Pernikahan Tak Terduga
"Sialan lo, Niko!" Pekik seorang gadis yang tengah berlari mengejar seorang pemuda.
Gadis itu mengejarnya bagai kesetanan sembari tangannya menenteng sebuah sepatu. Sepatu itu diayunkan ke belakang sebelum akhirnya melayang mengudara. Berharap mendarat di target yang tepat, tapi nyatanya sepatu sialan itu malah mendarat di kepala botak milik guru BK.
Gadis itu membulatkan mulutnya saat melihat dengan jelas bagaimana kepala botak itu terkena lemparan sepatu. Begitu juga dengan pemuda yang tadi tengah berlari, ikut berhenti itu. Bibirnya berkedut menahan tawa, seolah menantikan apa yang akan terjadi sebentar lagi.
"Siapa yang lempar sepatu ke kepala saya?!" Teriak guru itu dengan garang.
Matanya mengedar, menatap tajam setiap siswa yang ada disana. Kemudian tatapannya terhenti ke arah siswi yang sedang menatapnya dengan cengiran lebar di bibirnya. Guru itu menggeram marah menatap siswinya yang kerap kali masuk ke dalam kantor BK.
"Anya!!" Teriaknya menggelegar menyebutkan nama murid berambut ombre seperti pelangi itu.
Langkahnya berdentum hingga terdengar di telinga Anya. Menandai kalau si kepala botak itu tengah marah besar. Sementaranya Anya, gadis itu tidak beranjak sedikitpun. Karena meskipun ia sering membuat kesalahan, Anya selalu mempertanggung jawabkan. Itulah yang diajarkan oleh orang tuanya.
"Berani kamu ya ngelempar saya?!" Marahnya sembari menatap Anya dengan tatapan tajam.
Anya meringis kecil. "Saya nggak berniat melempar Bapak. Tadi saya mau ngejar si Niko, Pak. Tapi nggak sengaja kena Bapak," ujarnya menjelaskan.
Toh memang benar kenyataannya seperti itu. Ia tadi berniat ingin melempar Niko namun siapa sangka kalau pak Tobi, selaku guru BK itu melewati jalan yang di lewati oleh Niko.
"Halah!" Pak Tobi mengibaskan tangannya tak percaya. "Ngeles aja kamu. Bilang aja kalo kamu itu dendam sama saya karena sering saya hukum. Iya, kan?"
Anya menautkan kedua alisnya. Meskipun ia kesal karena sering di hukum oleh pak Tobi, namun sedikitpun Anya tidak menaruh dendam pada guru itu. Anya memang nakal, tapi bukan berarti ia jahat. Ia sangat menghormati orang tua termasuk gurunya yang menyebalkan itu.
"Iya-iya, Pak. Anya minta maaf ya? Anya beneran nggak sengaja tadi, Pak."
Pak Tobi mendengus kasar. "Beruntung ini jam pulang sekolah. Kalo nggak, udah saya hukum kamu," ketusnya kemudian beranjak pergi meninggalkan Anya.
Anya menatap kepergian pak Tobi kemudian mengusap dadanya pelan. Setidaknya ia terbebas dari hukuman yang diberikan pak Tobi. Sekilas info, pak Tobi itu kalau memberi hukuman, tidak tanggung-tanggung. Membersihkan seluruh kamar mandi, ngepel lantai dari kelas 1 sampai kelas 3. Ini hukuman atau latihan militer?
Anya mendengus pelan kemudian berjalan mengambil sepatunya yang di tinggalkan pak tobi di lantai. Sedikit kesal karena tergetnya tidak kena. Setelah memakai sepatu, Anya berjalan menuju keluar gerbang sekolah. Langkahnya bergerak menuju sebuah warung yang ada di depan sekolah. Warung bi Inah namanya.
Warung bi Inah adalah warung langganan Anya nongkrong bersama teman-temannya. Hal itu sudah menjadi rutinitas Anya dan teman-temannya sebelum pulang ke rumah.
"Kusut amat tuh muka," celetuk salah seorang pemuda yang duduk di pojokan dengan cengiran lebar.
Anya menatapnya sinis sebelum akhirnya menghampiri pemuda itu dan menghadiahkan sebuah pukulan yang lumayan keras di bahunya.
"Sialan lo ninggalin gue gitu aja," umpatnya dengan kesal.
Niko, pemuda itu tertawa keras melihat wajah masam milik Anya. Bisa dipastikan kalau gadis yang tadi mengejarnya itu habis di beri siraman rohani oleh pak Tobi.
"Lagian lo sendiri ngapain pake ngelempar pak Tobi. Mampus lo," kata Niko dengan tawa puasnya.
"Gue mau ngelempar lo ya anjir!" Sela Anya tak terima.
"Berantem mulu lo berdua. Awas aja jodoh," tukas Denta yang merupakan teman dekat Niko dan Anya.
"Dih!" Ujar Niko dan Anya bersamaan.
"Ogah banget gue jodoh sama dia," sambung Anya dengan tatapan bergidik.
Niko melempar kulit kacang ke arah Anya dan menatapnya geli. "Siapa juga yang mau jodoh sama lo, Nya. Kalau pun di dunia ini cuma ada lo satu-satunya cewek, gue juga nggak bakal mau. Mending gue jomblo selamanya."
"Gayaan banget lo. Gue juga mending milih jomblo daripada harus sama lo," balas Anya tak mau kalah.
"Eca mana? Kok nggak kesini?" Tanya Anya saat tak melihat teman ceweknya yang berbeda kelas dengannya.
"Dia pulang duluan. Ada acara keluarga katanya," jawab Denta yang merupakan kekasih Eca. "Eh iya, gimana keadaan bokap lo, Nya? Udah baikan?"
Wajah Anya seketika berubah sendu saat mendengar Denta yang menanyakan kabar papanya. Sudah hampir 3 bulan papanya terbaring lemah di rumah sakit. Sakit yang di deritanya cukup parah. Membuat papanya hanya bisa hidup dengan bantuan alat medis.
Anya menggeleng pelan. "Belum, Den. Gue juga khawatir banget sama keadaan bokap gue. Gue selama ini sadar selalu nyusahin dia," ujarnya lirih. Kepalanya tertunduk. Matanya pun tampak berkaca-kaca.
Setiap mengingat papanya, Anya selalu teringat dengan kelakuannya yang selama ini menyusahkan papanya. Bahkan dulu saat ia sering di tegur oleh papanya, Anya kerap kali mengabaikan. Membuat Anya merasa menyesal karena sudah bersikap kurang ajar dengan papanya.
Niko yang melihat kesedihan di mata Anya pun mengusap baju gadis itu pelan. Ia tahu bagaimana Anya sangat menyayangi papanya. Apalagi saat ini yang ia punya hanya papanya. Mamanya sudah meninggal sejak ia masih kecil. Ia juga tidak memiliki saudara lain. Ia tahu bagaimana Anya sangat takut kehilangan papanya.
"It's okay, Nya. Kita berdoa semoga bokap lo diberi kesembuhan. Nanti malem gue sama Denta jengukin bokap lo," ujar Niko menenangkan.
Anya tersenyum tipis. Ia senang memiliki teman seperti Niko, Denta, dan juga Eca. Meskipun temannya tidak banyak, namun Anya bersyukur karena temannya memiliki hati yang tulus. Apalagi Niko, sekalipun pemuda itu memiliki tingkah yang menyebalkan tapi Niko akan selalu menjadi orang pertama yang berdiri di garda terdepan saat Anya memiliki masalah. Itulah yang membuat Anya senang berteman dengan Niko.
"Thanks, ya. Kalian selalu ada buat gue," ujar Anya dengan tulus.
Niko menonyor pelan kepala gadis itu. "Lebay lo. Kan ini emang tugas temen," ujarnya.
Anya tertawa pelan. Kali ini ia tidak membalas perbuatan Niko. Hingga dering ponsel membuat terkejut. Anya pun melihat siapa yang sudah mengirimnya pesan.
Mata gadis itu membulat saat membaca pesan itu. Tanpa aba-aba, ia pun beranjak pergi meninggalkan warung. Bahkan mengabaikan panggilan dari Niko dan juga Denta.
***
Suara elektrokardiogram terdengar begitu menyeramkan di telinga. Semua mata jelas menatap penuh kesedihan ke arah seorang pria paruh baya yang sedang terbaring lemah di atas brankar. Terpasang banyak alat yang membantunya untuk bertahan hidup.
Semua yang ada di dalam ruangan itu, hanya bisa merapalkan doa agar pria paruh baya itu mendapatkan keajaiban. Seluruh anggota keluarga yang ada di sana terisak pelan melihat kondisi kepala keluarga mereka sedang tidak berdaya.
Sementara itu, seorang dokter muda berparas tampan tengah memeriksa detak jantung pria itu melalui stetoskopnya. Terdengar helaan nafas yang berat. Membuat orang yang ada di sana merapalkan doa semakin kuat.
"Tolong selamatkan suami saya, Dok. Sama mohon," isak seorang wanita yang masih tampak cantik di usianya yang sudah tidak lagi muda.
Deraian air matanya tak berhenti sejak tadi. Menatap suami terkasihnya yang berada di ambang kematian.
"Hanya keajaiban dari doa kita yang bisa menyelamatkan suami anda," tutur dokter muda itu dengan wajah sendunya.
Ia juga tidak tega melihat keluarga pasiennya. Namun ia juga tidak tahu harus berbuat apa karena semua usaha sudah ia kerahkan.
"Sintya..." Lirih pria itu memanggil istrinya.
Wanita bernama Sintya itu segera mendekat dan memegang jemari dingin milik suaminya. Di usapnya jemari itu kemudian menatap penuh harap.
"Bertahanlah, Bas. Aku mohon jangan tinggalkan aku. Bukannya kamu mau lihat anak kita menikah? Ku mohon bertahanlah," isak Sintya memohon agar suaminya mampu bertahan.
Sementara Bastian, pria menarik nafasnya dalam. Rasa sesak di dalam dadanya seolah menggerogoti. Sakit yang teramat membuatnya kesulitan untuk bertahan.
"PAPA!!"
Semua mata tertuju ke arah gadis yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Gadis itu langsung memeluk pria yang di panggilnya papa. Menangis terisak di d**a pria itu.
"Papa kenapa? Papa jangan tinggalin Anya, Pa. Anya nggak mau papa pergi..." Terdengar pilu isakan gadis yang masih berseragam SMA itu.
Tangan Bastian terangkat, mengusap puncak kepala anak semata wayangnya. Anya Kusuma Gayatri. Dibalik masker oksigen, Bastian tersenyum kecil. Ternyata gadis kecilnya kini sudah tumbuh dewasa. Sudah hampir lulus SMA. Bastian tidak pernah menyangka kalau waktu sangat cepat berlalu.
"Anya... Anak kesayangan papa," lirih Bastian.
"Jangan tinggalin Anya, Pa. Papa bilang mau lihat Anya nikah. Papa harus bertahan, Pa..."
Sintya mengusap punggung anak gadisnya itu dengan lembut. Ia tahu perasaan Anya pasti sangat hancur melihat papanya seperti ini.
Sementara Raiden, dokter muda itu hanya tertunduk pilu melihat pemandangan yang sangat menyakitkan di depan matanya. Ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Penyakit yang di derita oleh Bastian sudah telanjur menyebar dan tidak bisa di tangani lagi.
"Papa mau lihat kamu menikah," ujar Bastian lagi.
Anya pun mengangguk semangat. Ada secercah harapan karena papanya memiliki semangat hidup lagi.
"Iya, Pa. Makanya papa harus sembuh, ya? Biar nanti pas Anya menikah, papa bisa lihat. Belum lagi kalau nanti Anya punya anak, papa pasti seneng kan kalo papa punya cucu?" Ujar Anya dengan penuh semangat. Senyumannya pun tak luntur sedikitpun dari pipinya meskipun air matanya terus mengalir.
Bukannya menjawab, Bastian mengalihkan pandangannya ke arah Raiden. Seorang dokter muda yang menanganinya dengan baik. Dan juga anak dari seorang sahabatnya. Bastian mengenal Raiden dengan sangat baik.
"Raiden..." Panggil Bastian yang kali ini tanpa embel-embel Dokter.
Raiden pun segera mendekati brankar Bastian. "Iya, Om?"
"Tolong nikahi anak saya."
Bagai disambar petir di siang bolong, Raiden terkejut mendengar permintaan Bastian. Apa katanya? Menikahi anak gadisnya yang masih SMA itu?
Meskipun kini usianya sudah menginjak angka 25 tahun, tapi Raiden masih belum memikirkan untuk memiliki hubungan yang serius. Ia masih ingin meniti karirnya. Ia juga masih mau menikmati masa sendirinya.
Lagipula Raiden ini tipe yang pemilih. Ia membutuhkan ibu yang baik untuk calon anaknya kelak. Bukan yang seperti... Mata lelaki itu menatap gadis yang berdiri di depannya.
Tubuhnya yang terbalut seragam SMA dan terlihat berantakan. Rambutnya yang di warnai seperti pelangi, serta ada beberapa printilan aksesoris seperti anak punk menempel di tubuhnya membuat Raiden bergidik ngeri. Mana mungkin ia bisa menikahi gadis seperti ini?
Raiden berdehem sebentar. Ia tidak mungkin menyetujui permintaan Bastian yang tidak masuk akal ini.
"Maaf, Om-"
"Aku setuju dengan ucapanmu, Bas."
Kini semua mata tertuju ke arah seorang pria paruh baya yang baru saja masuk ke dalam ruang rawat Bastian. Kedua mata Raiden membulat saat melihat Pramana-papanya, tiba-tiba mengatakan hal yang sangat bertentangan dengan keputusan Raiden.
"Aku setuju kalau kau menginginkan anakku menikahi putrimu. Lagipula Raiden ini sudah cukup matang untuk membina rumah tangga. Meskipun Anya masih SMA, toh sebentar lagi dia akan lulus. Jadi tidak akan masalah jika mereka menikah. Untuk sementara waktu pernikahan mereka di rahasiakan dulu," tutur Pramana tanpa melihat ekspresi Raiden yang sudah menahan kesal.
"Pa-"
Ucapan Raiden terhenti saat Pramana melayangkan tatapan tajam ke arah lelaki itu. Membuat Raiden mau tidak mau kembali menutup mulutnya.
"Anya... Kamu mau kan, Nak?" Ujar Bastian dengan penuh harap. "Ini permintaan papa yang terakhir, Nya."
Tanpa pikir panjang, Anya pun langsung menganggukkan kepalanya. Ia tak kuasa melihat tatapan papanya yang penuh harap. Belum lagi saat Bastian mengatakan kalau ini permintaan terakhirnya.
Raiden yang melihat Anya menganggukkan kepalanya pun ikut geram. Bagaimana bisa gadis itu tidak menolak sama sekali? Apa gadis itu tidak tahu kalau Raiden tidak menyetujuinya?
Setelah keduanya saling setuju untuk menikah, maka tidak butuh waktu lama bagi Pramana untuk menyiapkan pernikahan mereka yang sangat sederhana. Hanya sebatas ijab qobul saja. Itupun di lakukan di ruangan Bastian. Karena itu permintaan terakhir Bastian.
"Mari jabat tangan saya," ucap sang penghulu meminta Raiden untuk menjabat tangannya.
Raiden dengan berat hati memberikan tangannya untuk di jabat oleh sang penghulu. Mereka berjabat tangan di atas tubuh Bastian.
"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, Raiden Diwangkara bin Pramana Diwangkara dengan Anya Kusuma Gayatri binti Sebastian dengan mas kawin uang senilai seratus ribu rupiah dan seperangkat alat sholat di bayar tunai!"
"Saya terima nikah dan kawinnya Anya Kusuma Gayatri binti Sebastian dengan mas kawin tersebut di bayar tunai!"
"Alhamdulillah!!"
Semua orang mengucapkan puji syukur karena kini Raiden dan Anya sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Anya pun langsung mencium tangan Raiden. Begitu juga dengan Raiden yang disuruh oleh Pramana untuk mencium kening Anya.
Bastian yang menyaksikan anaknya menikah pun tersenyum bahagia. Ia bahkan sampai meneteskan air matanya.
"Anak papa sudah menikah..." Ujar Bastian dengan lirih.
Anya pun memeluk Bastian dengan erat. Ia tidak mengucapkan sepatah katapun. Yang ia lakukan hanya memeluk Bastian untuk terakhir kalinya. Ia dapat merasakan Bastian mengusap kepalanya dengan lembut hingga perlahan usapan itu mulai melemah. Tangan Bastian terkulai lemas di samping brankar.
"PAPA!!!!"