3. Pendekatan

3076 Kata
"Apa kamu tidak apa-apa, Nona? Apa kamu terluka juga?" tanya Reza beruntun. Posisi Reza yang begitu dekat, seraya memegang lengan kanan Ara membuat keduanya saat berbicara seperti tidak ada jarak di antara mereka. Bahkan, terasa embusan napas keduanya saling menerpa di wajah mereka masing-masing. "Sa--saya tidak apa-apa, Tuan," gugup Ara. Ara mencoba menarik diri, lalu mengambil dua langkah mundur agar ia tidak terlalu dekat dengan Reza. Bukan berarti ia tidak suka berada dekat. Tapi, ia mencoba melindungi jantungnya yang berdetak tidak terkendali. Karena ia begitu gugup dihadapan pria tampan seperti Reza. Degh! Degh! Degh! Jantung Ara terus saja berdetak tidak normal, rasa gugup dan malu mulai menyelimuti benaknya. Ini adalah kali pertama ia merasakan perasaan seperti ini dengan lawan jenisnya. Sebab selama ini, ia hanya selalu dekat dengan sahabatnya saja tanpa pernah menjalin hubungan dengan seorang pria manapun. 'Kenapa dengan jantungku, kenapa berdetak tidak normal seperti ini? Apa ini tanda-tandanya aku akan sakit jantung, tapi rasa ini bukan seperti orang akan sakit. Melainkan aku merasa malu, bila di dekat pria tampan itu,' batin Ara, seraya memegangi d**a kirinya. Merasa senang, karena gadis cantik dihadapannya tidak apa-apa Reza mengembangkan senyum menawannya. Hingga terlihat lesung di pipinya. Ara melihat senyuman menawan, dari pria yang mencuri hatinya seketika membuat wajahnya merona. 'Senyuman itu begitu indah, ada lesung di pipinya. Membuat pria itu terlihat semakin tampan, apa dia sengaja mengeluarkan senyuman itu untukku?' batin Ara, dengan terus memandang wajah Reza kala tersenyum padanya. "Syukurlah, kalau kamu tidak sampai terluka. Sekarang sudah malam, apa aku boleh mengantarmu?'' tanya Reza memulai pendekatan pada Ara. Tidak ingin merepotkan, apalagi hutang budi Ara seketika menolak tawaran Reza dengan halus. Tapi, sebagai pria normal Reza pantang mundur sebelum ia mendapatkan apa yang ia mau. "Tidak perlu, Tuan, saya bisa pulang sendiri. Saya tidak ingin merepotkan. Saya juga sudah terbiasa pulang sendiri, kok, jadi Anda tidak perlu mengkhawatirkan saya. Sebelumnya terima kasih sudah berniat mengantar saya," sahut Ara sopan. Tidak ingin kehilangan kesempatan mengenal lebih dekat gadis yang mencuri hatinya, Reza pun tidak akan mudah menyerah untuk mendapatkan perhatian dari Ara, agar gadis diharapkan mau ia antar pulang. Dengan begitu, ia memiliki kesempatan banyak berkenalan dengan Ara. "Aku sama sekali tidak merasa direpotkan, kok, jadi mau 'kan aku antar kamu pulang. Aku tidak bisa membiarkan gadis secantik dirimu berada diluar sendirian, apalagi dengan situasi kota Jakarta yang kadang sulit diprediksi kejahatan di jalanan," bujuk Reza dengan kata-kata manisnya. Mendengar penuturan Reza ada benarnya, seketika Ara merasa takut sendiri bila ia mengendarai mobil di jalanan sendiri. Mengingat dibeberapa berita online yang pernah ia baca, saat ini banyak begal di jalanan. 'Ada benarnya juga kata-katanya, ah, aku jadi takut pulang bawa mobil sendiri. Kalau di tengah perjalanan, dan sepi tiba-tiba ada segerombolan orang menghadang mobilku, dengan mengancam senjata tajam itu 'kan sangat menakutkan,' batin Ara ngeri sendiri. Reza melihat perubahan wajah gadis dihadapannya tahu, kalau ucapannya tadi sedikit banyak pasti mempengaruhi pikirannya. Ia pun merasa senang, dengan begitu ia memiliki kesempatan banyak untuk mengantarkan Ara pulang. "Jadi bagaimana, apa kamu mau kalau aku mengantar kamu pulang? Untuk mobil kamu biarkan seseorang yang akan membawanya, kamu bisa naik mobilku ini. Mau 'kan?" Reza terus membujuk Ara. "Tapi ....?" "Tidak ada tapi, Gadis cantik. Aku tidak mau kamu kenapa-napa di jalan, jadi biarkan aku yang mengantarkan kamu pulang ke rumahmu, ya,'' paksa Reza dengan merangkul tubuh mungil Ara ke arah mobilnya. Dengan cepat Reza membuka pintu samping kemudi, dan meminta Ara untuk masuk ke dalam. "Sekarang masuklah,'' bujuk Reza dengan tatapan menghipnotis. Ara yang semula merasa segan, akhirnya mengikuti kemauan Reza. Tanpa pikir panjang, dan memiliki pemikiran buruk pada pria di sampingnya ia langsung masuk ke dalam mobil Reza. Setelah di dalam mobil, dan Reza telah duduk di balik kursi kemudi dan ia berada di samping Reza. Tiba-tiba hati kecilnya berontak, seolah memperingatkan. 'Ara! Bagaimana bisa kamu masuk ke dalam mobil pria yang tidak kamu kenal, bisa jadi pria di sampingmu itu akan berniat buruk padamu. Sebelum terlambat, lebih baik kamu turun," batin Ara untuk bersikap waspada. Sedangkan Reza yang berniat mulai melajukan mobilnya, sesaat memandang Ara dengan tatapan netranya tidak sama seperti tadi. Ia pun berpikir cepat, kalau gadis di sampingnya entah takut atau tidak nyaman berada di dekatnya. "Kamu kenapa, Nona? Apa kamu takut padaku, itu sangat jelas terlihat di matamu kalau saat ini kamu takut padaku?" tanya Reza beruntun dengan nada menuntut. Selama ini Reza adalah pria yang paling pintar menaklukkan hati wanita, dengan karier dan juga ketampanannya. Tapi, berbeda dengan wanita di sampingnya saat ini. Entah mengapa, sesaat ia berpikir kalau Ara itu telah takluk dalam pesonanya. Tapi, nyatanya tidak. Gadis di sampingnya seperti memendam ketakutan padanya. "Apa kamu takut padaku, Nona?" lagi-lagi Reza bertanya ingin tahu apa yang ada di benak Ara. Mendengar ucapan Reza, Ara menjawab mengangguk lucu karena sikap polosnya. Karena memang selama ini Ara tidak pernah berdekatan, ataupun menjalin pertemanan ataupun hubungan khusus dengan seorang pria manapun. "Maafkan aku telah membuatmu takut, tapi aku berjanji tidak akan macam-macam padamu Nona Ara. Sekarang kuharap kamu percaya, dan tidak takut lagi padaku," ucap Reza meyakinkan, agar Ara tidak takut padanya. Mendengar kata tulus dari bibir Reza, membuat Ara merasa tidak enak hati. Ara pun meminta maaf, karena tanpa sadar ia telah berprasangka buruk pada pria dihadapannya. "Ma--maafkan saya, Tuan. Saya seperti ini karena tidak terbiasa sedekat ini sama pria, selain Papa," jawab Ara seraya menundukkan kepalanya. Reza memandang Ara dengan tatapan penuh arti, meskipun gadis di sampingnya menunduk ia yakin apa yang dilakukan Ara tadi itu adalah hal wajar untuk melindungi diri dari orang baru dikenal Ara. 'Terlihat gadis ini begitu polos, berbeda dengan wanita yang sering kutemui. Mereka akan dengan senang hati menawarkan dirinya, dan juga cinta palsu mereka. Padahal mereka hanya senang, karena aku kaya,' monolog Reza masih menatap Ara. Reza tidak ingin, Reza dan Ara merasa canggung selama dalam perjalanan mengantar Ara ke rumahnya. Reza tanpa ragu lagi, dan memang tidak berniat buruk mencoba memberikan pengertian pada Ara bahwa dirinya bukanlah pria berengsek. ''Tidak apa-apa, rasa ketakutan dalam dirimu itu wajar. Karena kamu adalah wanita yang baik, akan selalu waspada pada orang baru di kenal. Aku sama sekali tidak menyalahkan dirimu, itu bagus." "Agar kamu percaya, dan tidak takut padaku. Aku berjanji tidak akan macam-macam padamu, kamu boleh langsung menghubungi Pak Nathan jika memang itu diperlukan,'' janji Reza. Mendengar ucapan Reza, Ara mulai merasa tenang. Ia juga tidak terlalu takut seperti tadi, sebab pria di sampingnya sudah berjanji tidak akan macam-macam padanya. "Sekarang pakai sabuk pengamanmu, aku akan mulai melajukan mobilnya," sambung Reza mengingatkan. "Baik." Dengan patuh, dan tidak takut lagi Ara mengikuti ucapan Reza. Ara langsung memakai sabuk pengaman, Reza yang melihat Ara mulai tidak takut lagi padanya mulai melakukan mobilnya. Sedangkan mobil Ara, di bawa oleh orang suruhan Reza. **** Ketika Reza mengantar Ara ke rumahnya, di kediaman Wiraguna terdengar kehebohan dari sang nyonya pemilik rumah. Wajah tuannya pun tidak kalah sama istrinya. Ya, sepulang dari pesta Pak Nathan dan Bu Nara dikejutkan, dengan laporan satpam rumahnya. Kalau putri kesayangan mereka pergi, menggunakan dan mengendarai mobil sendiri. "Bagaimana ini, Pa, Ara pergi mengendarai mobil sendirian. Mama takut terjadi yang tidak-tidak padanya seperti waktu itu, dia pulang dalam keadaan luka-luka," panik Bu Nara, dengan netra mulai berkaca-kaca. Meskipun hati Pak Nathan juga diliputi kekhawatiran, tapi ia mencoba untuk mencoba menenangkan istrinya. "Mama jangan khawatir, Ara kita pasti akan baik-baik saja. Karena sekarang Ara sudah lebih baik, saat mengendarai mobil kesayangannya." "Papa bilang seperti ini, karena Papa melihat sendiri bukti orang suruhan Papa saat mengawasi Ara belajar mengemudi mobil dengan seseorang yang ahli. Sengaja Papa biarkan Ara belajar, karena jika Papa melarang dia akan sedih, dan Papa mana tega melihat dia sedih bahkan menangi. Papa sama sekali tidak bisa," terang Pak Nathan, dan langsung memeluk istrinya. Pak Nathan memeluk Bu Nara sedikit erat, ia pun begitu menikmati momen itu. Bu Nara yang telah terbiasa dipeluk tangan kekar, dan penuh kasih sayang itu membalas pelukan suaminya tidak kalah lembut. "Benarkah, Pa. Kalau seperti yang Papa katakan, Mama sedikit tenang," harap Bu Nara. Ketika Pak Nathan telah berhasil menenangkan kegelisahan, dan. juga rasa khawatir istrinya. Di pinggir jalan, tepatnya di depan pintu gerbang utama kediaman Wiraguna. Terlihat Reza terburu keluar dari mobilnya, lalu membukakan pintu mobil untuk Ara. "Silahkan ...." Reza mempersilahkan Ara keluar mobilnya, dengan isyarat tangan kanan. "Terima kasih, Tuan." Mendengar panggilan Tuan, Reza seketika berpikir akan memberikan jarak di antara mereka. "Sama-sama. Jangan memanggilku, Tuan, karena aku bukan Tuan kamu," jawab Reza cepat. Merasa tidak boleh memanggil dengan panggilan Tuan, Ara pun menjadi bingung harus memanggil Reza apa? "Lalu saya harus memanggil saya apa, Tuan?" "Ah ... maaf." Ara merasa tidak enak hati. "Tidak apa-apa, panggil saja nama, Mas Reza, atau Sayang saja," jawab Reza cepat dengan kekehan di wajah tampannya. Merasa malu mendengar kata panggilan sayang, akhirnya Ara memilih memanggil pria tampan di depannya dengan panggilan 'Mas'. "Saya panggi 'Mas' saja, ya, itu lebih sopan dan baik,'' gumam Ara lirih, dan hampir tidak terdengar. Wajah Ara juga terlihat seketika merona, karena ia merasa malu sendiri. Bahkan, jantungnya pun langsung berdebar kencang. Reza lagi-lagi melihat sikap berbeda yang ditampilkan Ara, membuat pria tampan itu ingin memiliki hati dan juga cinta Ara. Maka untuk mewujudkan impiannya itu, ia pun harus berusaha keras dengan pendekatan lebih dekat lagi pada Ara. 'Aku harus mendapatkan cintamu, Ara. Aku yakin tidak lama lagi, kamu akan jatuh ke dalam pelukanku. Setelah melihat wajah malu-malu di wajahmu, aku sangat yakin kalau benih cinta untukku dalam hatimu mulai tumbuh,' yakin Reza dalam hatinya. Melihat Reza terdiam, dengan tatapan wajah terus mengarahnya. Ara mulai tidak nyaman, dan salah tingkah. Tidak ingin terlihat bodoh, karena malu. Maka Ara dengan cepat meminta izin untuk masuk ke dalam. "Terima kasih, karena Mas Reza telah mengantarkan saya sampai di rumah," ucap Ara tulus, sesaat ia melihat orang kepercayaan Reza telah sampai membawa mobilnya. Seperti mendengar sesuatu, Reza dengan cepat meminta Ara mengulangi kalimat yang baru Ara ucapkan. "Tolong ulangi kalimatmu yang tadi, Ara. Aku tidak mendengarnya, maaf aku sempat melamun tadi," pinta Reza ingin tahu. "Terima kasih, karena Mas Reza telah mengantarkan saya sampai di rumah," ulang Ara. "Oh, sama-sama. Apa boleh aku meminta nomer ponselmu? Biar kita tidak saling melupakan, dan kita bisa tetap bersilaturahmi," alibi Reza dengan alasan silaturahmi, padahal niatnya ingin mendekati Ara. "Hemm ... boleh, kok, sebentar," sahut Ara, dengan mengambil ponsel di tas selempangnya. Setelah ketemu ia memberikan ponsel itu sama Reza. "Ini, Mas." Reza mengambil cepat ponsel Ara, dan melihat di layar ponsel terlihat nomer gadis cantik di hadapannya. Tanpa membuang waktu Reza mengetik nomer Ara di dalam ponselnya setelah menyimpan nomor Ara, hal pertama yang ia lakukan adalah menghubungi nomer baru itu. Drrrrtt Tanpa Nama Reza langsung menelepon nomer Ara, tidak lama nomer Reza terpampang di layar ponsel gadis cantik itu. "Ini adalah nomer ponselku, cepat simpan," ucap Reza seraya mengembalikan ponsel Ara. "Baik, Mas." Saat Ara menyimpan nomer Reza, Reza berniat untuk pamitan pulang. Untuk kali ini, ia akan bersikap seperti pria gentleman. Tapi, tidak untuk lain kali. Ia akan datang ke mari dengan status yang berbeda, yaitu sebagai kekasih Ara. 'Lebih baik aku pamitan pulang dulu, nanti aku akan datang ke mari lagi sebagai kekasih Ara. Karena setelah mendapatkan nomernya, aku akan mendekati dia dan aku harus bisa mendapatkan hatinya,' batin Reza dengan rencananya. Ara selesai menyimpan nomor Reza, ia pun mengembalikan ponsel pria itu. Merasa tidak ada hal yang dibicarakan lagi, ia dengan sekadar basa basi menawarkan Reza untuk mampir ke rumahnya. "Ini ponselnya, Mas. Apa Mas Reza mau mampir dulu ke dalam," tawar Ara. "Tidak terima kasih, mungkin lain kali aku akan ke mari. Apa boleh, nanti aku bertandang ke rumah kamu Ara?" tanya Reza lembut. Karena tidak ingin membuatnya terlihat sombong, Ara menganggukkan kepalanya seraya menjawab keinginan Reza. "Tentu saja boleh, silahkan," jawab Ara. "Oke, terima kasih. Sekarang aku balik dulu, kamu masuk duluan," senang Reza. Reza berniat masuk, tapi sebelum itu ia ingin melihat Ara masuk ke rumahnya terlebih dahulu. "Tidak, saya ingin melihat Mas pergi dahulu." "Baiklah, sampai ketemu lagi nanti," pamit Reza dengan melambaikan tangan. "Iya, sampai ketemu nanti juga," Ara membalas melambaikan tangan juga. Tidak lama, mobil Reza melaju pergi hingga mobil itu tidak terlihat. Tanpa Ara ketahui jika di dalam rumah, ia telah di tunggu oleh kedua orang tuanya, dan itu tidaklah baik buat Ara. *** Sudah hampir dua minggu Tristan bekerja sebagai supir di keluarga Wiraguna, selama seminggu itu pula ia begitu pintar dalam menutupi jati diri dan juga identitasnya. Untuk masalah kantor sudah Tristan percayakan pada sahabatnya, Dion. Tapi, saat ada meeting penting dan tidak bisa di wakilkan tetap saja ia sendiri yang turun tangan. Seperti saat ini, ketika Tristan sedang mencoba kerja sama dengan perusahaan properti milik Reza. Mengharuskan ia datang sendiri, di restoran yang sudah ditentukan oleh pihak Reza. Ia pun tidak tahu, jika rekan bisnisnya adalah Reza tunangan Ara. Namun, yang menjadi persoalan sekarang Tristan tidak mudah pergi ke mana pun sesuai keinginannya. Mengingat saat ini ia dalam penyamaran sebagai supir dari Ara. "Nona, untuk jadwal hari ini kita ke mana? Karena nanti sore saya izin pulang lebih awal, sebab ada hal penting yang harus saya kerjakan," ucap Tristan seraya mengendarai mobil menuju mall. Ara yang semula fokus dengan ponselnya, seketika menoleh ke arah Tristan. "Kira-kira jam berapa kamu pergi, Al?" tanya Ara lembut. "Sekitar jam tiga, kenapa?" tanya Tristan balik. "Ya, tidak apa-apa. Kamu pergi, setelah aku berbelanja beberapa bahan untuk desain pakaianku nanti," jelas Ara. "Baiklah." Tristan pun melajukan mobil Ara dengan sedikit kecepatan, hingga tidak sampai tiga puluh menit mobil yang dikendarai Tristan telah terparkir rapi di tempat parkir. Ara keluar lebih dulu, kakinya yang terkilir dua minggu lalu kini sudah sembuh. Merasa senang karena ia akan berburu kain untuk desain pakaiannya nanti, ia pun berjalan memasuki mall. Senyum ceria terus saja menghiasi wajah cantiknya, Ara pun dengan antusias memandang ke sekeliling mall. Saat Ara akan berjalan ke salah satu toko kain yang biasa menjadi langganannya, tiba-tiba pandangannya jatuh pada pria dan wanita sangat ia kenal tengah berjalan menuju toko tas. Degh! 'Bukankah mereka Reza dan Shintia?' 'Kenapa mereka bersama, dan terlihat mesra? Apakah mereka mempunyai hubungan di belakangku?' gumam Ara seraya mengikuti Reza dan Shintia. Degup jantung Ara berpacu dengan cepat, hatinya tiba-tiba merasa tercubit. Namun, dalam doa ia berharap apa yang ia lihat adalah salah. 'Aku yakin mereka bukan Reza dan Shintia, mereka tidak akan tega menyakiti dengan menusukku dari belakang,' gumam Ara masih mempercayai Reza dan Shintia. Reza dan Shintia tidak tahu, jika Ara mengikuti keduanya masuk ke dalam toko tas wanita. Sejak pulang dari Amerika tiga minggu yang lalu, Reza lebih sering menghabiskan waktu untuk urusan kantornya. Sisanya ia habiskan bersama Shintia, sedangkan untuk Ara, Reza hanya meluangkan waktu beberapa menit dengan cara menelepon. Ara yang polos, dan terlalu mencintai Reza hanya bisa percaya dengan setiap ucapan tunangannya. Setelah masuk ke dalam toko tas, Shintia mulai melihat-lihat. Sesekali ia meminta pendapat dari Reza, apakah tas yang tengah ia pegang bagus dan cocok buatnya. "Sayang ... coba lihat tas ini, apakah cocok saat aku pakai ke pesta besok malam?" Shintia bertanya. Reza hanya menunjukkan ibu jari, sebagai tanda cocok bila Shintia memakainya. Mengingat wanita di depannya memang cocok memakai apa pun, termasuk tas berwarna hitam di tangannya. Entah mengapa tiba-tiba perasaan tidak nyaman, seperti ia tengah di awasi oleh seseorang. Namun, ia mengenyahkan pikirannya. 'Kenapa pikiranku tiba-tiba tidak enak, seperti ada seseorang yang tengah mengawasiku,' monolog Reza, seraya melihat ke sekelilingnya. Tapi, Reza tidak melihat seseorang yang berada di belakang punggungnya dengan tatapan terluka. Ya, seseorang di belakang Reza adalah Ara. Wanita itu sebelumnya tidak mempercayai apa yang ia lihat sendiri. Tapi, pendengaran dan juga netranya tidak lagi bisa membohongi dirinya. Jika di hadapannya saat ini adalah Reza dan Shintia, yang merupakan tunangan sekaligus sahabatnya sendiri. Tes. 'Tega kamu, Za!' 'Apa kurangnya cintaku padamu, bahkan seluruh hatiku telah kuberikan padamu.' 'Tapi, ini yang kamu berikan padaku sebagai balasanya dengan mengkhianati cinta dan kepercayaanku,' gumam Ara seraya mengepalkan kedua tangannya. Ketika Ara melihat dengan mata kepalanya sendiri, jika Reza begitu memanjakan Shintia. Bahkan tunangannya itu tidak sungkan lagi, saat memberikan kecupan di bibir Shintia. Ketika Ara merasakan luka kar pengkhianatan, Tristan terus mencari keberadaan Ara. 'Di mana wanita ceroboh itu? Bukannya tadi aku sudah memperingatkan agar tidak pergi jauh, dan selalu membuatku khawatir,' batin Tristan. 'Apa! Kenapa juga aku harus mengkhawatirkan wanita itu, kakinya sudah sembuh. Jadi, biarkan dia pergi sesuka hatinya. Lebih baik aku pergi ke mobil saja, dan menunggunya di sana,' monolog Tristan. Tristan mulai melangkahkan kakinya beberapa langkah. Tapi, tiba-tiba langkahnya terhenti ketika ia melihat bayangan Ara lewat kaca bening di salah satu toko. Tristan memandang sesaat Ara dari jarak lumayan jauh, dan betapa terkejutnya saat ia melihat jika Ara berada di belakang dua orang yang berarti dalam hidup Ara. 's**t! Kenapa dia bisa bertemu kedua pasangan berengsek itu, gawat kalau Ara sampai bertengkar,' panik Tristan. Setelah itu ia mempercepat langkahnya, karena ia melihat Ara yang ingin menghampiri Reza dan Shintia. Apalagi di depan Ara terlihat, Shintia tengah memberikan kecupan di bibir Reza. Ya, setelah Shintia mendapatkan tas incarannya. Ia memberikan kecupan bibir, sebagai tanda terima kasih karena Reza telah membelikan tas yang harganya cukup mahal. Grepp! Tristan datang dengan gerakan cepat memutar tubuh Ara, hingga Ara menghadap ke arah d**a bidangnya. ''Jangan melihat, jika hatimu tidak kuat menerimanya,' bisik Tristan di samping telinganya. Ara yang mengenal suara dan harum parfum khas milik Tristan, hanya bisa menumpahkan kesedihan serta luka dalam hatinya. Ara menangis sesenggukkan, hingga suara tangisannya di dengar semua orang dalam toko tas. Termasuk di dengar juga oleh Reza dan Shintia. 'Sepertinya aku kenal suara ini?' batin Reza, setelah itu ia membalik badannya dan melihat wanita yang selama dua minggu ini tidak pernah ia temui. Sekarang dalam keadaan menangis. ''Ara, Sayang!'' panggil Reza dan berniat menghampiri. Namun, Shintia yang sadar jika Reza akan menghampiri Ara seketika melarang dan menahan langkah Reza. "Jangan pergi ... aku mencintaimu, Sayang," ucap Shintia cukup keras. Hingga Ara yang sebelumnya menangis, dan menyembunyikan wajahnya di d**a bidang Tristan seketika menoleh, ketika mendengar suara Shintia dengan PD mengatakan cinta pada tunangannya. "Kenapa kamu tega padaku, Shintia?" "Kamu jahat! Salahku apa sama kamu, kenapa kamu bisa merebut Reza dari sisiku?" tanya Ara dengan tangisan. "Hehee ... kamu tidak pernah salah apa pun padaku, tapi aku tidak menyukai apa yang sempurna padamu," jawab shintia dengan mengejek Ara. Tristan dan Reza hanya bisa terdiam, dengan berjaga tentunya. Karena keduanya tidak mau Ara dan Shintia berkelahi. "Nona, ayo kita pulang," ajak Tristan. "Aku tidak mau, Al.' tolak Ara. "Karena aku ingin menyelesaikan semua ini dulu, Al" jawan Ara masih dengan tangisannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN