Sepulangnya Celline dari kampus, ia bergegas membantu Marriane yang sedari tadi sibuk menjaga toko mereka. Ia membuka laptopnya bersiap-siap untuk kembali menjalankan tugasnya sebagai pencatat administrasi. Ia mengambil tumpukan-tumpukan nota yang ada di sebuah meja kecil di sebelah salah satu etalase. Sementara Marriane, ia sibuk menghitung semua pendapatan yang mereka dapatkan hari itu.
Ketika Celline masih menunggu laptopnya menyala, tiba-tiba di otaknya terngiang wajah Aldi. Bagaimana wajahnya, rambutnya, lesung pipi yang muncul ketika ia tersenyum dan membuat senyuman itu terasa manis, bagaimana dekapannya yang meskipun hanya sebentar tapi mampu memberikan kehangatan pada hati Celline yang kalut saat itu. Celline kemudian tersadar saat laptopnya itu sudah memutar sebuah jingle yang menandakan bahwa laptop itu sudah siap digunakan.
Ia tidak bisa melupakan Aldi, yang telah menggagalkan rencana bunuh dirinya itu. Entah mengapa ketika mengingat Aldi, ada sesuatu yang berdesir di hatinya. Celline menggelengkan kepalanya beberapa kali.
Melihat putrinya yang menggeleng, Marriane merasa ada yang aneh.
“Kau sakit? Sudah minum obat?” tanyanya sambil membetulkan kembali letak kacamatanya.
“Ah… tidak. Aku baik-baik saja.”
“Baguslah kalau baik-baik saja. Mama masih membutuhkanmu memasukkan semua nota ini. Kerjakan yang cepat.”
“Iya, Ma.”
“Bagaimana hubunganmu dengan Brandon?” tanya Marriane sambil membetulkan kacamata bacanya dan kembali menatap kalkulator yang dipakainya.
Celline terkesiap dengan pertanyaan Ibunya. Ia tidak tahu harus menjawab apa karena memang ia sungguh tidak memiliki perasaan apapun pada Brandon. Memang beberapa hari ini, Brandon terus mengiriminya pesan singkat tapi Celline sedikitpun tidak berminat membalasnya. Ia bahkan membiarkan beberapa pesan singkat yang masuk dari kemarin tidak terbaca. Ia malas membukanya.
“Eng… itu… Kami… mulai sering berkirim pesan… Brandon juga beberapa kali menelepon,” jawab Celline setengah berbohong. Memang ia membalas beberapa kali, tapi ia jauh lebih sering tidak membaca pesan singkat ataupun membalas panggilan dari Brandon.
“Bagus, besok temui dia lagi. Kalian harus semakin dekat dan Mama tidak sabar untuk segera menikahkan kalian berdua.”
Telinga Celline tiba-tiba terasa panas dengan kata-kata Marriane. Ia ingin mengungkapkan isi hatinya tapi entah mengapa bibirnya tertahan. Pikirannya seolah mengingatkan semua kejadian pemukulan dan perlakuan kasar yang ia terima ketika dulu menolak perintah Marriane. Ia tidak mau merasakan pukulan atau perlakuan kasar lagi dari Ibunya. Ia membatalkan niatnya dan memendam emosinya itu lagi di dalam hati.
***
Satu bulan telah berlalu dari kejadian percobaan bunuh diri yang Celline lakukan. Dan selama itu pula, tidak sedetikpun Celline bisa melupakan Aldi, pria yang menyadarkannya dari tindakan bodoh itu. Kata-kata Aldi saat itu begitu melekat di hati Celline. Ia sadar bahwa selama ini ia menjadi hilang akal karena ia selalu memendam semuanya itu sendiri. Dari dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia kesepian.
Celline merasa ucapan yang dikatakan Aldi bahwa ia membutuhkan seseorang yang mau mendengar keluh kesahnya adalah benar. Meskipun ia memiliki Fabby tapi semenjak Fabby sudah memiliki pacar, ia makin jarang memiliki waktu untuk sekedar bertemu. Dan sejak itu pula, ia memendam semua perasaannya sendiri dan tidak pernah ada orang yang bisa ia percaya untuk sekedar mencurahkan keluh kesahnya. Bagaimana dengan teman kampusnya? Ah, mereka sama sekali tidak pernah dekat dengan Celline. Bahkan mungkin mereka mengucilkan atau bahkan menganggap Celline tidak pernah ada.
Celline memang tidak menonjol di kampusnya. Nilainya biasa-biasa saja dan sikap tertutupnya membuat setiap orang enggan berbicara dengannya. Jika mereka mencoba mendekati Celline untuk setidaknya menjadi teman, Celline yang menutup diri. Entah mengapa ia merasa tidak nyaman dengan mereka. Celline yang menghindar. Mungkin karena ia takut dibohongi karena Ibunya selalu mendoktrin untuk tidak pernah percaya pada orang 100% karena setiap orang pasti bisa mengecewakannya, bahkan mungkin ia bisa mengalami apa yang Marriane alami, dibohongi oleh orang yang ia percaya dan sayangi 100%.
Celline kembali dipaksa ibunya untuk melakukan kencan dengan Brandon lagi. Walau dengan rasa jijik yang selalu muncul ketika bersama dengan Brandon, Celline tetap menahan rasa enggannya dan menurut. Ia takut dengan ibunya. Takut disakiti lagi dan ia tidak suka dengan itu.
Di setiap kencan Celline hanya diam. Dia tidak ingin terlalu menanggapi ucapan-ucapan Brandon agar pria itu tidak menaruh harapan padanya. Kalaupun ia ditanya, jawaban Celline akan singkat. Hingga hari ini, mungkin sudah 5 kali mereka berkencan, tapi Brandon tidak mendapatkan informasi apapun tentang Celline dan Celline seperti tidak pernah menganggap keberadaannya.
Brandon dan Celline kini sudah berada di dalam The Grand Dining untuk makan malam. Ibu Brandon yang sudah mereservasikan tempat ini untuk Brandon. Restoran ini adalah langganan Elizabeth sejak ia dan suaminya dulu masih sepasang kekasih. Jadi baginya restoran ini adalah saksi mata kisah cintanya dan ia berharap Brandon juga memulai kisah cintanya di sini.
Brandon tidak pernah lepas dari campur tangan Ibunya. Ia tidak pernah bisa mandiri. Bahkan sebelum kencannya dengan Celline hari ini, Elizabeth memberikan pengarahan-pengarahan yang harus Brandon lakukan untuk bisa mendekati Celline. Dan, layaknya kerbau yang dicocok hidungnya, Brandon hanya mengangguk dan berniat menuruti semunya. Elizabeth meminta Brandon untuk sedikit lebih agresif agar ia bisa lebih dekat dengan Celline. Hei, bukankah mereka memiliki hidup yang mirip? Kedua orangtua itu selalu menyetir anaknya.
Celline memandangi lampu-lampu kota dari kaca restoran itu dengan wajah malas sampai akhirnya ia terkesiap ketika Brandon sudah berpindah tempat duduk ke sebelahnya.
“Ma-mau apa kau dekat-dekat?” ucap Celline terbata-bata saat menyadari Brandon mendekatkan wajahnya pada Celline dan membuatnya makin terpojok.
“Aku hanya mau lebih dekat dengan calon istriku,” jawabnya.
Celline berdeham dan sungguh di dalam hatinya ia merasa jijik dengan kata-kata Brandon. Ia tidak ingin menoleh ke arah Brandon. Hingga akhirnya seorang pelayan pria datang ke mejanya untuk menawarkan menu.
“Selamat malam, selamat datang di The Grand Dining. Kami memiliki menu special malam ini, apakah Bapak atau Ibu … eh… kau gadis di balkon itu bukan?” kalimat pelayan itu terhenti dan membuat Celline menoleh ke arahnya.
“Ka… Kak Aldi!” sahut Celline dengan kaget sambil mengeluarkan telunjuk tangannya ke arah Aldi yang sekarang berpakaian pelayan dengan kemeja putih vest hitam dan tidak ketinggalan dasi kupu-kupu hitam sambil membawa dua buah buku menu.
“Aku tidak menyangka kita bisa bertemu di sini,” balas Aldi sambil tersenyum tanpa menghiraukan bahwa ada Brandon yang sedari tadi menoleh ke arah Celline dan ke arahnya kebingungan.
“Kalian berdua saling mengenal?” tanya Brandon sambil menunjukkan cengirannya.
“Kakak bekerja di sini?” tanya Celline tanpa memberhatikan Brandon yang sedang bertanya.
““Iya… Betapa kebetulan kita bisa bertemu kembali. Tapi, kita akan mengobrol lain kali. Oh iya, maaf aku lupa… Jadi bagaimana apa kalian ingin memesan menu spesial kami? Sebagai tambahan, sup krim kami paling enak di kota ini. Mungkin kalian juga mau?” tawar Aldi sambil tersenyum dan menunjukkan lesung pipinya.
“Sepertinya menggiurkan. Kami pesan semua yang kau sebutkan itu. Bawakan semuanya 2 porsi,” tukas Brandon tanpa mempedulikan pilihan Celline. Rivaldi segera mencatat pesanan itu.
“Baik, sudah saya catat?” jawab Aldi sambil mengedipkan sebelah matanya pada Celline dan membuatnya terkesiap.
Wajah Celline memerah karena mendapat kerlingan mata dari Aldi. Matanya terus mengamati Aldi yang berjalan menjauh ke arah dapur untuk memberikan pesanannya pada koki. Sementara Brandon, dengan wajah terheran-heran ia mengamati Celline. Menyadari Celline yang dari tadi memandangi Aldi dengan tatapan yang berbeda membuat Brandon sepertinya cemburu.