“Ayah, kenapa Mama belum pulang?”
Malam itu aku hanya bisa diam mendengar Rian yang bertanya tentang kenapa mamanya belum juga pulang. Aku tidak tahu harus menjelaskan bagaimana kepada anakku tentang mamanya yang sebenarnya sudah tidak ada di dunia ini, aku tidak ingin melihat Rian bersedih meski yang kulakukan selama ini sudah salah, karena terus membohongi dirinya.
Beruntung Rian tidak bertanya kembali meski aku tidak menjawab pertanyaannya, ia hanya memelukku sambil memejamkan mata, seolah menganggap apa yang baru saja di katakannya tidak pernah terucap dari mulutnya. Boleh kah aku bilang kalau anakku terlalu dewasa di umurnya yang masih kecil. Bahkan sepertinya ia tahu kalau aku tidak ingin membahasnya malam itu.
Pagi ini aku mengantarkan Rian ke rumah Ibu sebelum ke restoran untuk mengecek keuangan dan stok bahan makanan yang sebelumnya sudah di laporkan oleh karyawanku. Sepanjang perjalanan Rian tampak menikmati roti yang tadi aku siapkan untuknya, katanya ia sedang ingin makan roti di olesi oleh selai cokelat, aku pun membuatkannya, tak lupa dengan sussu yang kusiapkan di botol minumnya.
“Ayah, kalau nanti Rian sekolah, pasti punya teman banyak kan?”
Pertanyaan Rian membuatku menoleh sebentar apalagi lampu merah sedang menyala di depan. Aku mengangguk, “Iya, nanti kan Rian bisa kenalan sama teman-teman kalau sekolah, jadi bisa main di sekolah sama mereka.”
“Rian jadi gak sabar mau sekolah cepet-cepet, kata Tante Indi, Rian nanti nggak boleh malu, katanya harus berani ke depan kalau Ibu guru suruh buat ke depan, kaya nyanyi gitu. Emang bener ya, Yah?”
Kalau dulu Rian selalu memanggil Indira dengan sebutan Mama dan Nares dengan sebutan Papa, sekarang sebutan itu berganti dengan Tante dan Om seperti biasa. Mungkin satu tahun lalu panggilan itu berubah, Rian bilang karena dia sudah punya Mama dan Tante Indira itu mamanya Gea. Ia juga sudah punya ayah dan Om Nares adalah papanya Gea, begitu yang Rian katakan.
Aku sendiri tidak mempermasalahkannya, karena memang begitu seharusnya. Dulu aku hanya tidak ingin Rian kehilangan sosok ibu sampai akhirnya aku meminta kepada Indira agar mau di panggil dengan panggilan Mama oleh Rian. Pun dengan Nares karena aku tidak ingin sampai lelaki itu salah paham karena meminta Indira menjadi mamanya Rian.
“Bener, kan nanti di sekolah belajar berhitung, baca, mewarnai terus nyanyi juga, jadi kalau Ibu guru suruh nyanyi atau yang lainnya Rian nggak boleh malu.”
Kulirik sebentar Rian tampak mengangguk. Aku bersyukur sekali karena Rian tidak tumbuh menjadi anak yang pendiam, meski tidak ada sosok Atika di dalam hidup kami tetapi Rian seperti anak-anak pada umumnya, begitu ceria, meski terkadang Rian juga suka merajuk seperti anak lain.
“Terus, Yah. Masa Gea mau ikutan sekolah, dia kan masih kecil, Yah.”
Aku tersenyum, tidak pernah terlewat pembahasan yang melibatkan Gea di dalamnya, anak Indira dan Nares itu selain menjadi saudara untuk Rian, gadis kecil itu juga menjadi teman pertama untuk Rian. Aku senang setiap kali Rian bisa dekat dengan Gea bahkan anakku bak seorang kakak lelaki kalau sudah bersama dengan Gea, si gadis kecil yang menggemaskan.
“Nggak apa-apa dong, kan nanti Gea juga harus sekolah.”
Tidak ada obrolan lagi setelahnya. Aku pun kembali menyetir, sesekali kulirik Rian yang kembali asyik dengan mainan robotnya. Lalu pikiranku melayang pada sosok istriku, seandainya Atika masih bersama kami, tentu saat ini ia yang duduk di kursi samping dengan Rian berada di belakang dan kami menjadi keluarga yang bahagia.
Kembali aku mengingat anak perempuan Nares dan Indira, mungkin juga kalau Atika masih ada bersama kami, aku memiliki anak perempuan seusia Gea atau mungkin lebih muda lagi dari Gea. Sungguh, aku selalu membayangkan semua itu sampai akhirnya aku menyadari kenyataan menyakitkan ini. Aku tidak bisa mewujudkan keluarga kecil bahagia bersama dengan Atika.
Perjalanan di selimuti keheningan sampai akhirnya kami tiba di rumah ibuku. Tuhan maha baik, sampai saat ini membuat ibuku sehat seperti biasa, kalau saja tidak ada Ibu, aku tidak tahu akan seperti apa menjaga Rian sampai sebesar sekarang. Aku sangat berterima kasih kepada Ibu karena sudah membantuku.
Aku turun dari mobil, pun dengan Rian yang sudah turun lebih dulu dan berlari menghampiri neneknya yang sedang menyiram tanaman. Seperti tidak bertemu lama sekali sampai mereka saling berpelukan begitu erat.
“Cucu ganteng Nenek, kangen banget.” Kudengar ibuku yang mengatakan merindukan cucunya. Padahal kemarin mereka bertemu sama seperti hari ini.
“Sehat, Yan?” tanya Ibu kepadaku.
Aku mengangguk dan menyalami tangan Ibu. “Ibu gimana? Kemarin katanya sakit pinggang, nggak usah banyak kerja berat, Bu,” kataku mengingat kemarin Mbok Sum mengatakan kalau sakit pinggang Ibu kumat lagi.
Mbok Sum ini asisten rumah tangga di rumah Ibu sekaligus yang menemani Ibu di rumah, seorang janda tanpa anak yang di ceraikan oleh suaminya dengan alasan tidak memberikan keturunan. Aku mengenalnya dari Bi Narti, mereka tetanggaan.
“Sekarang udah mendingan, kemarin itu Ibu terlalu semangat beresin rumah, pindahin letak kursi segala macam,” jawab Ibu menjeskan semua yang beliau lakukan. Aku hanya menggeleng, Ibu memang seperti itu suka sekali mengubah letak kursi dan yang lainnya di satu ruangan ke ruangan lain.
“Kalian udah sarapan belum?” tanya Ibu kepada kami.
Aku, Rian dan Ibu sudah masuk ke dalam rumah, terlihat Mbok Sum yang berada di dapur, tidak ada tembok yang menghalangi antara dapur, ruang makan dan ruang tengah. Hanya ada pembatas antara ruang makan dan ruang tengah dengan lemari kecil yang bahkan tidak begitu tinggi, hanya sebatas pinggang orang dewasa.
“Sudah tadi di rumah. Rian tapi belum makan nasi, tadi sarapan pakai roti aja karena pengin itu.”
“Ya sudah nanti Rian makan sama Nenek ya.” Rian mengangguk singkat.
“Kalau Bastian langsung berangkat lagi, Bu. Ke restoran kaya biasa. Titip Rian ya, Bu. Nanti sore Bastian jemput lagi ke sini.”
“Iya, kalau perlu kalian menginap aja. Ibu udah lama nggak tidur sama cucu Ibu, kan kangen ceritain dongeng sama dia,” pinta Ibu.
Aku mengangguk saja. Tidak masalah juga menginap di sini, apalagi pakaian aku dan Rian memang ada di sini, sengaja aku menyimpannya di kamar lamaku, kalau menginap tidak perlu membawa pakaian.
“Bastian berangkat dulu, Bu.”
“Iya hati-hati.”
**
Aku baru saja sampai di restoran, langsung berjalan ke ruanganku yang berada di lantai atas. Entah kenapa setiap kali aku berada di restoran, aku seperti tengah bersama dengan Atika, banyak kenangan yang ada di sini bersamanya membuatku tidak bisa melupakan sosok istri yang sangat kusayangi.
Sayangnya, aku terlambat untuk mengatakan bahwa aku mencintai dia, bahwa aku membutuhkan dia untuk tetap bersama di sampingku, mendampingi anak-anak kami kelak. Semua itu tidak bisa kurasakan lagi, tidak bisa aku memiliki Atika untuk diriku sendiri. Karena pada kenyataannya istriku kembali kepada yang lebih berhak atas dirinya. Sekali lagi kukatakan, aku menyesal karena terlambat jatuh cinta.
Duduk di kursi yang berada di ruangan ini, aku menatap jalanan kota yang terlihat dari jendela lantai dua ini. Lagi, aku kembali mengingat sosok Atika yang tersenyum menatapku.
“Mas, aku pengin deh malam-malam lihatin jalanan kota dari sini. Kayanya indah banget lampu-lampu yang terang di malam hari, pasti kaya bintang di langit.”
Aku yang sejak tadi berkutat dengan laptop menoleh ke arah Atika yang duduk di sofa sembari menatap ke arah jendela yang menampilkan jalanan kota. Dari lantai dua restoran ini memang akan terlihat jalanan kota dan beberapa gedung yang satu sama lain seolah bersaing dalam ketinggian.
“Berarti kita harus nginap di sini atau pulang malam. Dan untuk pulang malam kayanya aku nggak kasih ijin, kasihan kamu sama anak kita kalau terlalu lama di jalan malam-malam, angin malam nggak baik buat kalian,” balasku kembali menatap layar laptop yang menampilkan data keuangan restoran.
“Berarti nginap boleh dong, sekali kita nginap di sini, Mas,” pinta Atika dengan tatapan yang penuh permohonan. Kalau sudah begitu mana bisa aku menolak keinginannya, wajah yang menggemaskan malah membuat aku ingin sekali menciumnya sampai puas.
“Pengin banget ya, nyaman di rumah kan,” jawabku. Bukan melarang hanya saja lebih nyaman tidur di rumah kan meski ada kamar di ruangan ini tetapi aku pikir tetap yang paling nyaman adalah kamar di rumah sendiri.
Atika mengangguk, “Boleh ya, Mas.Sekali aja kok nanti nggak lagi,” katanya.
Aku mengembuskan napas pelan kemudian mengangguk membuat senyum di wajanya terbit dan senyum itu membuatku ikut senang karena meski dengan hal sederhana ini aku bisa melihat senyum ceria di wajah istriku. Senyum yang mungkin akan kurindukan ketika jauh darinya. Tetapi kuharap kami tidak akan pernah berjauhan, sekali pun iya, sekarang ada alat komunikasi yang bisa melakukan panggilan video kan tentu tidak akan khawatir kalau aku merindukan senyumannya, bisa melihat meski hanya lewat sambungan video call.
Aku tersenyum miris, bayangan itu kembali kuingat dan harapanku dulu perlahan sirna, karena sekarang aku tidak bisa melihat senyum milik Atika meski lewat panggilan video, karena kami sudah berada di alam berbeda. Jika merindukan senyum itu, aku hanya bisa melihat fotonya.
Namun tentu tidak selalu membuatku puas hanya dengan melihat senyum miliknya dari foto yang kusimpan. Aku tetap merindukan dia, aku ingin memeluknya, aku ingin mengatakan jika aku sudah mencintainya sejak lama, aku ingin mengatakan bahwa aku membutuhkan dirinya.
Dan semua itu hanya sekedar anggan, harapan yang dengan susah payah pun aku menggapainya, tidak pernah bisa kumiliki. Semua tentang keinginanku bersama dengan Atika, hidup bahagia dengannya, hanya sebuah harapan belaka.
Apakah ini karma yang kudapatkan karena telah menyia-nyiakan wanita yang selama ini begitu sabar berada di sampingku?