"Ngerjain di Cafe Corner lah yuk. Wifinya kenceng banget di sana. Enak juga tempatnya." ajak Nabila pada kami yang sedang berjuang menyelesaikan tugas kelompok. Sudah tiga jam kami mengolah data yang akan di kumpulkan minggu depan.
Anggota di kelompok ku sangat bersemangat mengerjakan tugas ini. Bukan apa-apa. Sang dosen mengiming-imingi nilai tertinggi jika hasil perkerjaan kami sangat memuaskan. Bukan hanya itu. Para mahasiswa yang tergabung di kelompok dengan hasil memuaskan di bebaskan dari ujian akhir semester nanti. Bagaimana kami tidak semangat dalam mengerjakan pekerjaan ini. Bayangan duduk santai bersarang di otak dangkalku serta teman-temanku.
"Yuklah. Lumayan suasana baru. Biar otak fresh." timpal Raka yang bersemangat menghabiskan sisa waktu hari ini di Cafe Corner.
Kami berjalan dari fakultas menuju cafe yang menjadi favorit mahasiswa di kampusku. Sebenarnya ada beberapa cafe yang berjejer di luar kampus. Namun Cafe Cornerlah yang selalu menjadi tempat paling favorit para mahasiswa. Bukan hanya tempat yang asik, cafe ini juga memiliki fasilitas wifi yang sangat mumpuni untuk mengerjakan tugas yang membutuhkan data dari di internet dengan jaringan yang stabil.
Sampai di cafe, beberapa dari kami langsung mencari kursi kosong sementara sisanya langsung ke kasir untuk memesan makanan dan minuman selera masing-masing. Siang ini yang melayani di balik meja kasir ternyata Kak Bram. Dengan senyum ramahnya, dia menanyakan pesanan masing-masing pelanggan.
"Kok lama gak datang sih, Sa? Nancy mana?" tanya Kak Bram begitu giliranku tiba. Raka yang berada di sebelahku otomatis memandangku dengan wajah kepo.
"Ih baru juga datang kemaren. Lo kangen sama gue apa sama Nancy, kak?" godaku pada Kak Bram tanpa memperdulikan tatapan heran Raka.
Suara tawa renyah Kak Bram sontak membuat beberapa teman lain, selain Raka tentunya, menoleh pada Kak Bram. Wajah kepo jelas tercetak pada muka-muka penggosip seantero kampus.
"Bisa aja lo. Seperti biasa?" tanya Kak Bram mengkonfirmasi pesanan yang akan aku pesan. Kak Bram langsung memproses pesananku begitu mendapat anggukan tanda setuju. Tidak begitu lama, kami telah mendapatkan pesanan kami masing-masing.
Pesananku datang paling akhir. Semua teman-teman kelompokku sudah duduk manis di meja yang telah kami tandai. "Makasi ya, Kak. Oh iya. Makasi juga uda buat teman-teman gue kepo. Lo nyebelin." kataku sambil manyun.
Tawa kembali hadir dari mulut Kak Bram. "Sama-sama, Sa." jawaban samar dari sela-sela tawa Kak Bram membuatku tambah memanyunkan bibir. "Puas banget lo kayaknya." kataku padanya.
"Eh, kayaknya yang paling kepo tu temen lo yang dari tadi nempel lo terus. Sekarang ja liatin gue kayak mo nerkam gitu. Pacar lo ya, Sa?" penyelidikan Kak Bram dimulai.
"Gantian lo yang kepo deh." kataku tanpa berniat menjawab pertanyaan Kak Bram.
"Tapi menurut pengamatan gue sih, lo gak tertarik sama sekali. Lo nyadar juga kagak. Ya kan?" kata Kak Bram yakin.
"Ih sok tau. Tapi emang iya Raka naksir gue, kak? Kata Nancy juga gitu siy." tanyaku penasaran pada Kak Bram.
"Lo harus private sama gue." kata Kak Bram berbisik seakan pembicaraan diantara kami sangat rahasia.
"Ogah gue mah. Elo modus." kataku sambil berlalu dari hadapannya.
Kak Bram kembali tertawa. Tawanya terdengar sampai meja yang di tempati aku dan teman-temanku. Seperti dikatakan Kak Bram tadi, Raka tertangkap melihat kepadaku. Tatapan mata kami bertemu. Namun itu hanya sepersekian detik karena dia kembali menetralkan tatapan mata dan ekspresinya.
Kami tenggelam pada pembahasan dan diskusi tugas kami. Seperti biasa, ketika adzan berkumandang, aku undur diri sejenak dan menunaikan panggilan Sang Pencipta.
"Lo bisa pakai mushola di sini, Sa." tiba-tiba suara Kak Bram menghentikan gerakanku yang akan meninggalkan cafe.
"Boleh?" tanyaku meyakinkan.
"Sure. Daripada lo jauh-jauh ke masjid kampus trus balik lagi ke sini. Lo bisa pake mushola di belakang sana." kata Kak Bram menunjuk salah satu ruangan yang di fungsikan sebagai mushola oleh pemilik cafe.
"Thanks, Kak. Lumayan biar kulit gue gak item-item banget." kataku.
"Emang lo item? Rambut lo iya yang item. Hahahaha. Ya uda sana. Tu musholanya yang kelihatan pintunya ke buka." kata Kak Bram mempersilahkan aku masuk.
Setelah beres urusan dengan Sang Pencipta, aku kembali berkumpul dengan teman-teman menyelesaikan tugas kelompok ini. Hampir magrib kami baru menyelesaikan diskusi kami. Setelah ini, kami hanya harus menyelesaikan bagian masing-masing yang sudah di bagi sama Raka.
Satu per satu dari kami beranjak meninggalkan cafe. Hanya aku dan Raka yang akhirnya tertinggal karena aku masih ingin menyelam dalam dunia maya. "Lo gak balik, Sa?" tanya Raka padaku.
"Bentaran lagi deh, Ka. Gue masih pengen browsing. Males masih jam segini balik ke kosan. Lo gak balik?" tanyaku pada Raka.
Bukannya menjawab, Raka malah bertanya lagi padaku. "Sa, lo punya hubungan sama yang punya cafe?" tanya Raka penuh selidik.
"Emang lo kenal pemilik cafe ini? Gue gak kenal, Ka." kataku dengan polosnya.
"Lo kan tadi ngobrol sama dia. Lo gak tau kalo dia yang punya cafe ini?" tanya Raka sambil menunjuk ke arah Kak Bram.
"Hah? Serius lo kalo Kak Bram tu yang punya cafe? Gue gak tau malahan. Gue kira dia pelayan." sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal, aku menoleh ke arah pandang Raka yang tak lain mengarahkan pandangannya ke arah tempat Kak Bram duduk. Eh tunggu. Dia duduk sama seorang cowok yang ya ampun... bikin aku meleleh. Mataku tidak bisa lepas memandang wajahnya.
Seakan-akan hilang, aku tidak mengingat bahwa Raka masih ada di hadapanku. Pikiranku terfokus pada dua hal. Kenyataan bahwa Kak Bram merupakan pemilik tempat ini dan pada sosok yang ada di sebelah Kak Bram.
"Sa..... Lo napa?" tepukan dan suara cempreng Nancy yang dapat membuat kesadaranku kembali. Entah sejak kapan sahabatku yang nyeleneh tapi ngangenin ini datang.
"Makasi ya lo uda jagain Carissa sebelum gue datang. Nah, sekarang lo uda bisa pulang kok, Ka" celetuk Nancy ke Raka tanpa rasa sungkan sedikit pun.