Penawaran Kesepakatan

1159 Kata
Erland memulai percakapan. "Apa Papi Mami sudah tahu tentang ini? Kamu sudah memberitahukan mereka?" "Jadi itu yang Mas takutkan sekarang. Mas tidak mengkhawatirkan perasaanku?" "Aku sedang tidak bercanda. Cepat katakan, apa mereka sudah tahu?", Erland meninggikan suaranya. "Apa mereka menelepon Mas? Seharusnya Mas sudah mendapatkan jawabannya." "Baguslah, kamu cukup tahu diri. Kamu harus tetap merahasiakan ini dari mereka. Mengerti?" "Aku mengerti, Mami sedang menjalani pengobatan. Aku tidak mau menganggu kesehatan Mami dengan masalah ini tetapi aku juga tidak mau berlarut-larut dalam masalah ini." "Apa maksudmu?" "Aku akan menunggu sampai Mami selesai menjalani pengobatannya. Setelah itu, lebih baik kita akhiri pernikahan ini." "Hah...., gue nggak salah dengar. Elu mau gue terlihat jelek di mata mereka. Elu mau gue di usir dan di coret dari keluarga.", Erland mulai berbicara kasar dengan Vanessa. "Bukankah Mas mencintai wanita itu? Daripada kalian bermain belakang seperti itu, mengapa Mas tidak menikahinya?" "Elu pikir gue nggak pernah berniat menikahinya, gue sangat ingin menikahinya tapi Papi Mami tidak menyukainya. Mereka menentang hubungan kami bahkan menghina dan merendahkan Cindy." Vanessa tidak pernah tahu apa yang telah dilalui oleh Erland dan Cindy namun yang dia tahu sekarang bahwa hubungan mereka di belakangnya adalah salah. "Maaf Mas, keputusan ku sudah bulat. Aku rasa ini baik untuk kita semua." "Elu harus ingat, elu cuma anak yatim piatu yang dibiayai oleh orangtua gue. Orangtua gue itu berjasa besar jadi seenggaknya elu harus jadi menantu yang baik. Dan elu harus bersyukur bisa jadi istri gue, kehidupan elu terjamin." Vanessa tertawa. "Ha.. ha.. ha... mungkin lebih tepatnya kehidupan Mas dan selingkuhan Mas yang terjamin." Tatapan Erland semakin tajam namun Vanessa tidak gentar. Erland setidaknya mengerti sifat Vanessa, Vanessa itu terlalu memikirkan orang lain, jadi Erland memberitahukan keadaan kakek Vanessa. "Baik...., bila itu mau elu. Gue nggak akan menghalangi. Sekarang gue bakal telepon ke rumah sakit buat menghentikan semua pengobatan buat kakek elu." Vanessa terkejut. "Apa maksud Mas? Ada apa dengan kakek?" "Bodoh... Kakek elu itu sakit parah. Dia butuh donor ginjal secepatnya. Elu pikir kenapa dia pengen elu nikah sama gue dan dia setuju kita tinggal di Bandung?" Mendengar itu mata Vanessa berkaca-kaca. "Kakek nggak mungkin sakit. Aku akan telepon kakek sekarang." "Kakek elu minta gue merahasiakan penyakitnya, lalu apa yang akan terjadi bila tiba-tiba cucu tersayangnya tahu terlebih lagi sekarang dia sedang dirawat intensif? Mungkin dia bisa syok lalu mati." (Airmata Vanessa mengalir begitu saja.) "Jadi bagaimana bila kita membuat kesepakatan?" Vanessa berpikir sejenak, mencoba tenang dan merangkai hal-hal yang terjadi dengan kakeknya. Dia memang heran saat kakeknya setuju dia tinggal jauh dari sang kakek dan mengapa sang kakek sangat mendukung pernikahannya dengan keluarga Hutama. Akhirnya, dia tahu alasannya. "Kesepakatan apa maksud Mas?" "Begini, gue akan membiayai semua pengobatan kakek elu bahkan secepatnya mencari donor ginjal dan menanggung operasi kakek elu sampai dia sembuh total. Dan elu tetap jadi istri gue sampai Papi percaya gue bisa meneruskan bisnisnya dan mengalihkan bisnisnya atas nama gue. Di saat itu, gue yang akan menceraikan elu dengan alasan yang.... pokoknya nggak ngejelekin nama gue." "Bukankah ini sama-sama menguntungkan kita? Kamu pasti tahu untuk mendapatkan donor ginjal tidaklah mudah dan butuh biaya besar. Tapi dengan pengaruh keluarga Hutama, gue bisa cari donor itu secepat mungkin karena kata dokter, kakek lu nggak akan bisa bertahan lama bila tidak menemukan donor yang cocok dalam waktu sebulan ini." "Beri aku waktu untuk berpikir, aku tidak dapat menjawabnya sekarang?", pinta Vanessa. "Baik, tidak masalah. Gue tunggu jawaban elu secepatnya." Erland meninggalkan Vanessa yang terduduk lemas di sofa. Vanessa memutuskan untuk mencari tahu keadaan kakeknya yang sebenarnya. Dia juga tidak ingin Erland membodohinya. Vanessa menghubungi Lidya untuk meminta bantuan. "Halo, Lid, apa kabar? Bagaimana pekerjaanmu?" "Nessa...., aku di sini baik. Pekerjaanku lancar seperti biasa. Bagaimana kabarmu? Apa suamimu romantis? Pasti romantis, kalian kan pengantin baru masih hottt....." "Aku juga baik. Iya biasa aja Lid, kami kan dijodohkan jadi ya begitulah. Aku menelepon ingin minta bantuanmu. Aku khawatir dengan kakek." "Khawatir kenapa Ness?" "Aku merasa kakek tidak baik-baik saja tetapi beliau tidak mau memberitahuku. Lid, tolong cari informasi tentang keadaan beliau dan tolong kabari aku secepatnya." "Baiklah, kamu jangan terlalu cemas Ness. Besok pagi aku akan mengunjungi kakekmu." "Thankyou ya Lid, aku jadi merepotkan kamu." "Tidak apa Ness, aku justru senang bisa membantu." Pagi-pagi sekali sebelum berangkat kerja, Lidya langsung ke rumah kakek Vanessa. Dia mengetuk pintu tapi tidak ada yang membuka lalu dia bertanya ke tetangga sekitar. Tetangga di sana mengatakan sudah 2 hari ini beliau tidak di rumah. Beliau di bawa ke rumah sakit. Lidya terkejut mendengarnya lalu segera menuju rumah sakit tempat beliau di rawat. "Firasat seorang cucu memang tidak salah. Tapi sepertinya kakeknya tidak ingin Vanessa khawatir. Aku harus bagaimana?" Lidya masih berdiri di depan ruang VIP. Saat itu, pas jam kontrol dokter yang memeriksa kondisi Barata. Dokter itu melihat Lidya lalu menyapanya. "Pagi, ada yang bisa dibantu?" Lidya langsung paham dokter ini adalah dokter yang menangani Barata. "Pagi Dok, bisa kita bicara di ruangan dokter. Saya kerabatnya pasien di kamar ini." "Lalu mengapa Anda tidak masuk?" "Ini justru yang ingin saya jelaskan ke dokter." "Saya harus memeriksa kondisi pasien ini dan pasien saya yang lain. Nanti jam 8 baru kita ke ruangan saya bila ada yang ingin dibicarakan." "Ini mendesak Dok, tolong sebentar saja. Please...." Lidya mengekspresikan wajah memohon sambil memberi senyum. Entah kenapa jantung sang dokter menjadi berdebar. Akhirnya dia setuju bicara dengan Lidya. Mereka pergi ke ruangan dokter. Lidya melihat papan nama yang terpampang di depan pintu. "Darren Notonegoro, Sp.PD-KGH." "Begini dokter Darren, Anda spesialis nefrologi, berarti kakek Barata terkena penyakit ginjal. Bagaimana tingkatan penyakit beliau?" "Maaf sebelumnya, boleh saya tahu hubungan Anda dengan pasien? Setahu saya, wali beliau adalah Pak Erland Hutama." "Saya ini, temannya cucunya kakek Barata. Nah, cucunya minta tolong ke saya untuk mencari tahu kondisi kakeknya. Tapi.... kenapa dia tidak langsung menanyakan ke suaminya, ya Dok?" Lidya bingung dengan yang terjadi. Dia berpikir sambil menggembungkan pipinya. Hal ini menarik perhatian Darren. Dia pun senyum-senyum sendiri. "Manisnya...." "Ha...., apa yang manis, Dok?" "Tidak, maksud saya kamu ini teman cucu Pak Barata dan kamu diminta mencari tahu kondisi beliau. Lalu Pak Erland, wali beliau adalah suami dari cucu Pak Barata. "Tepat sekali Dok. Jadi, kira-kira mengapa teman saya repot-repot mencari tahu ya, Dok?" "Untuk hal itu saya tidak bisa menjawabnya tapi tentang kondisi Pak Barata, penyakit gagal ginjal beliau sudah stadium 4. Beliau butuh donor ginjal secepatnya." Setelah mendapatkan informasi itu, Lidya segera meninggalkan ruangan Darren padahal Darren ingin menanyakan namanya. "Terimakasih Dok, saya permisi dulu." Di taman, Vanessa sedang duduk di sebuah bangku panjang. Di tatapnya langit yang masih oranye. "Pa... Ma... kalian sedang apa di surga? Nessa bingung harus apa, Nessa juga cemas dengan kakek. Cuma kakek yang Nessa miliki sekarang." Mario yang sedang lari pagi, melihat Vanessa. Dia melihat penampilan Vanessa yang kusut dan tidak berganti pakaian. Dia tahu pasti Vanessa tidak tidur semalaman. Mario berlari melewati Vanessa tapi Vanessa sedang larut dengan pikirannya. Mario berulang kali berlari melewatinya sambil memperhatikannya lalu dia duduk di samping Vanessa dan menawarkan sebotol air mineral.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN