Bab 7: Operasi j*****m

1328 Kata
Dua hari yang lalu sebelum keberangkatanku ke pulau jawa, aku memutuskan mengunjungi salah seorang teman baik yang pernah kutemui, di sebuah tempat di mana dulu aku pernah berteduh di sana, menikmati kasur kapas yang cukup empuk, tidur tanpa perlu khawatir dengan tempias hujan, dan bangun tanpa perlu pusing memikirkan harus makan apa hari ini. Tempat itu juga menjadi tempat di mana aku dan keluargaku yang sekarang bertemu. Bisa dibilang itu tempat terindah yang pernah kusinggahi, "singgah" dalam waktu yang cukup lama, dan "tinggal" untuk waktu yang terbilang singkat. Tapi juga menjadi tempat terburuk yang pernah kutempati-- dalam berbagai opsi, tempat itu lebih buruk dari kehidupan di jalanan. "Kamu jadi ke panti hari ini?" tanya mama yang sedang sibuk membungkus kue pesanan pelanggannya. Aku mengangguk pelan, meneguk habis air putih, meletakkan gelasnya di atas meja makan-- mama bilang dia akan mencucinya. "Muiz berangkat dulu, Ma," pamitku sambil menyalami tangan mama yang berbau manis-- bau kue yang sedang dibungkus mama. Mama mengangguk, tersenyum tipis. "Hati-hati di jalan." Aku balas tersenyum, berlari kecil keluar rumah. Di teras aku berpapasan dengan Naomi yang baru pulang sekolah, dia melewatiku begitu saja, menghilang bagai angin saat aku mengambil sepatu di rak, cepat bagai kilat. Adikku itu ternyata punya bakat "menghilang" yang luar biasa. Entah itu warisan dari mama atau dari papa, aku tidak tau, mungkin itu memang bakat alami tanpa embel-embel keturunan. oOo Sampai di kamar kost dengan menaiki transjakarta, aku langsung menyusun pakaian dari dalam koper ke lemari yang sudah satu paket dengan kamar kost, merapikan semua barang-barangku agar bisa istirahat segera. Aku dapat beasiswa swasta dari kampus sebagai murid berprestasi, tak bisa kudapatkan beasiswa dari pemerintah karena orangtua angkatku tergolong cukup mampu. Aku tetap ingin bersekolah dengan beasiswa agar tidak merepotkan keluarga angkatku, jadilah aku mencari-cari banyak lowongan setelah menyelesaikan ujian kelulusan di SMA. Putri juga banyak membantu, dengan syarat aku harus memberitahunya di mana aku akan berkuliah. Kupikir Putri akan ikut ke Jakarta, ternyata tidak, gadis berkacamata tebal itu memutuskan untuk melanjutkan kuliah kedokteran di salah satu kampus terbaik di Sumatera. Kudengar dari mama, Naomi ingin mengambil les bahasa asing, les renang dan les bela diri, itu pasti membutuhkan banyak sekali biaya, jadi aku meminta mama untuk tidak mengirimiku uang jajan bulanan, aku akan mencari kerja part time di sini. Awalnya mama menolak, dia bilang aku harus fokus kuliah dengan muka kesal, akhirnya mama menyetujui dengan syarat aku tak boleh sungkan untuk menelpon jika keuanganku seret. Deal. Tak akan kutelpon mama, karena keuanganku tak akan seret. Bukankah aku sudah bersumpah untuk jadi kaya raya? Ospek mahasiswa baru akan diadakan besok lusa, itu program wajib untuk semua mahasiswa baru, ditambah krida dan segala macamnya-- menyusahkan sebenarnya, tapi apalah daya, jika tidak mengikuti serangkaian program itu, aku tak akan dapat sertifikat sebagai syarat wajib wisuda. Sedangkan perkuliahan di mulai minggu depannya. Aku mengambil jurusan ilmu hukum. Untuk menjadi orang sukses di masa depan, aku harus paham dengan hukum, itu yang kupikirkan saat mengambil jurusan ini. Kuambil berdasarkan kepentingan jangka panjang untukku pribadi, bukan kebisaan atau perintah dari orangtua. Jika sesuatu yang kita sangka bisa dilakukan ternyata setelah mencoba tidak bisa bagaimana? Jika sesuatu yang dilakukan hanya berdasarkan keinginan orang lain saja apa yang akan terjadi? Semuanya tak akan bertahan lama, aku bukan tipe orang yang putus di tengah-tengah perkuliahan dengan alasan "tidak mampu" atau "bukan passion" Sebelum memutuskan untuk bekerja di mana atau membuka usaha apa dengan modal uang tabungan dari pemberian orangtuaku ditambah uang hadiah lomba-lomba di SMA yang kumenangkan, aku terlebih dahulu harus beradaptasi dengan baik di kota ini, mencari peluang yang bisa membuatku tak mati kelaparan karena kehabisan uang pegangan, jika memang belum waktunya membuka usaha, maka akan kuputuskan kerja part time dulu. Pikiran panjang tentang memulai hidup terbuyarkan saat pintu kamar kost diketok dari luar. "Siapa yang datang ke sini?" gumamku bingung. Tak mungkin bukan mama atau papa punya saudara di kota ini, lalu mereka menyuruhnya menghampiriku? "Halo Nak Abdul." Aku diam sejenak, menatap ibu-ibu berkerudung dongker yang sedang tersenyum hangat padaku. "Ah halo, ibu kost?" tebakku. Ibu berkerudung dongker itu mengangguk. "Bagaimana kamarnya, Nak Abdul? Jika ada yang membuat tak nyaman bilang saja." Aku menggeleng pelan. "Kamarnya nyaman, Bu." "Baguslah. Di kost ini tidak ada aturan apa-apa, tidak masalah nak Abdur pulang malam atau tidak pulang-pulang," tawa bu kost yang membuat matanya sampai hilang, tertutupi lemak pipi. "Mau bawa teman atau pacar juga boleh. Untuk token listrik bayar sendiri, air sudah sepaket dengan biaya sewa, tapi jangan boros! Paham?" Aku mengangguk 3 kali saking pahamnya-- ngeri juga melihat ibu kost berkerudung biru ini melotot padaku, aku merasa terintimidasi di hari pertama aku sampai di Jakarta. "Ada pertanyaan?" tambah bu kost lagi, belum hengkang kaki juga. Kugelengkan kepala untuk mengakhiri pertemuan kami hari ini. Bu kost melangkah pergi setelah menyampaikan petuahnya. "Nunggak bayar uang sewa setelah lewat batas 1 minggu, angkat kaki dari sini, paham?!" ancam bu kost sebelum menuruni anak tangga. Kuanggukan kepala dengan senyum refleks. Bu kost tersenyum sumringah, menyisakan suara sepatunya yang menginjak anak tangga satu persatu, perlahan suara itu mulai menghilang. Aku kembali ke kamar, mengelus d**a. "Kota besar memang menyeramkan." oOo 12 tahun yang lalu. Saat aku, Abdul Muiz, masih menjadi seorang "gelandangan kecil" atau biasa dikenal dengan "anak jalanan"-- bukan anak jalanan macam sinetron-sinetron yang menampilkan muda-mudi berjaket kulit mewah dengan motor ninja super modis dan kencang, versi anak jalanan kami berbeda 180 derajat dengan mereka. Jauh, jauh sekali. Aku tidak tau hari apa ini-- mana ada anak jalanan yang menghitung hari, kami tak sekolah, tak kan cemas kami dengan datangnya hari Senin-- malas ikut upacara bendera, capek berdiri-- kudengar ini dari anak-anak berseragam putih-merah yang sering lewat pasar bersama ibu-ibu mereka. Patokan kami tentang hari apa ini hanya satu, yaitu saat melihat gerombolan laki-laki dewasa memakai bersarung dengan kokoh putih yang sering menuju masjid besar di tengah pasar saat terik matahari mencapai puncak kepala. Suasana ini menandakan hari dengan almanak hijau, Jum'at. Tapi apa peduli kami dengan hari Jum'at? Tak ada. Yang kami khawatirkan bukan "hari" nya tapi lebih ke "musim" nya. Musim panas tiba, kami kepanasan, tidak masalah. Cemas kami saat musim hujan tiba, kantong-kantong plastik kami tak akan laku, ojek payung diambil alih oleh anak jalanan versi remaja, mengamen pun tak bisa karena keseringan setelah itu kami demam, biaya obat lebih besar dari uang hasil mengamen, bukannya menghasilkan pendapatan, kami malah terpaksa berutang pada preman pasar untuk biaya obat. Mungkin ini maksud kalimat yang dibicarakan ibu-ibu sayur yang suka berceletuk di pasar, "besar pasak dari pada tiang." Tak ada pilihan lain selain mencuri, mencopet, menjambret, merampok atau apalah itu namanya, yang intinya "duit tak halal, merampas hak orang lain." Aku berjalan pelan di trotoar pasar yang tertutupi atap-atap teras toko, suara gaduh klakson angkot dan teriakan para kenek tertutupi oleh suara air hujan yang jatuh deras ke bumi. Kugenggam kantong kresek hitam yang kosong ini lebih erat. Kantong kresek ini punya 2 fungsi cadangan, pertama untuk membungkus rambutku agar tidak basah oleh air hujan, kedua untuk meletakkan barang panen hasil curian-- ini pun jika dapat. Karena itu kusebut fungsi kantong kresek hitam ini sebagai fungsi "cadangan". Bahkan untuk mencuri pun, kami anak jalanan ini juga punya saingan, yaitu para kacung preman pasar yang punya pekerjaan utama mencuri, ada pula yang bisa menghipnotis, mencopet di angkot, tukang palak dan segala macamnya. Pasar adalah tempat pekerja kriminal terbanyak, nomor dua setelah pedagang, tukang parkir kalah. Kaki kecilku ini terus melangkah, memasang wajah polos saat menyelidiki sekitaran, mencari sasaran empuk "ber-uang" aku butuh makan, butuh bayar setoran, butuh tabungan untuk masa depan-- walau sampai sekarang, tak bisa dipungkiri, tabunganku masih 0 rupiah. Seorang wanita paruh baya dengan wajah menenangkan melangkah pelan melewati koridor pasar, penampilan wanita paruh baya itu memang sederhana, tapi Abdul 12 tahun yang lalu ini punya firasat kuat jika wanita paruh baya ini ber-uang. Tak akan ada masalah jika uang yang dibawanya sekarang diambil Abdul, tak akan terjadi krisis ekonomi di keluarga wanita itu. Aku menarik nafas pelan, menghembuskannya perlahan, menyinkronkan irama jantung. Operasi j*****m pertama di hari ini, dimulai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN