Kaki Mala melangkah dengan cepat, mengetuk lantai yang bersih dan mengkilap itu. Dia terus bersuara, membalas setiap sapaan yang terus didapatkan olehnya. Wanita itu tersenyum lebar, menunjukkan keramahannya yang berhasil membuat para karyawan dan staff lainnya terkagum-kagum dengan keramahan Mala.
Wanita itu sudah ada di lantai 9, di mana ruangan suaminya berada. Melewati beberapa lorong, kali ini tepatnya cukup sepi, sehingga senyum Mala pun terbenam. Dia melihat sebuah pintu, jaraknya mungkin 20 meter dari tempatnya berada.
Setelah sampai tempat di depan pintu tersebut, tangannya terangkat dan hendak membuka pintunya.
Suara pembicaraan antara pria dan wanita dapat didengar olehnya. Ingin sekali Mala menguping di tempatnya berada, tetapi dia tahu kalau apa yang diperbuatnya nanti akan diketahui oleh Bian.
Bisa habis dirinya jika ketahuan menguping dari luar.
"Bian," panggil Mala.
Pandangan Bian teralih, melihat Mala yang membawa kebutuhannya saat ini. "Taruh saja di atas meja dan duduk di samping ku."
Mala mengangguk, dalam hati dia sudah berseru dengan senangnya, setidaknya untuk kali ini dia tak diusir secara lembut atau kasar oleh pria itu.
Mala menaruh dokumen tersebut dan dia duduk di sofa dengan warna merah, tepat di samping Bian, di depannya sudah ada Dewi yang tengah menahan kesal, terbukti dengan muka nya yang memerah dan juga tangan yang mengepal dengan kuat.
"Kau bisa tinggal di rumah ku untuk beberapa hari. Bukan kah kau sedang mengejar ilmu di London? Kapan kau akan pulang?" tanya Bian. Dia mengambil secangkir teh yang sudah tersaji di atas meja.
"Beberapa bulan, aku akan tetap di sini. Lagian juga, aku ingin menemani Mala, dia pasti sangat kesepian tinggal di rumah," jawab Dewi. Tatapan matanya menyorot Mala, tatapan yang tak dapat diartikan.
Entah Dewi mengucapkan sebuah kebenaran atau kebohongan semata.
Namun, Mala pastikan kalau Dewi bohong. Tak mungkin wanita itu mau menemaninya, yang ada Dewi akan selalu memberikannya hinaan dan menyusahkan hidupnya, selalu.
"Kalau begitu, tinggal lah dengan baik, jangan menimbulkan masalah yang membuatku marah," ucap Bian dengan jujur.
Mala menoleh, melihat Bian yang menatap Dewi dengan sangat lekat sekali. Bahkan, sedari tadi pria itu tak sekalipun mengalihkan pandangannya.
'Kau masih mencintai nya.'
Mala menundukkan kepalanya. Apakah di sini dirinya yang jahat karena telah membuat mereka tak bersatu? Namun, di sini bukan hanya dirinya saja yang salah, dia bahkan tak melakukan kesalahan sedikitpun, hanya saja Mala terjebak, dalam sebuah penjara.
"Aku tak akan menimbulkan masalah, Kakak." Akhir kata yang diucapkan oleh Dewi, memiliki sejuta makna. Makna yang membuat Dewi sangat marah sekali. "Aku membawa makanan untukmu." Dia menoleh, mengambil rantang makanan yang berukuran besar dan menunjukkan kepada Bian.
"Kita akan makan siang bersama, ya."
Merasa kalau dirinya sudah tak dibutuhkan lagi di tempat ini, Mala pun lebih memilih untuk bersuara dan meminta izin untuk pergi dari tempat ini, "Aku akan pergi."
Mala membangunkan tubuhnya. Saat kakinya akan melangkah, tangannya sudah lebih dulu ditarik dengan kuat oleh Bian, hingga membuat wanita itu kembali terduduk di atas sofa.
Mala menoleh, melihat Bian dengan bingungnya. Tangannya terasa panas dingin, pria itu masih saja menggenggamnya sampai saat ini, membuat hati Maka berbunga-bunga.
"Tetaplah di sini."
Bagaikan sebuah mantra, Mala mengangguk. Dia tak sadar dengan apa yang dilakukannya dan terlalu larut dalam tatapan mata Bian.
Sangat dalam sekali, membuatnya terhipnotis.
Meraskaan keromantisan antara sepasang suami istri itu, membuat hati Dewi merasa panas. Dia membuang wajahnya, sangat enggan sekali melihat keromantisan mereka yang berhasil membuatnya sangat sakit. "Ayo, kita makan."
Dewi menyiapkan makannya. Dia menyaji makanan untuk Bian dengan sangat rapih sekali. "Kau tahu Brian, aku di London sedang belajar memasak dan inilah hasil masakan aku."
Dahi Mala mengkerut, merasakan bingung yang amat sangat di dalam dirinya. Sejak kapan wanita itu memasak? Setahunya, masakan ini dibuat langsung oleh para pelayan yang ada di rumahnya.
Meski Mala mengetahui kebenarannya, dia hanya diam dan membiarkan Dewi yang mengucapkan kebohongan.
"Kau sudah pandai memasak," ucap Bian dengan lembut.
"Tentu, aku juga ingin menjadi ibu rumah tangga dan melayani suami ku dengan baik nantinya."
Ada tatapan cemburu di amat Bian saat ini Mala bisa melihat itu. Dia merasa miris dengan hubungan antara Dewi dan Bian.
Hubungan sepasangan adik dan kakak tiri.
Karena itu, mereka tak bisa bersatu dan Bian tak bsia mencintai Dewi dengan leluasa, begitu juga sebaliknya.
"Ada noda saus di wajah mu," ucap Dewi, dia menunjuk pipinya dan menyuruh Bian untuk membersihkan kotoran di bagian situ.
Namun, Bian selalu gagal. Saat itu, Dewi hanya bisa tersenyum kecil dan mengambil tisu.
"Tolong bersihkan, Mala."
Mala mengedipkan matanya berkali-kali, apakah dirinya tak salah dengar? Jelas-jelas pria itu meminta kepadanya untuk membersihkan noda makanan.
Lalu, dia melirik Dewi yang terdiam bagaikan patung dengan memegang tisu. Hampir saja wanita itu yang mengelap noda makanan di wajah Bian.
"Mala," panggil Bian. Mala langsung tersadar dari lamunannya, dia mengangguk dan mengambil tisu, melakukan perintah Bian tadi untuk membersihkan noda makanan di wajah pria itu.
Mala mendekatkan dirinya, mendaratkan tisu yang ada ditangannya ke pipi Brian, membersihkan dengan sengat lambat. Saat itu, Bian hanya bisa memandangi Mala dari dekat.
Sedangkan Dewi langsung membuang tisu yang ada di tangannya ke sembarangan arah. Menggigit bibirnya dengan sangat kuat, menahan kemarahan yang dirasakannya saat ini. 'Lihat saja, aku akan memisahkan kalian.'
Setelah menyelsaikan tugasnya, langsung saja Mala menjauhkan tubunya. Dia beranjak dan membuang tisunya dan juga tisu yang dibuang oleh Dewi tadi ke kotak sampah.
"Apakah kalian sudah berencana untuk memiliki anak? Kalian sudah menikah dalam waktu yang sangat lama sekali, apakah ada gangguan yang menyebabkan kalian tak memiliki anak."
"Kami memang belum berencana."
Dewi membulatkan mulutnya dan berkata, "Aku kira ada masalah sehingga kalian terhambat memiliki anak." Dewi berucap seraya melihat Mala dengan sinis.
Mala tentu tahu apa yang dimaksud oleh wanita itu. Menganggap dirinya mandul? Mungkin itu yang ada dalam pikiran Dewi.
Bagaimana dirinya bisa memiliki anak, jika tak pernah bersentuhan dengan intim? Tidur satu ranjang saja tak pernah, sungguh miris sekali.
"Menikah bukankah tentang anak, aku hanya ingin menikmati pernikahan aku dengan Mala."
Dewi menganggukkan kepalanya. "Aku senang jika kau seperti ini. Namun, kau tak lupa, 'kan tentang masa lalu kita?"
Mala sangat tak nyaman sekali berada dalam ruangan ini. Apalagi bersama dengan Bian dan Dewi yang membahas tentang masa lalu.
Masa lalu.