Bab8

1126 Kata
Sakila memandang Bagas yang terduduk lesu sambil memegangi buku tabungan miliknya. Suaminya itu terlihat begitu sangat sedih, tidak terlihat semangat. Entah apa yang terjadi padanya, namun Sakila mencoba untuk mendekat dan meredam kesedihannya. "Kenapa Mas?" tanya Sakila dengan nada lembut. Bagas menarik nafas panjang, wajahnya masih menampakkan raut ketidakberdayaan. "Maafin aku ya, belum bisa jadi suami yang baik buat kamu, aku berharap ada kenaikan gaji, tapi ternyata aku salah... Maaf ya." Sakila yang sejak awal sudah menyiapkan diri menerima segala tantangan hidup dalam pernikahan termasuk dalam hal ekonomi, sudah sangat siap ketika mendengar hal ini keluar dari mulut suaminya. Ia sudah sangat berlapang d**a jika harus hidup sederhana, asal semuanya dihadapi berdua. "Nggak papa Mas, nggak masalah, uang dari kamu bisa aku atur-atur dengan baik, kok." Seketika rona bahagia muncul di wajah Bagas. Tangannya mengusap lembut wajah Sakila sambil tersenyum, dan berkata dengan nada yang sangat lembut. "Makasih ya, Sayang..." *** Jika mengingat saat itu, demi Tuhan Sakila merasa menjadi manusia paling bodoh sedunia, bagaimana tidak, kebohongan Bagas sungguh di luar nalar, dia mengaku tidak naik jabatan, gajinya pun tetap bahkan tidak lebih dari sepuluh juta, bahkan Bagas masih memberikan uang bulanan lebih untuk adik dan juga ibunya. Wah... Sakila menggeleng tidak percaya, ia menggeleng-geleng dengan mulut menganga lalu mengusap wajah frustasi. Melihat ekspresi Sakila yang berubah drastis menggeletik Satria untuk kembali mengomporinya. "Jadi, kamu bahkan nggak tau kalau Bagas naik jabatan dan bekerja di salah satu anak perusahaan ayahmu?" Rasanya menelan ludah pun amat sangat sulit, Sakila terdiam menahan ledakan emosi yang mulai naik ke ubun-ubun. "Dan kalian bungkam untuk hal-hal yang seperti ini," ucapnya dengan mata melotot ke arah Satria. "Gimana mau kasih tau kamu, kamu sendiri saja menutup diri, bahkan sampai detik ini pun kamu masih membenci aku," sahut Satria ringan. Spontan Sakila bangkit berdiri, kali ini Sakila sudah tidak dapat menahan diri lagi. Kemarahannya kian menjadi tatkala Satria terlihat acuh tak acuh pada dirinya. Padahal Sakila menuntut jawaban yang enak di dengar dari Satria. "Kalau mau menenangkan diri aku berikan waktu satu jam dari sekarang, pekerjaan kita masih sangat banyak," ucap Satria memalingkan wajahnya ke arah lain. Mendapati perlakuan seperti itu membuat Sakila mengepalkan tinjunya dengan sangat erat. "Ini perusahaan ayahku, apa hak kamu mengatur-atur aku seenaknya." "Tapi di perusahaan ini aku lah pemimpinnya, dan ayahmu sudah tidak memiliki wewenang apa pun di perusahaan ini," ucap Satria yang masih membelakangi Sakila. Kelopak mata Sakila menyipit menatap kursi hitam yang di duduki Satria. Pria ini sukses membuat Sakila kian marah padanya. Keterlaluan. Tanpa berkata-kata lagi, Sakila segera keluar dari ruangan itu, membawa rasa marah serta rasa kesalnya pada Satria, Bagas, Papanya dan semua orang yang membuat suasana hatinya kian memburuk. Melihat Sakila pergi dengan membawa rasa marahnya sebelumnya Kevin yang sedari tadi hanya melihat saja kini menatap Satria yang masih memandang ke arah luar jendela dengan tatapan hampa. "Kamu yakin nggak papa ngomong kayak gitu sama Sakila?" ucap Kevin. Satria tidak menjawabnya, dia masih duduk dan bersikap yang sama. "Aku rasa apa yang kamu katakan barusan cukup keterlaluan juga," lanjut Kevin yang merasa iba melihat Sakila begitu tertindas oleh Satria. Tampak Satria menarik nafas dalam-dalam. "Aku rasa itu yang terbaik untuknya." Sakila terus mengayunkan langkahnya sambil menggerutu kesal, ia sudah tidak peduli pada pandangan orang yang menatap aneh padanya. Satria memang sangat mengesalkan, tapi yang jauh lebih mengesalkan adalah ayahnya. Kenapa Ayahnya memilih Satria menjadi CEO di perusahaan ini. Sakila berhenti tepat di labirin kaca perusahaan di lantai 10, dia sendiri juga dibuat heran kenapa bisa berada di lantai ini? Padahal tujuan awalnya ke lantai satu, iya... Dia berencana untuk pulang dulu menemui ayahnya dan meminta penjelasan darinya. Tapi karena sudah terlanjur ada di sini, Sakila pun hanya bisa menikmati saja keindahan labirin mini ini. Oh ya, teingat dengan tujuan sebelumnya, Sakila segera merogoh ponsel yang ada di saku celananya. Ketika sudah mendapatkan nama ayahnya, Sakila segera melakukan panggilan telepon. "Pah, kenapa Papa nggak bilang soal Satria di sini?" ucapnya dengan cepat. "Kenapa Papa harus bilang dulu sama kamu, dia CEO di sana, Papa sudah menyerahkan sepenuhnya perusahaan itu padanya." "Iya kenapa Papa serahkan perusahaan itu sama dia?" sahut Sakila muali emosi. "Ya karena dia pemilik saham yang utuh, hampir seluruh saham Papa di perusahaan itu sudah dibeli sama dia, kalau kamu nggak percaya kamu tanya aja sama seluruh dewan direksi dan semua petinggi di sana." Sakila memejamkan matanya erat. Kejujuran ayahnya sungguh di luar nalar. "Terus kenapa Papa malah suruh Kila kerja di perusahaan ini?" "Itu karena Papa lebih percaya kamu dibimbing sama dia daripada sama orang lain... Sudahlah Kila, belajar yang benar, perusahaan Papa bukan hanya itu saja, kamu tahu itu kan?" "Tapi Pah...." belum selesai Sakila melanjutkan protesnya, Samuel sudah menutup teleponnya secara sepihak. Kesalnya bukan main. bagimana dia bisa berumur panjang dan belajar dengan benar jika terus menerus harus bertemu dengan Satria. Hari ini saja kata-kata Satria sudah cukup membuat tensinya naik dan membuatnya sangat pening. Sakila menghembuskan nafas kesal. Ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, perusahaan ini adalah perusahaan kontruksi yang cukup besar di negara ini, tapi bagaimana bisa ayahnya malah dengan sukarela menjual sebagian sahamnya pada Satria. Apa Papa sudah merasa sangat kaya raya? Sampai nggak perlu lagi sahan di perusahaan ini?" Ah, mumet. Batin Sakila. Dalam sekali pandang, Sakila menangkap sosok yang sangat tidak asing untuknya. Pria itu tengah berjalan bersama dengan beberapa orang yang sepertinya akan menuju ke lantai atas. "Ternyata benar," gumam Sakila setelah memastikan bahwa ternyata benar Bagas bekerja di perusahaan ini. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk besi pembatas ruang labirin kaca. Sakila segera keluar dari ruang labirin dan bersembunyi dibalik tembok tangga darurat. Selama menunggu Bagas melintas di area ini dia memikirkan hal-hal yang membuatnya untuk segera bertindak. Bagas tidak bisa semena-mena terhadap dirinya, Bagas juga tidak layak mendapatkan posisi dan jabatan seperti sekarang ini setelah pria itu menyia-nyiakan dirinya. "Aku harus buat perhitungan," gumamnya. Sakila memutar tubuh dan kembali ke ruang meeting. Di sana Satria dan Kevin masih berkutat dengan berkas-berkas yang sama. Tanpa memperdulikan kedatangan Sakila, Satria hanya terus fokus pada apa yang sedang ia kerjakan. Hingga saat Sakila mendekat barulah Satria berhenti bekerja dan menatap wanita itu dengan tatapan datar. "Aku akan selesaikan semua berkas ini dan membuat Bagas mempertanggungjawabkan perbuatannya," ucap Sakila dengan mantap. "Berikan berkas yang tadi padanya," perintah Satria pada Kevin. Kevin segera melakukan apa yang diperintahkan oleh Satria padanya, setumpuk berkas ia berikan pada Sakila membuat wanita itu melotot kaget dengan tingginya berkas yang baru saja diberikan Kevin padanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Satria malah melangkah pergi dan membuat Sakila bingung dengan tindakannya. "Pak Satria, berkas ini?" Langkah Satria terhenti, dia menoleh ke belakang dan berkata dengan ringan. "Selesaikan semuanya sebelum jam pulang, kecuali kalau kamu mau lembur," jawabnya yang kemudian kembali mengayunkan langkah lalu pergi begitu saja tanpa memperdulikan bagaimana Sakila yang syok dengan ulahnya. Anak setan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN