tangan Satria yang melingkar di bahunya.
Sakila tidak berkata-kata, dia hanya diam dan melihat saja kondisi Bagas yang sudah tidak berdaya, ada rasa ingin menolongnya, merasa tidak tega karena bagaimana pun Bagas sudah mendampinginya selama enam tahun ini.
Akan tetapi, ketika sekelebat ingatan tentang bagaimana Bagas sudah berselingkuh dan bagaimana Bagas merendahkan dirinya, rasa sakitnya kembali terasa menyesakkan d**a.
Sakila terdiam sesaat lalu berkata dengan perlahan. "Aku harus bawa dia ke rumah sakit."
"Apa kamu yakin?" sahut Satria. Satria merasa keputusan Sakila cukup mengejutkannya.
Sakila menarik nafas panjang. Dia berusaha meyakinkan diri meski binar matanya tidak dapat menutupi kesedihan serta kekecewaannya. "Bagaimana pun dia itu suamiku juga, Sat."
"Oke..." Satria mengangguk-angguk. Dia menutupi pandangan Sakila dengan tubuhnya, membuat Sakila menengadah saat menatapnya. "Aku akan bantu bawa suami kamu yang b******k ini ke rumah sakit."
Belum sempat Sakila mengiyakan perkataan Satria, tiba-tiba saja dia merasa semuanya menjadi buram dan memenuhi pandangannya. Sakila merasa aneh ketika tubuhnya terasa ringan dan dalam sekejab pandangannya menjadi gelap lalu dia tidak tahu lagi apa yang kemudian terjadi.
Ketika Sakila membuka mata secara perlahan ia merasa tidak begitu asing di tempat ini. Tempat yang sepertinya dia pernah ada di sini.
"Udah bangun?"
Sakila mengerejap terbangun dari lamunannya, ketika ia menoleh ke belakang ia melihat Satria tengah berdiri bersandar di kusen pintu. Kedua tangannya di masukan ke dalam saku celana dan dia terlihat begitu tampan dalam celana chino serta kemeja putih polos Terkutuklah pria ini karena begitu mudah membuat Sakila terhanyut dalam pesonanya, padahal ia luar biasa membencinya.
Sakila segera menjawab, berusaha menafikkan efek Satria. "Kenapa aku bisa ada di sini?"
"Ya karena kamu pingsan... Suami kamu jelas nggak akan bisa ngurusin kamu, jadi aku bawa kamu ke sini," jawabnya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar ini. "Kayaknya nggak perlu aku deskripsikan juga ini tempat apa." Kemudian, Satria melangkah lebih dekat sehingga Sakila spontan mundur, jantungnya mendadak berdetak cepat.
Satria hanya tersenyum. "Aku senang kamu kembali ke tempat ini lagi."
Sakila tidak bereaksi, otaknya mencerna semua yang dikatakan oleh Satria.
"Aku pergi," sahut Sakila. Dengan cepat dia bangkit berdiri, namun sebelum dia benar-benar pergi Satria menahannya.
Pergelangan tangannya terasa nyeri ketika Satria mencengkramnya dengan erat. "Aku tidak akan membiarkan kamu pergi begitu saja."
"Lepas!" Geram Sakila sembari menghempaskan tangan Satria darinya.
Bukannya melepaskan cengkramannya, Satria justru menarik Sakila dan membuat wanita itu seketika jatuh dalam pelukannya.
Satria mencium wangi rambut dan aroma tubuh Sakila yang sejak dulu tidak pernah berubah, wangi yang selalu dia rindukan selama ini. Dia semakin mengeratkan pelukannya ketika Sakila mencoba melepaskan diri darinya.
"Aku tidak akan pernah melepaskanmu lagi, karena sejak awal kamu adalah milikku, selamanya milikku."