Bab 5

1039 Kata
Tiba-tiba saja Bagas berjalan cepat seperti seorang pemburu yang sedang menerjang mangsanya. Dengan cepat dia menarik tubuh Sakila lalu menampar pipi kananya dengan cukup keras hingga meninggalkan jejak warna merah bekas telapak tangan Bagas. Seketika Sakila kehilangan keseimbangannya untuk tetap berdiri tegak, dia pun jatuh di atas reremputan dan merasakan telinganya berdengung hebat diiringi dengan pandangannya yang mengabur meski dalam hitungan detik. Rasanya jelas sangat sakit dan pedih. Namun ada yang lebih menyakitkan dari tamparan itu, yaitu hatinya. Sakila tidak menyangka bahwa Bagas bisa menamparnya seperti ini tanpa dia tahu apa yang salah yang sudah diperbuat olehnya. Belum juga Sakila mencerna semua tindakan Bagas, tiba-tiba saja dia merasakan sesak ditenggorokannya. Rahangnya terasa begitu sakit tatkala Bagas memaksa dirinya untuk menatap pria itu. "Jadi selama ini kamu selingkuh ya?" ucap Bagas dengan mata melotot penuh kemarahan. "Ma...s, lepas, sakit," rintih Sakila yang sudah tidak kuat menahan rasa sakit di rahangnya. "Siapa pria itu!" ucap Bagas tidak sabar. Jangankan untuk bicara, membuka mulut pun rasanya begitu sangat sakit, apalagi Bagas semakin mencengkram rahangnya dengan cukup kuat. Ketika melihat Sakila diperlakukan seperti binatang oleh suaminya, Satria yang sudah membuntuti Sakila sejak wanita itu keluar dari rumahnya jelas sangat tidak terima. Satria sudah tidak peduli kalau saat ini dia muncul di hadapan Bagas, dia juga sudah tidak peduli apa yang akan terjadi nanti pada dirinya, yang terpenting baginya sekarang adalah Sakila. Wanita itu tidak layak diperlakukan seperti itu oleh seorang manusia rendahan yang disebut suami oleh Sakila. Satria berjalan dan menerjang Bagas, kembali membuat pria itu jatuh tersungkur. "Sakila." Dalam sekejab Satria sudah mengangkat tubuh Sakila, menggendongnya ala bridal style, membuat wanita itu terkejut sekaligus bingung, dengan keberadaannya. Saat tangan Satria kembali memeluk pinggang wanita itu, oh... Sakila benar-benar sangat kurus, bahkan Satria dapat merasakan dengan sangat jelas tulang punggung wanita itu yang cukup menonjol. Sialan! Satria menggeram menahan amarahnya. Matanya memerah, diiringi tatapan tanpa ampun pada Bagas. "Sat, kok kamu..." Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Satria sudah menyuruhnya untuk berhenti berkata-kata. "Sstt..." Dengan susah payah Bagas bangkit berdiri tanpa di bantu Mili yang berdiri di sampingnya dengan mulut menganga. "Kamu?" Bagas ingat dengan wajah itu, wajah yang semalam membuatnya babak belur. Dengan mengacungkan jari telunjuknya pada Satria, Bagas kembali berkata, "Jadi... Jadi kamu selingkuhan Sakila?" Tak terima Bagas mengatainya kembali berselingkuh, Sakila dengan emosinya berkata, "Jangan sembarangan kamu Mas, yang selingkuh tuh kamu, bukan aku." "Sialan! Berani kamu melawan aku?" pekik Bagas dengan nada keras pada Sakila. Mendengar kegaduhan di halaman rumah, Hanifa buru-buru keluar. Dia ingin memastikan dan melihat apa yang sedang terjadi, namun betapa terkejutnya wanita yang usianya sudah enam puluh tahun itu ketika menantunya sudah berada di pangkuan pria lain. "Sakila! Apa-apaan kamu?" Hanifa memelototi Sakila. "Siapa pria itu?" "Cowok itu selingkuhannya Sakila, Mah." Tiba-tiba saja Mili mengatakan omong kosong yang membuat amarah Hanifa kian menjadi. Mendengar ocehan Mili, Sakila hanya bisa tersenyum sinis sambil menggeleng. "Apa? Selingkuh?" Amarah Hanifa kesetika memuncak ketika mata mereka saling bertemu. "Dasar w************n kamu, ya." Oh... Memang benar apa kata Nadia, sudah tidak ada lagi yang dapat diharapkan dari keluarga ini, Suami, ibu mertua dan adik ipar sama-sama iblis. "Sat, turunin aku," ucap Sakila yang kemudian dituruti oleh Satria. Sakila merapikan blouse yang dipakainya, lalu menegakkan tubuh dan menatap ketiganya secara bergantian. Sungguh hina keluarga ini, seharusnya Sakila menyadarinya sejak dulu. "Yang selingkuh itu bukan saya, tapi anak anda, Bu Hanifa," ucap Sakila menatap Hanifa dengan tatapan mencemooh. Kemudian ia menatap suaminya Bagas, tatapan Sakila terhadapnya sama sepersis seperti saat Sakila menatap Hanifa. "Dan kamu Mas, kamu mengarahkan satu jari telunjuk kamu ke arahku, menuduhku selingkuh, padahal keempat jarimu yang lain sudah mengatakan segalanya..." Sakila menarik nafas dalam-dalam sembari melihat ke arah langit. "Aku sudah muak dengan segalanya." Bagas terdiam tidak berkata-kata, dia hanya menarik nafas panjang lalu kembali menatap Sakila dengan tajam. Netranya menangkap tatapan itu, namun Sakila sudah tidak peduli. Ia kembali menatap mertuanya tanpa rasa takut. Ditatap seperti itu oleh menantunya, Hanifa jelas tidak terima, ia kembali memelototinya penuh ancaman. "Aku juga sudah sudah muak punya menantu seperti kamu, bawa sial, tidak tahu diri, gembel, mandul, dan sekarang... malah selingkuh lagi, emang dasar w************n, pergi kamu dari rumah ini, sejak awal aku memang tidak sudi punya menantu seperti kamu." Rasa sesak dan sakitnya seketika langsung menancap tepat di ulu hati ketika mertuanya mengatai dirinya sedemikian rupa. Lututnya mendadak lemas dan membuat tubuhnya nyaris roboh, namun ada Satria yang berdiri tepat di sampingnya yang membuat Sakila bisa tetap berdiri tegak. Tidak ada sedikitpun pembelaan dari suaminya, ketika untuk yang terakhir kalinya Sakila menatap Bagas berharap pria itu membelanya, nyatanya dia terlalu berpikir naif. Bagas hanya diam saja, tatapannya bahkan lebih menyakitkan dari kata-kata serta tindakannya yang beberapa waktu ini dia lakukan padanya. Sakila menarik nafas panjang. Dengan napas tersekat karena terasa begitu nyeri di tenggorokan bahkan untuk sekedar menelan ludah pun sangat sulit, ia berusaha untuk tetap berdiri tegak tanpa memperlihatkan kerapuhannya. Sakila tidak ingin memberikan celah pada mereka untuk dapat membully dirinya. "Oke, tidak masalah kalau Mama usir saya, tapi harap perhatikan bahwa, saya tidak akan tinggal diam, saya pastikan kalian akan menyesali apa yang sudah kalian perbuat terhadap saya," ucap Sakila sambil menarik salah satu sudut bibirnya, tersenyum mencemooh keluarga Bagas. Usai mengatakan itu semua, Sakila membalikkan badan diikuti Satria yang baru saja mengacungkan jari tengahnya pada keluarga itu. "Sialan, kamu pikir kamu siapa mau buat perhitungan segala dengan keluarga ini?" Teriakan sarkas Hanifa serta tatapan penuh ejekan dari mereka tidak membuat Sakila kembali berbalik padanya. Mulai detik ini, mereka sudah menjadi masa lalunya yang paling kelam. Dan untuk alasan apa pun lagi, dia tidak sudi kembali atau menatap keluarga itu. Ketika Sakila sudah berada di dalam mobil Lexus hitam milik Satria, seketika tangisnya pecah tak terbendung saat Satria baru saja memasangkan sabuk pengamannya. Satria menghela nafas panjang, dia melihat Sakila begitu sangat kacau. Meski tak terucap oleh Sakila, akan tetapi sedikitnya Satria tahu apa yang saat ini tengah dirasakan oleh wanita itu. Ada perasaan sedih serta tidak tega melihat Sakila menangis seperti itu, ingin Satria memeluknya dan menenangkannya, akan tetapi dia menyadari ada batasan yang tidak dapat dia abaikan begitu saja, terlebih karena Sakila masih sensitif terhadapnya. Jadi, Satria hanya diam saja tidak berkata-kata, menunggu Sakila tenang sambil terus melajukan mobilnya tanpa arah dan tujuan yang jelas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN