Ujian kelulusan sudah selesai terlaksana. Selama seminggu penuh ini, papa banyak bercerita tentang teman-temannya yang berkuliah di luar negeri, mengambil gelar doktor dan ada pula yang berproses untuk mendapatkan gelar profesor.
Papa selalu bercerita dengan penuh semangat, antusiasme yang tinggi, dan harapan yang menggebu-gebu agar aku tertarik untuk berkuliah di luar negeri.
"Pa."
"Ya, Muiz?!" tanggap papa cepat, benar-benar penuh semangat. Aku tak sampai hati menolak semua usaha yang dilakukan papa untukku.
"Muiz sudah menentukan."
Mata yang biasanya memancarkan aura kasih sayang dengan tatapan teduh itu kini membulat sempurna. "Benarkah!?" tanya papa antusias.
Kedua sudut bibirku tersenyum simpul, ditambah sedikit anggukan, sempurna sudah itikad anak baik di dalam diriku-- seperti yang diharapkan papa dan mama, namun dibenci oleh Naomi.
"Muiz mau melanjutkan kuliah ke luar kota, Pa."
Papa terdiam sejenak, sorot antusiasnya membeku, senyumnya berubah kaku. "Ke... keluar kota? Bu... bukan ke luar negeri?" Aku tau, harapan papa jadi rontok perlahan saat ini.
Aku mengangguk. "Ya Pa, ke luar kota."
Mama yang sedang menyeduh kopi hitam untuk papa tersenyum tipis mendengar jawabanku. "Kampus di sini tidak jauh berbeda dengan kampus di luar negeri kok Pa. Jadi jangan paksa Muiz buat ke luar negeri, biarkan saja Muiz memilih tempat dia melanjutkan pendidikannya sendiri. Bukan begitu Muiz?"
Aku tersenyum tipis mendengar dukungan mama-- pematah antusiasme papa.
Papa menghela nafas dengan raut muka yang tak bisa dirangkai dengan sepotong kata saja. Papa menatap wajahku lamat-lamat dengan garis muka serius dan penuh wibawa. "Kamu serius?"
Kepalaku refleks tertunduk, mengangguk, mengiyakan.
Papa membuang nafas perlahan, memasang wajah ala bapak-bapak yang pasrah dengan keputusan anaknya. "Jika itu yang terbaik bagi Muiz, Papa akan dukung."
Senyum sumringah langsung menghiasi bibirku, aku memeluk papa-- padahal aku tak pernah memeluk ayah kandungku sendiri. Mengucapkan terima kasih pada papa dan mama yang selalu mendukung setiap hal yang kulakukan selama ini.
Terima kasih, sungguh terima kasih, orang-orang baik.
oOo
Laki-laki 25 tahun berkulit sawo matang itu mendorong hati-hati pintu rumahnya agar tidak mengeluarkan suara-- lupa bahwa di rumahnya tidak ada siapa-siapa, bahkan apa pun, selain barang-barang dasar rumah tangga seperti lemari plastik kecil berisi pakaian yang tidak seberapa, sudah koyak-koyak semua pula, dan beberapa alat makan; piring dan sendok yang digunakan bergiliran setiap harinya oleh satu orang yang sama.
Laki-laki 25 tahun berkulit sawo matang itu punya definisi miskin yang sesungguhnya. Sudah miskin, tak punya siapa-siapa pula. Jadi jika dikatain miskin, ia tak akan bisa membantah dengan alasan: "walau miskin harta, aku kaya keluarga." Tak bisa pula ia berdalih dengan alasan: "kaya teman" karena temannya hanya si rambut landak seorang. Jika alasannya: "kaya hati" itu sudah pertanda keputusasaan dengan meninggikan diri sendiri, agar tak terlihat menyedihkan. Ironis.
Tapi orang "miskin" bukan berarti orang yang menyedihkan. Orang miskin hanyalah mereka yang kurang beruntung, mereka yang tak punya kesempatan, mereka yang tak bisa mendapatkan peluang, dan tak sedikit dari mereka yang malas melakukan perubahan.
Dunia ini tidak adil, tapi sebenarnya juga adil.
Laki-laki 25 tahun berkulit sawo matang membuka surat hijau dengan degup jantung yang bertempo cepat, telapak tangannya basah saking gugupnya membaca tulisan yang ada di balik kertas hijau itu. Tulisan yang akan menjadi pelabuhan cintanya, atau bisa saja sebaliknya.
Lipatan pertama terbuka sempurna, disusul lipatan kedua yang akhirnya menampilkan semua laman surat yang kini bekas lipatan kertas memisah seperempat sisinya. Laki-laki berkulit sawo matang itu tau betul, surat yang di tangannya kini benar-benar surat dari sang pujaan hati-- mahasiswi cantik yang sering lewat di depan proyek.
Terbukti dari kalimat pertama yang menyentuh hati. "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh, bang." Doa keselamatan dari sang pujaan hati mengalahkan sekodi tumpukan puisi dari penyair ter-indie.
"Wa'alaikumsalam," gumam si lelaki sawo matang dengan senyum yang tak pernah pudar.
Paragraf pertama. "Abang pasti bertanya-tanya kenapa Hanum memberikan Abang surat seperti ini, tidak berbicara secara langsung saja. Karena itu Hanum minta maaf sudah membuat abang bingung."
Paragraf kedua. "Kata teman-teman Hanum, Abang suka dengan Hanum? Suka sebagai lawan jenis?"
Wajah si laki-laki berkulit sawo matang itu berubah panas, dia tersipu malu.
Masih paragraf kedua. "Atau Hanum kegeeran? Karena Hanum juga menganggap Abang punya rasa pada Hanum?"
Si laki-laki berkulit sawo matang itu menggelengkan kepalanya dengan cepat-- macam orang bodoh saja, dia pikir itu surat adalah obrolan tatap muka langsung dengan si mahasiswi.
Masih sambungan paragraf kedua. "Haha. Maaf sudah membuat Abang jadi tersipu malu."
Si gila itu (laki-laki 25 tahun berkulit sawo matang) kini menutup mulutnya, gemas dengan si mahasiswi-- padahal hanya surat.
Paragraf ketiga. "Bang, untuk saat ini Hanum tidak ada pikiran dan niatan untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Jadi maaf... lebih baik Abang hapus saja perasaan Abang pada Hanum, karena Hanum tidak ingin menjadi sumber dosa buat Abang. Mari kita sama-sama memperbaiki diri lebih lagi, dengan tidak menjadi sumber zina dan penikmat zina itu sendiri."
Degup jantung laki-laki berkulit sawo matang kini berdetak pelan, seirama, normal.
Paragraf keempat dan terakhir. "Jika benar jodoh, pasti ada saja jalannya. Dan jika bukan jodoh, wajib bagi kita untuk menerima dengan lapang d**a setiap keputusan dan ketetapan dari-Nya, karena itu yang terbaik buat kita."
"Terima kasih sudah menyempatkan waktu Abang untuk membaca surat ini. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh."
Kemantapan hati untuk mengutarakan perasaan yang sudah lama ia persiapkan kini gugur perlahan, mahasiswi cantik itu sudah menolaknya dengan alasan yang syar'i, bahkan sebelum si lelaki berkulit sawo matang menyampaikan perasaannya yang dinamakan cinta itu. Ternyata isi surat hijau itu bukan tempat pelabuhan, tapi lautan kosong tak berombak yang tiba-tiba menelan kapal yang ada di atasnya-- lenyap, hilang ditelan bumi.
Perasaan si lelaki terguncang, ia tidak marah, pun tidak sedih. Tapi jelas, penolakan tetaplah penolakan, apa pun alasannya dan apa pun sumber dari alasan itu, semuanya tetaplah penolakan. Lelaki itu ditolak.
Setelah termenung cukup lama dengan tubuh tersandar di dinding rumahnya yang lapang-- sebab sama sekali tidak punya gantungan dinding, semisal jam, kalender, foto, kaligrafi, atau yang sudah jelas mustahil bagi si lelaki 25 tahun berkulit sawo matang, lukisan. Lelaki itu tersenyum tipis dengan sorot mata sayu. Beginilah jika mencintai seseorang yang kuat agamanya, kuat pendiriannya, baik akhlaknya, dan tinggi pemahamannya, tak akan pernah ia terjerumus pada sesuatu yang dinamakan "pacaran" tak akan mau ia menjadi sumber "dosa" bagi orang lain, sebuah dosa bernama "zina" yang tak ia ingin dan tak pernah ia berniat untuk menjadi "sumber" nya.
Cinta itu datang dengan tiba-tiba, tak bisa ditahan dan dilawan begitu saja. Cinta itu indah, karena cinta adalah perasaan yang baik. Tapi sejatinya cinta tak selalu baik, jika kita terjerumus ke dalamnya dalam hal-hal yang tak disukai Tuhan, maka cinta akan menjadi sebuah dosa. Namun, jika sebuah hubungan sudah dilandaskan dengan akad, maka cinta akan menjadi sebuah pahala, perjalanannya akan sangat bermakna.
Laki-laki berkulit sawo matang itu tau betul, pemahaman agamanya 0 besar, ia bukan orang yang religius, agama hanya sepotong kata yang tertulis di kartu tanda penduduk miliknya, tak pernah ia implementasi manfaatnya, tapi entah kenapa, mahasiswi berkerudung panjang itu menghantarkan hatinya ke pelabuhan bernama cinta, membuatnya mau belajar memperbaiki diri.
Belum genap senyuman sendu si lelaki pudar, suara adzan maghrib berkumandang menghiasi langit-langit yang senja kemerahannya sudah menghilang jadi abu-abu, belum gelap sempurna, si lelaki bergegas ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya dari keringat setelah seharian bekerja di proyek. Ia punya tujuan besar malam ini.