Bab 6: Sumpah Baru

1317 Kata
Setelah musim duren selesai, aku diantar papa dan mama ke bandara. Hari ini menjadi hari perpisahan kami, aku akan melanjutkan pendidikanku di kota besar, meninggalkan pulau sumatera menuju pulau jawa. Menempuh hidup baru dengan cerita, suasana, dan orang-orang baru. "Libur semester jangan lupa pulang ya, Muiz," sendu mama memeluk erat diriku, seolah tak mau berpisah dengan anak angkatnya ini. Papa di belakang menepuk-nepuk pelan bahu mama, memenangkan istrinya yang menangis sedih mengantar kepergian putra mereka. Naomi tak hadir, katanya dia ada latihan tari di sekolah untuk persiapan acara perpisahan kakak kelasnya. Mungkin itu alasan Naomi saja untuk tidak perlu melihatku lagi, dia pasti sudah muak betul denganku. Semoga dengan kepergianku ini, Naomi bisa bernafas lebih lega dan menjalani hari-hari sebagai anak mama dan papa dengan baik. Sejak saat itu-- kejadian setelah pulang sekolah, Naomi tak pernah lagi berbicara padaku, dia punya sejuta alasan untuk menghindariku. Semisal saat sarapan, Naomi pasti berdalih dengan alasan piket, rapat pagi osis, latihan paskibra, dan lainnya yang diulang berkali-kali. Saat makan malam pun begitu, Naomi selalu di kamar, saat dipanggil dia berteriak dari dalam kamar, sedang mengejarkan tugas sekolah, katanya. "Kamu ada masalah Muiz?" tanya papa dengan tatapan khawatirnya. Aku diam sejenak, bingung dengan maksud pertanyaan papa. "Tidak ada apa-apa, Pa." "Kamu yakin?" tanya papa lagi. Aku mengangguk pelan. Papa masih menatapku diam, lumayan lama, jadilah kami saling pandang-pandangan. "Kalau ada sesuatu yang menganggumu, kabari papa. Papa akan berusaha membantu." Aku tersenyum tipis mendengar kekhawatiran papa. "Muiz pergi Pa, Ma." Kugenggam lebih erat pegangan koper, melambaikan senyum tulus pada mama dan papa yang menatapku dengan sorot mata sayu. Aku beruntung memiliki mereka, sungguh-sungguh beruntung, aku yang bukan siapa-siapa ini, jadi apa-apa bagi kedua orangtua angkatku. Di kesempatan selanjutnya, aku akan membalas jasa mereka, aku berjanji. Mama dan papa balas tersenyum, melambaikan tangan, menatap punggungku yang semakin menjauh, hilang dikerumunan manusia. Aku pergi. Lupakan Muiz, sekarang aku adalah Abdul. Sekuno apa pun nama ini, Abdul tetaplah Abdul, aku rindu dipanggil "Abdul" sungguh. oOo Aku, Abdul. 12 tahun yang lalu. Selesai berkeliling pasar menjual kresek hitam, aku dan sekumpulan anak jalanan lainnya bergerak lelah memasuki gang yang terletak di sudut pasar induk ini. Saatnya menyetorkan hasil jerih payah kami pada sampah-sampah masyarakat yang bisanya hanya memalak, mencopet, mencuri, dan menindas kaum lemah. "Berbaris!" seru kroco si bos pemalak yang duduk santai sambil menghisap rokok berlabel cahaya bumi, sang matahari dengan bungkus coklat. Satu persatu anak-anak jalanan mulai memberikan uang setoran pada pemalak yang menyebut dirinya "kakak besar" termasuk aku juga memberikan setoran. Tak bisa dielakkan jika mereka komplain dan menghardik kami jika uang setorannya kurang, tak jarang anak buah si "kakak besar" memukuli anak-anak yang tidak memenuhi nominal setoran. Aku tidak peduli pada mereka, yang penting setoranku cukup. "Sampai kapan kita harus seperti ini?" sahut salah satu anak jalanan, anak laki-laki kerdil berkulit kusam memecah lengang setelah kami selesai membayar setoran dan kembali ke pasar untuk menunggu malam, mencari tempat tidur masing-masing, semoga hujan tak datang mengusik malam ini. "Seharusnya kau ganti pertanyaan kau itu No," sahut temannya, menghela nafas lelah. "Kapan kita jadi seperti mereka?" sambungnya mengganti pertanyaan si Tono tadi, mengacungkan jari telunjuk ke arah anak laki-laki sepantaran dengan kami yang sedang menunggu mama nya di depan mobil empat pintu punya papanya. "Khayal kau terlampau tinggi Sep, aku dukung pertanyaan Tono tadi saja lah," timpal yang lain. Walau tak diutarakan secara langsung, kami semua sadar, kami hanyalah anak-anak terbuang yang tak dibutuhkan, tak dilayani negara, tak dikasihi orang-orang dan malah dimanfaatkan oleh preman-preman, tak akan pernah bisa kami mendapatkan keluarga seperti anak laki-laki kaya yang kini sedang dipeluk mamanya itu. Senyum sumringah di bibir si anak laki-laki kaya, tak akan pernah bisa tulus keluar dari bibir kami. "Anak perempuan mana?" sadar anak jalanan lain setelah mendapati teman sehidup seperjuangan kami yang perempuan tak ada seorang pun di emperan ini. "Mereka tadi dipanggil teteh-teteh menor yang suka gonta-ganti gandengan itu," jawab teman di sebelah Tono. Yang lain saling tatap, menghela nafas. Sisanya hanya diam, tak peduli dan tak mau tau urusan rekan sehidup seperjuangannya. "Kenapa kita harus hidup seperti ini? Apa Tuhan membenci kita?" ujar si Tono setelah keheningan sesaat tadi. "Aku saja tak percaya Tuhan itu ada, No," sahut si Asep. Suasana kembali lengang. "Kau percaya Tuhan itu ada Dul?" tanya Asep padaku. Aku berpandangan lama dengan Asep yang menunggu jawabanku, aku menggeleng pelan. "Entahlah." "Kalah Tuhan beneran ada, pasti dia tega sekali pada kita," ujar yang lain. "Atau mungkin kita pernah melakukan kesalahan di kehidupan kita yang sebelumnya, karena itu hidup kita sekarang seperti ini." "Obrolan kalian kenapa seperti orang dewasa saja?" tambal yang lain. "Bukankah dunia yang kita jalani lebih kejam dari dunianya orang dewasa?" tanya balik Asep dengan senyum tipisnya. Sungguh miris melihat mereka tetap tersenyum dengan skala hidup di angka 0, tak punya apa-apa. "Kalian terlalu banyak nonton drama di kaca kecilnya bang Towin," sahut Tono yang mulai berdiri dari duduknya. "Aku mau ambil minum di kran masjid dulu, ada yang mau ikut?" sambungnya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang dipenuhi kutu-- akibat tak pernah bersampo dan suka tidur sembarangan. Semuanya serempak berdiri, mengangguk. Tono tersenyum tipis-- senyum pertamanya hari ini. "Oh ya Dul, bagaimana kantong plastikmu? Laku semua? Aku tengok setoranmu selalu cukup selama seminggu ini," tanya Tono yang sedang menepuk-nepuk wajahnya dengan tangan, macam orang yang baru selesai skincare-an, memastikan kelembaban kulit wajahnya. Aku diam sejenak, berbalik pergi selesai mencuci muka dan tangan. "Kau tak perlu tau." Tono menatap bingung punggungku yang menjauh pergi. "Dia kenapa?" bisik Asep sambil menyikut lengan Tono. "Ga tau." Tono mengangkat bahu, menggelengkan kepalanya. Uang dari hasil menjual kantong plastik saja tak akan cukup untuk membayar setoran dan membeli roti untuk makanku-- bahkan semua anak-anak tau itu, di sela-sela menjajaki kantong plastik besar di pasar, kami mengamen, tapi jarang sekali orang-orang dewasa memberi kami uang, entah suara kami yang sumbang, atau kami terlalu bau dan dekil sehingga membuat mereka jijik, atau opsi lainnya, mereka tak punya perasaan "iba" pada kami. Kami tidak masalah jika dikasihani, karena memang kami tidak mampu. Aku awalnya selalu berpikir seperti itu, tapi kerasnya hidup tak akan selalu bisa membuat kita berada di jalan yang benar. Jika setoran tak mencukupi, jalanan tempat kami mencari sesuap nasi dan sealas tempat untuk menginap akan ditutup oleh para preman pasar yang dibosi oleh "kakak besar" setelah itu kami dipukuli, dijambak, ditendang ditampar, dan segala macam bentuk kekerasan lainnya. Kesimpulannya, jika setoran tak mencukupi, kami mati. Karena itu, kami anak-anak jalanan ini, punya pekerjaan sampingan lainnya; mencuri, mencopet, merampok, entah apalah perbedaan ketiga kata ini, yang jelas, kami mengambil paksa hak orang lain untuk menjadi milik kami-- uang haram, begitu sebutannya. Tapi tindakan j*****m ini lebih berbahaya lagi daripada digebukin preman pasar karena tak cukup membayar setoran, jika kami sampai ketahuan, kami akan digebuk habis-habisan oleh korban dan orang-orang di pasar-- kesimpulannya, ketahuan, kami mati. Opsi hidup dengan ending yang tetap sama. Ayah memang tak pernah membahas tentang "mengambil hak orang lain" padaku, karena ayah selalu sibuk dengan pekerjaan dan dirinya, pesan ayah hanya satu; aku tidak boleh meminum minuman keras. Aku bahkan tidak merasa bersalah pada para korban pencurianku, aku selalu berpikir seperti ini, "apa salahnya mereka membagi sedikit rejeki mereka padaku? mereka masih punya banyak bukan?" oOo Setelah belajar mata pelajaran agama di sekolah, aku yang sekarang jadi sadar, pikiran aku 12 tahun yang lalu itu salah. Tak seharusnya aku merampas hak orang lain. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, tinggal bersama orangtua angkatku, bukankah sama saja dengan aku merampas hak Naomi sebagai anak? Pesawat mendarat dengan mulus tanpa terhalang apa pun, aku sampai dalam keadaan selama di kota besar ini. Kutarik koper, kegenggam pegangan tas sandang lebih kuat. "Yosh!" Saatnya memulai hidup baru dengan 3 sumpah dari tanah Sumatera yang kutanamkan kuat di dalam hatiku, sumpah pertama; aku akan jadi orang kaya bergelimang harta, sumpah kedua; aku akan membalas jasa keluarga yang sudah ikhlas menampungku, terakhir... sumpah ketiga; sebuah sumpah yang kudapatkan 2 hari yang lalu, sumpah dari cerita di masa lalu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN