Bab 3

1096 Kata
Andini tersenyum ia menggeleng. "Ah tidak perlu menjelaskan Mas. Santai saja, kenapa kamu terlihat panik hmmm?" tanya Andini yang mendekat dan membelai desa bidang Bram dengan sensual membuat Debora melirik tipis ke arah suaminya. "Ngapain si Andini pegang suami gue?" kesal Debora dalam hatinya. Ia laksana ingin memberontak tapi nyatanya terlalu takut jika ketahuan. Sementara, hartanya masih belum sepenuhnya jatuh ke tangan mereka. Andini melihat ke arah Bram, seakan kecantikan Andini saat ini mampu menghipnotis pandangan Hans untuk berpaling ke Andini. "Kamu cantik sekali sayang hari ini," puji Bram untuk mengalihkan topik pembicaraan. Andini tersenyum manis. Ia dengan elegannya mengikuti alur permainan suaminya yang dungu itu. "Harus dong, menyambut suami pulang dinas harus dengan penampilan yang maksimal. Iya, kan?" tanya Andini. Kemesraan yang ditampilkan Andini dan Bram memicu tatapan sengit pada saat itu. Tangan Debora menggengam koper yang ia bawa. "b******n, bisa bisanya dia seperti itu," kesalnya. Andini melepaskan pelukannya terhadap Bram. "Udah Mas, gak enak dilihat sama Debora," ujar Andini yang menggandeng lengan suaminya dan menghadap ke arah Debora. "Mas, kenapa Debora kesini?" "I-itu Sayang, dia... " ucap Bram menggantung. Hal itu membuat Debora kesal lantaran Bram tidak tegas dalam menyampaikan semua maksudnya. "Gimana Mas?" tanya Andini mendayu. "Gini Sayang, jadi Debora baru saja di usir dari kostnya karena tidak sanggup membayar biaya sewanya yang mahal, Sayang." Andini tersenyum tipis. "Ini persis dengan apa yang dikatakan enam tahun yang lalu, dasar d***o!" umpat Andini dalam hatinya. Namun, cerdasnya Andini, dia tidak lagi menunjukkan sikap sok naif atau memberontak. Ia justru terlihat tenang. "Oh gitu ya? Bukannya jarak antara kost kamu dengan tempat dinas lumayan jauh? Bagaimana kalian bisa bertemu?" "Dia meneleponku, Sayang. Kasihan dia, boleh ya tinggal dengan kita?" tanya Bram. Andini tidak menolak ia justru mengangguk setuju. Ia kembali mengulang kejadian enam tahun yang lalu dengan metode yang berbeda. Andini langsung menghampiri dan memeluk Debora dengan sikap yang pura-pura sok baik. "Ya ampun adik iparku kasihan sekali kamu. Tinggallah disini, tidak apa. Kakakmu ini siap menampung kamu," ucap Andini dengan suara yang dibuat-buat. Bak suhu yang ditipu oleh pelatih. Debora dan Bram seperti terlihat menang saat ini. Namun, Andini tidak akan tinggal diam. "Ingatlah Debora, tinggalmu disini akan ku buat seperti neraka bagimu," batin Andini. "Ya sudah kamu segera ke kamar tamu aja ya. Bibi! Mana kuncinya!" "Sebentar Nyonya." Debora merasa tidak puas dengan apa yang diberikan oleh Andini. "Debora, ini kuncinya. Kamu bisa ke kamar sebelah timur lantai 2 ya." "Lho? Kok kamar tamu Kak? Bukannya kamar yang utama aja ya? Yang spacenya sama kaya kakak?" protesnya. Andini tersenyum, ia mengelus rambut Debora saat ini. "Biasanya orang yang numpang, itu gak boleh protes. Jadi terima aja ya? Ayo Mas Bram, kita ke kamar... " ujar Andini menggandeng Bram. Debora melirik tajam ke arah Andini dan Bram yang berbalik meninggalkan masuk ke lift. Tangannya menggengam sangat kuat hingga memerah. Mata Debora masih menatap lift yang sudah tertutup dengan pemandangan yang terakhir ia lihat adalah pelipis Andini yang dicium oleh Bram. "Ini gak bisa dibiarkan! Aku harus bilang ke Mas Bram! Bisa bisanya dia lena dengan perempuan tidak tahu diri itu!" geramnya dalam hati. "Mbak Debora, ini kuncinya belum diambil. Silakan," ucap maid bernama Soraya. Debora meraih kunci kamar tersebut dengan cepat dan menatap Soraya dengan tatapan yang tajam. "Ngapain melongo, angkat nih koper!" perintah Debora yang terlihat jelas langsung menyuruh tana ragu pada Soraya. Soraya pun terhenyak. Bahkan Andini tidak pernah sekasar itu jika memerintah. "Ayo cepat!" bentaknya sekali lagi. Soraya mengangguk lemah, "B-baik Mbak." Beberapa maid lain memperhatikan tingkah Debora yang berbanding terbalik dengan Andini. "Galak bener ya Mbak Debora. Beda jauh sama Nyonya Andini." "Ih mana bener lagi," bisik lainnya. Sementara itu, Bram dan Andini saat ini berada di kamarnya. Bram terkejut melihat dekorasi kamarnya yang tiba-tiba berubah. "Andini, ini kamar kita? Kamu ubah desainnya?" tanya Bram memandang Andini yang masih bergelayut manja padanya. "Iya Mas, gapapa ya? Kamu gak suka ya? Ini aku dekorasi sedemikian rupa supaya suasananya berubah. Gimana? Kamu gak suka lihat foto pernikahan kita terpampang jelas di dinding itu?" tanya Andini dengan suaranya yang membius pendengaran Bram. Belum juga menjawab, Bram sudah dihadapkan dengan Andini yang menghadap ke arahnya seraya tersenyum menggoda. Tangan Andini mengalung ke leher Bram. "Mas Bram gak suka ya?" "Suka banget sayang, suka banget. Apapun yang kamu suka. Aku juga suka," ucap Bram. "Oh iya?" "Iya Sayang. Kamu sekarang semakin cantik saja, menggoda seksi seperti ini," ucao Bram yang mulai larut dalam buaian palsu Andini. Andini segera melepaskan tangannya yang mengalung di leher suaminya. Ia sebenarnya sudah sangat jijik dengan Bram itu. "Idih jijik banget," batinnya. "Oh iya aku makin cantik?" "Iya 1 juta kali lipat." Andini tersenyum, ia melihat ponsel Bram sekarang sedang berbunyi di meja rias. Andini akan melihatnya, namun Bram langsung mematikannya. "Dasar lelaki belang, dia pikir aku gak tahu kalau dia berhubungan gola dengan Debora perempuan gatal itu," batin Andini. Andini menghadapi dengan senyuman. "Siapa Mas?" "Ah biasa, Armor." "Armor, asisten kamu?" "Hmm iya Sayang. Sayang, aku kangen banget sama kamu, boleh kah malam ini?" tanya Bram mengalihkan topik pembicaraan. Justru saat ini, Bram mencoba untuk memiliki Andini dengan caranya. Namun, Andini tidak bodoh, ia kembali hanya untuk balas dendam. "Aku belum bisa Mas, kata dokter masih perlu pemulihan," alasannya. Anehnya, si Bram tidak marah sama sekali. Di masa lalu, jika semua tidak sesuai dengan keinginan Bram, maka Andini akan kena pukul. "Ya sudah tidak apa, Sayang." "Oh dia gak memukulku, syukurlah. b******n itu sepertinya memang harus ku kerjai dia," batin Andini. Tring! Tring! "Ponselmu terus berbunyi Mas, angkat aja gapapa kok." "Gak usah Sayang." "Ya udah deh. Aku hampir kelupaan Mas bilang sesuatu ke kamu." "Apa itu Sayang?" tanya Bram yang memegang pinggang Andini. "Besok aku mau belanja tas, sepatu, perawatan, dan lainnya. Minta black cardnya dong." "Tentu Sayang. Berapa yang kamu inginkan?" tanya Bram dengan enteng. ********** Sementara itu di kamar tamu yang tidak terlalu besar itu, Debora menahan amarah yang bergejolak di hatinya. Andini ternyata sengaja untuk menelepon Debora yang mana dibiarkan begitu saja agar Debora mendengarkan semua percakapan Andini dan Bram. "Aku mau sekitar 1 miliar aja cukup sih Mas. Kamu tahu sendiri kan semua serba mahal. Mau cantik perlu dana, kan?" "Kurang atau tidak? Di black card ini ada 2.1 miliar. Kamun gunain saja sesukamu, Sayang," ucap Bram yang didengar oleh Debora melalui teleponnya. Sejak tadi Debora menggengamnya hingga memerah. Karena tidak kuat dengan percakapan itu, ia merasa iri akhirnya ia matikan juga sambungan telepon itu. "Arghhh kok bisa sih Mas Bram nurutin apa kata Andini perempuan tidak tahu diri itu!!" seru Debora yang menendang bed kasurnya. ******** Mampus! Pelakor kepanasan, mana gak tahu diri
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN