Aku yang kehilanganmu

2059 Kata
“Mas, aku pengen banget makan nasi goreng ayam,” ucap Atika kepadaku. Kami baru saja selesai makan siang di ruangan kerjaku dalam restoran ini. Tetapi satu jam kemudian Atika kembali meminta makan nasi goreng. “Kamu ngidam? Tadi kan udah makan banyak.” Hubunganku setelah Atika hamil besar memang perlahan membaik, kami sudah selayaknya pasangan suami-istri di luaran sana dan aku menikmati peranku sebagai suami siaga. Aku sangat senang sekali setiap kali mengelus perut buncit istriku, di mana akan ada respon dari anak kami, gerakan kecil namun membuat kami tersenyum bahagia. Atika mengangguk ringan. Akhir-akhir ini napsu makannya memang luar biasa, tetapi tidak masalah selagi makanan itu tidak macam-macam dan bukan makanan yang pedas. Karena aku melarangnya untuk makan pedas setelah Atika hamil. Kecuali kalau dia sedang sangat ingin makanan pedas, mau tak mau aku harus mengiyakannya. “Kalau gitu aku telepon pegawaiku dulu.” “Aku maunya kamu yang masak langsung di dapur restoran,” pintanya dengan penih harap. Kalau sudah begitu aku tidak berani untuk menolak, mood ibu hamil itu akan naik turun tanpa terduga. “Oke, tapi kamu tunggu di sini,” kataku. Meski aku sendiri tidak yakin, apa aku bisa memasak nasi goreng yang enak sesuai selera istriku tetapi aku harus berusaha dulu kan. “Ikut ... aku kan mau lihat kamu masak, aku janji nggak akan bantuin, aku bakalan duduk manis dan nggak kecapekan.” Aku mengangguk dan kami pun keluar dari ruangan menuju lantai bawah di mana dapur di restoran ini berada. ** “Makasih ya Mas, aku senang banget bisa makan masakan kamu.” Atika senang sekali melihat nasi goreng yang sudah aku buatkan untuknya. Meski penuh drama sekali berada di dapur, aku yang kesusahan memotong sosis dan bakso yang menjadi pelengkap nasi gorengnya, lalu bawang merah yang membuat mataku perih karena Atika melarangku untuk menggunakan alat pengupas bawang. Tetapi akhirnya aku berhasil membuatnya. “Habiskan, aku senang kalau kamu suka.” Atika mengangguk dengan begitu riang kemudian kembali melahap nasi goreng yang sudah aku buatkan. Untung lah rasanya lumayan dan bisa di makan olehnya, karena tadi aku sempat mencicipi sedikit. Meski bagiku terlalu asin, tetapi setelah Atika sendiri yang mencobanya, dia bilang untuknya sudah pas. Aku sedang berada di lantai atas restoran milikku. Ruangan yang memang biasa aku tempati dan menjadi ruang kerjaku di sini. Biasanya aku melakukan pengecekan laporan yang diberikan oleh pegawaiku, tentang laporan keuangan restoran setiap bulannya. Aku mengingat kembali semua itu. Semua tempat yang kerap kali aku dan istriku kunjungi meski hanya sebentar selalu saja menjadi kenangan untukku. Termasuk ruangan ini di mana waktu itu Atika pernah ketiduran karena menungguku selesai mengecek laporan keuangan. Aku memintanya untuk pulang lebih dulu tetapi dia tetap ingin tinggal. Alhasil duduk di sofa yang untungnya panjang dan bisa di pakai untuk tiduran, sampai akhirnya dia pun terlelap. Meski sudah lama berlalu tetapi aku masih selalu mengingatnya bahkan ketika aku merindukan Atika maka aku akan kembali mengingat semua kenangan bersama dirinya. Hanya seperti itu aku bisa melepaskan rinduku kepadanya. Atika, jika saja aku tidak egois. Aku tidak terus terobsesi kepada Indira, kita masih bersama dengan Rian, anak kita. Bahkan mungkin memiliki anak kedua yang dulu belum sempat kamu lahirkan, karena dia juga memilih pergi bersama dengan kamu. Meninggalkan aku dengan kesedihan ini. ** Aku baru saja selesai dengan segala urusan di restoran. Tidak banyak yang aku lakukan. Apalagi belum ada laporan keuangan yang harus aku cek kembali, karena ini baru awal bulan. Biasanya pegawaiku akan memberikan laporan keuangan di saat akhir bulan atau terkadang aku sendiri yang terkadang tiba-tiba meminta laporan tersebut. Selepas dari restoran, aku pulang ke rumah ibu untuk menjemput Rian di sana. Tadi ibu meneleponku dan mengatakan untuk makan malam bersama, sekaligus makan bersama dengan Indira dan Nares. Seperti hari biasa, beginilah kondisi jalanan kota Jakarta. Macet sepanjang jalan apalagi di saat menjelang pulang bekerja seperti ini. Aku mengendarai mobil putih yang dihadiahkan untuk Atika dariku. Sepeninggalannya, aku sering memakai mobil ini karena kalau tidak di pakai akan rusak dan aku tidak ingin kalau mobil miliknya rusak. Banyak kenangan yang ada di dalam mobil ini. Salah satunya kerap kali di pakai saat Atika menginginkan makanan di malam hari. Seperti saat dia menginginkan makan sate tengah malam, dengan menggunakan mobil ini aku akhirnya membawa dia untuk menemukan penjual sate. Pun karena Atika sendiri yang ingin ikut dan ingin makan di tempat tukang sate. Aku tersenyum miris. Seandainya dia masih ada, mungkin sekarang aku akan mengajarinya untuk mengendarai mobil ini bahkan mungkin saja dia sudah handal mengendarainya. Namun takdir berkata lain, sebelum belajar mengendarai mobil ini. Istriku sudah tidak ada di sini. Aku menjadi lelaki yang paling menyedihkan karena belum menerima keadaan, aku tidak ingin Atika terlupaka, meski aku merasakan sakit yang luar biasa di dadaku, tidak apa. Aku terima semua kesakitan ini. Mobil putih ini masuk ke dalam halaman rumah, tampak mobil lain yang sudah aku kenali. Mobil siapa lagi kalau bukan milik Nares, seperti yang sudah ibuku katakan mereka akan makan malam bersama kami di sini. “Ayah!” Teriakan Rian sambil berlari menyambutku, Nares yang melihat kami tampak tersenyum kecil namun masih bisa aku lihat, dia memang seperti itu namun aku bersyukur yang menjadi suami Indira adalah Nares, aku bisa melihat bagaimana Nares yang begitu mencintai Indira. Aku memeluk Rian seperti yang selalu kami lakukan setiap aku pulang bekerja. Kemudian kembali menghampiri Nares yang sedang memangku Gea–anaknya, gadis kecil itu memang lebih manja kepada sang ayah. “Apa kabar, Res?” tanyaku. Kami memang baru bertemu kembali, karena yang aku tahu Nares cukup sibuk akhir-akhir ini. Mungkin lelaki itu kembali membuka cabang baru seperti dua bulan yang lalu. “Baik. Lo gimana?” tanya Nares. Kali ini kami berdua bicara cukup santai setelah sebelumnya banyak hal yang membuat kita tidak bisa cukup di katakan dekat. Tentu saja karena istrinya adalah mantan tunanganku yang hampir aku rebut dan karena itu aku sendiri yang mendapatkan karmanya, kehilangan istriku. “Gue juga sama, baik seperti yang lo lihat sekarang.” “Dan hati lo?” Mungkin terdengar melow sekali, tetapi itu yang selalu Nares tanyakan padaku. Nares menjadi tempat aku bercerita ketika duniaku rasanya hilang dan hancur karena Atika meninggal dunia. Lalu Nares dengan begitu terbukanya membuat aku menyadari satu hal, bahwa duniaku tidak hanya satu. Tetapi aku memiliki dunia yang lain, khususnya anakku yang saat itu masih kecil. Nares juga yang membuatku kembali bangkit, mengatakan bahwa sebagai seorang lelaki harus bisa kuat dengan apapun keadaanya. Tidak apa menangis, tetapi tidak seharusnya terus meratapi nasib sampai mengabaikan Rian. “Masih tetap sama.” “Udah enam tahun, Tian.” “Ya gue tahu,” gumamku. Aku tidak bisa dikatakan baik-baik saja di depan Nares, karena lelaki itu selalu tahu. Mungkin karena kami sama-sama lelaki, Nares mengerti bagaimana kehilangan seorang yang begitu dicintai. Apalagi Nares pernah merasakan, ketika Indira berjuang melahirkan anak mereka dan tidak dalam keadaan baik-baik saja pasca melahirkan, meski sekarang Tuhan masih membuat mereka bersama, bukan sepertiku yang benar-benar kehilangan. Nares menepuk bahuku. Kami memang duduk bersebelahan memperhatikan Gea dan Rian yang kembali bermain lego. Sepertinya hadiah dari Indira dan Nares untuk Rian karena aku baru melihatnya. “Lo harus pikirin Rian, anak lo butuh sosok ibu.” “Ya, tapi gue belum bisa.” Nares mengangguk mengerti dan tidak kembali membahasnya. Kemudian suara Indira yang berasal dari arah dapur membuat kami menoleh kompak. Indira ... wanita itu masih tetap sama seperti sebelumnya, terlihat cantik. Aku menggeleng pelan, tidak seharusnya aku mengatakan seperti itu. Istriku masih tetap paling cantik untukku. “Loh udah pulang, Yan.” Aku mengangguk, “Iya, barusan.” “Ayo kita makan. Aku sama Tante udah selesai masak,” ajak Indira kepada kami. “Ayo, Mas. Anterin Gea sama Rian cuci tangan dulu ya, Mas,” ucapnya kembali. Kali ini kepada Nares. Nares mengangguk kemudian mengajak dua bocah itu untuk mencuci tangan lebih dulu karena habis bermain. “Tante tadi cerita sama aku.” Perkataan Indira membuatku urung beranjak dari sofa, menatap wanita itu yang tampak serius menatapku. “Soal apa?” “Kamu harus bisa membuka hati lagi, Tian. Cari sosok ibu untuk anak kamu, apa kamu nggak tahu kalau Rian selalu cerita sama aku kalau dia kangen mamanya dan kenapa mama belum juga pulang.” Degh. Hatiku tercubit sekali mengetahui semuanya, aku pikir Rian tidak lagi mengingat apa yang aku katakan dulu. Yang selalu mengatakan bahwa ibunya sedang pergi. Aku pikir Rian sudah tidak lagi mengingat mendiang Atika. Namun tentu saja, Rian juga sama denganku, akan ada waktunya Rian bertanya kembali kepadaku tentang keberadaan ibunya dan aku harus siap untuk hal tersebut. “Aku tahu nggak mudah tapi kamu juga harus memikirkan Rian.” “Iya aku tahu itu.” “Mama!” teriakan Gea mengurungkan Indira kembali berbicara. Gadis kecil itu berlari ke arah Indira dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca. Di tambah pakaiannya yang sudah basah hampir seluruhnya. “Kenapa Sayang? Kok basah kuyup kaya gini?” tanya Indira kepada Gea. Belum sempat menjawab pertanyaan ibunya, Nares muncul bersama dengan Rian yang juga dalam keadaan basah kuyup. “Aku tinggal sebentar, mereka udah basah kuyup.” Seolah tahu dengan tatapan istrinya, Nares lebih dulu bicara. Aku hanya memperhatikan pasangan suami-istri di hadapanku. Sempat aku merasa iri karena melihat keharmonisan mereka, sampai aku membayangkan jika istriku masih ada mungkin kami akan seperti mereka juga. Namun semua itu aku sangkal, aku tidak boleh merasa iri pada pasangan di hadapanku ini. Bagaimana pun kisah kami berbeda. “Nggak sengaja, Tante. Tadi aku sama Gea main air eh malah jadi gini,” ucap Rian mengatakan apa yang terjadi pada mereka. Indira tersenyum, tidak terlihat marah. Kemudian mengajak Gea dan Rian untuk berganti pakaian lebih dulu sebelum kami makan malam bersama. ** Selesai makan malam, keluarga kecil Nares pamit pulang karena akan menginap di rumah orang tua Indira. Sementara aku dan Rian memilih untuk menginap di sini. Aku lagi-lagi merindukan kamarku di sini, yang dulu aku biasa habiskan waktu di sana bersama dengan Atika. Aku masuk ke dalam kamar, sementara Rian masih bersama ibu di lantai bawah. Aku lebih dulu naik untuk berganti pakaian, ada pakaianku dan Atika di sini yang sengaja aku simpan. Pun dengan pakaiannya yang masih ada di rumah kami, semua barangnya pun masih aku simpan dengan sangat baik. Melihat foto kami yang tergantung di samping cermin. Aku tersenyum memandangnya. Foto itu kami ambil ketika Atika sudah hamil besar, aku sendiri yang memintanya untuk kami mengabadikan momen tersebut. Atika semakin cantik sekali. “Perut kamu udah gede. Kita foto bertiga yuk, biar ada momen kamu lagi hamil gede,” ucapku saat kami sedang menonton film di ruang tengah. Tanganku Asyik mengelus perut Atika yang sesekali akan ada gerakan kecil dari sana, “Kalau aku ikut aja, Mas.” “Jadi mau kan? Pasti lucu banget.” Atika tersenyum kemudian mengangguk membuat aku ikut tersenyum lebar. Aku memang sudah merencanakan foto tersebut, tadinya setiap bulan agar dalam foto terlihat perubahan perut Atika yang tengah hamil. Tetapi aku tidak ingin membuat istrku kelelahan melakukan pemotretan. “Nggak sabar banget nunggu dia lahir,” ucapku kembali setelah beberapa saat diisi dengan keheningan di antara kami. Hanya ada suara dari layar televisi. “Sebentar lagi, Mas. Aku juga nggak sabar. Melahirkan itu katanya sakit, Mas. Aku jadi takut,” ucapnya. Aku mengelus kembali perutnya penuh kelembutan, “Nggak usah mikir macam-macam. Aku akan ada di samping kamu dan kita berjuang sama-sama. Kamu dan anak kita pasti akan baik-baik saja.” “Nanti temanin aku ya, Mas.” Aku mengangguk tegas. “Pasti.” Klek. Aku menoleh mendapati Rian yang baru saja membuka pintu kamar, kedua matanya tampak sayu. Sepertinya jagoanku sudah mulai mengantuk, mungkin kelelahan karena seharian bermain dengan Gea sampai masih jam delapan pun Rian sudah mengantuk seperti ini. “Ayah aku ngantuk,” katanya. Aku mendekat kemudian menggendong dia dan naik ke atas tempat tidur, kepalanya berada di pangkuanku. Aku mengelus rambutnya yang sudah memanjang, mungkin besok atau lusa aku harus mengajak Rian untuk memotong rambut. “Mau dibacain cerita?” tanyaku. Sudah lama Rian tidak aku bacakan cerita sebelum tidur, seperti dulu yang selalu Atika lakukan saat Rian masih bayi. Meski belum mengerti tetapi Atika selalu melakukannya. Kadang malah aku yang kemudian tidur di samping Rian karena dongeng yang di bacakan oleh istriku sendiri. Rian menggeleng dengan kedua mata yang sudah terpejam, namun tiba-tiba saja kedua mata Rian kembali terbuka dan menatapku lekat. “Ayah, kenapa Mama belum pulang?” Degh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN