2. Penderitaan

1413 Kata
Entah berapa lama Ilsa meringkuk di dalam penjara bawah tanah kerajaan. Ruangan lembab yang gelap itu kosong. Tidak ada satupun orang di dalam sel-sel yang biasanya pasti selalu penuh oleh tahanan ayahnya. Nampaknya Samael melepaskan mereka semua, dan menyisakan satu ruangan besar itu hanya untuk dirinya. Dua orang prajurit berjaga di depan selnya 24 jam dan hanya mengijinkan pelayan yang membawakan makanan untuk masuk. Itu juga hanya untuk meletakkan dan mengambil baki yang berisi makanan seadaanya. Bubur, roti, nasi. Tidak ada satupun dari makanan yang dihidangkan padanya, biasa di makan oleh Ilsa. Tapi gadis itu menelan semuanya. Walaupun kedinginan dan ketakutan, ia tidak akan menyerah dan yang pasti ia tidak ingin mati di tempat itu. Dadanya yang di cap oleh Samael meradang pada hari ke tiga. Mungkin karena kotor atau tidak segera diobati, bekas lukanya mulai bernanah dan berbau busuk. Bukan hanya itu, infeksi yang ditimbulkan oleh boroknya, membuat Ilsa mengigil kedinginan walaupun tubuhnya terasa panas. Prajurit yang berjaga di depan penjara sepertinya melaporkan hal itu kepada Samael karena tidak lama datang seorang tabib ke dalam selnya. Seorang wanita dengan rambut memutih yang disanggul rapi kebelakang. Wanita itu menghampiri Ilsa yang meringkuk di lantai tanpa alas. Masih mengenakan kain tipisnya yang compang-camping dan kini basah oleh peluh, keadaan Ilsa tampak mengenaskan. Magda menjulurkan tangannya meraih lengan Ilsa yang memeluk dirinya sendiri. Gadis itu tersentak bangun begitu merasakan sentuhan dari Magda. Matanya yang tadinya menutup langsung terbuka lebar, menatap kearah wanita yang berlutut di depannya. Dengan nafas terengah, Ilsa bangkit dari tidurnya dan merayap mundur. “Aku bukan hendak menyakitimu. Aku kemari hendak mengobati lukamu. Lihat!” Magda mengangkat wadah porselein di tangannya dan melambaikannya di depan wajah Ilsa. “Aku membawa obat.” Ilsa melirik wadah itu dan kembali melayangkan pandangannya yang terasa panas ke Magda. Tidak yakin apa kah ia bisa mempercayai wanita itu atau tidak. Tapi bekas lukanya yang terus berdenyut membuatnya tidak punya pilihan. Ia pun akhirnya merangkak kembali mendekat. Magda meraih ujung gaun bagian depan Ilsa yang sobek dan melekat di boroknya. Dengan hati-hati ia menariknya agar terlepas dari luka yang bernanah itu. Bisa dirasakannya tubuh Ilsa yang menegang, berusaha menahan rasa sakit setiap ia menarik kain dari boroknya yang basah. Wajar saja, pikir Magda. Luka Ilsa sudah seharus nya mengering saat ini. Samael pasti menekan sekuat tenaga. Menyebabkan dalamnya luka yang diderita Ilsa, yang mungkin menjadi salah satu sebab mengapa luka Ilsa bukannya mengering tapi bertambah parah. Magda mengoleskan ramuannya ke d**a Ilsa dan bangkit berdiri. “Aku akan kembali lagi besok mengecek luka mu dan membawakan beberapa obat lain. Istirahatlah,” pamit Magda. Ilsa tidak menjawab. Lidahnya terlalu kelu setelah berusaha menahan rasa sakit sekian lama. Tidak ada yang ingin dilakukannya sekarang selain kembali membaringkan tubuhnya ke lantai dingin dan kembali tertidur. Keesokan harinya sesuai dengan janji, Magda kembali datang. Membawa obat-obatan dan baju ganti untuk Ilsa. “Buka kain kumalmu dan ganti dengan baju ini!” perintah Magda selesai mengobati luka Ilsa. Wanita itu melemparkan sebuah gaun lusuh di hadapan Ilsa. Bukan pakaian indah seperti yang biasa dipakai Ilsa, tapi hanya baju sederhana dengan bahan mirip karung kentang yang sering di lihatnya di pakai oleh bu-dak- bu-dak ayahnya. Tapi Ilsa sudah bersyukur. Setidaknya ia bisa mengganti gaunnya yang compang-camping dan bau itu. Dengan susah payah Ilsa melepaskan gaun tipisnya dengan satu tangan. Borok yang di buat Samael berada di da-da sebelah kirinya, membuat lengan dibagian itu susah untuk digerakkan tanpa kesakitan. Magda terdiam menatap tubuh telanjang Ilsa yang terlihat kotor dan kurus. Hanya mengenakan ce-lana dalam, gadis itu duduk sedikit membungkuk, mungkin berusaha menutupi da-danya dari tatapan mata orang yang ada di ruangan itu. Tulang-tulang punggungnya terlihat menonjol terbungkus kulit sementara wajahnya tampak cekung yang kuyu. Magda ada di dalam ruangan ketika Samael membakar da-da Ilsa. Tidak ada jendela sama sekali diruang bawah tanah, ia yakin Ilsa pasti tidak sadar sudah berapa lama dirinya ada di bawah. Lebih dari seminggu sudah Samael membiarkan gadis itu membusuk di penjara. Waktu yang cukup untuk membuat tubuh indah Sang Putri berubah menjadi semakin mirip dengan seorang bu-dak. Sesuai dengan karmamu, Putri Valorent! Ada rasa girang terlintas di benak Magda tapi kemudian diikuti oleh perasaan kasihan. Tidak, pikirnya. Pernahkah ia dulu menerima kasihan? Tidak. Gadis ini juga tidak pantas untuk menerima kasihan. Magda menunggu hingga Ilsa menurunkan kain coklat itu menutupi tubuh nya, dan tanpa berkata apa-apa, berlalu keluar. Magda paham benar dengan kebencian Samael yang tidak jauh berbeda dengan miliknya. Ia lah yang menyelamatkan Samael dari penjara yang sama dengan yang dihuni Ilsa sekarang. Magda jugalah yang merawat Samael layaknya anak sendiri selama ini. Memupuk dendam pemuda itu demi dendamnya sendiri pada Raja Terrence. Wanita itu berjalan menyusuri lorong istana yang sudah sepi dan gelap. Obor yang berjajar memberi tarian api berwarna jingga yang meliuk-liuk dalam kegelapan, seakan berusaha menghibur siapapun yang sedang lewat dengan cahayanya yang indah. Tapi tidak dengan Magda. Tidak ada yang bisa menghiburnya, seberapa ia berusaha, rasa kasihannya pada Ilsa mengganjal hati nuraninya. Dengan tangan mencengkeram wadah obat-obatan ia berhenti di depan kamar terbesar yang ada di dalam istana. Dari depan pintu bisa didengarnya suara desahan dari bibir seorang wanita. Tanpa perlu masuk, Magda sudah bisa menebak apa yang dilakukan Samael di dalam kamarnya. Magda mengurungkan niatnya untuk mengetuk. Suasana hati Samael sedang buruk beberapa hari ini. Ia mengira setelah Samael berhasil mencapai tujuannya, ia akan gembira. Tapi yang terjadi justru kebalikannya. Amarahnya kian meluap, dan mimpi buruknya kembali dengan kekuatan penuh, menyebabkan Samael menghabiskan malam-malamnya dengan menimbulkan keributan di mana-mana. Menghukum mereka yang melakukan kesalahan barang sekecil apapun dan mencari masalah di tempat yang tidak seharusnya. Akan kulakukan besok. Mungkin situasi hatinya akan sedikit membaik setelah menghabiskan malam ini bersama Lolerei, putus Magda meninggalkan tempat itu dan kembali ke kamarnya. Setelah melewati malam tanpa istirahat tenang, keesokan harinya Magda kembali mencari Samael. Tebakan Magda rupanya keliru. Ia menemukan Raja baru Valorent itu sedang berada di lapangan di tengah istana, menghajar habis lawan pedangnya hari itu. Seorang prajurit setia Raja Terrance yang menolak untuk menekuk lutut memanggilnya Raja. Pria itu bahkan tidak mengenakan pakaian pelindungnya dan hanya bercelana panjang melawan prajurit yang kini sedang gelundungan di atas tanah berusaha menghindari sabetan-sebetan pedang dari Samael yang menyerang bertubi-tubi. Tampak jelas keduanya memiliki kemampuan yang tidak seimbang. Campuran antara tidak takut mati dan kemampuan pedang, membuat Samael tidak terkalahkan. Membuat bawahannya kagum, dan musuhnya takut. Ketika sudah merasa puas memainkan musuhnya bak seekor harimau yang memainkan kelinci. Samael akhirnya menusukkan ujung pedangnya yang runcing ke leher prajurit itu. Menyudahi permainan yang sejak awal tidak seimbang. Setelah menunggu musuhnya ambruk ke atas tanah dan tidak bergerak lagi, Magda mendekat. “Yang Mulia,” panggil Magda menghampiri Samael yang bahkan tidak mengeluarkan sebutir peluhpun. Masih ada beberapa bekas luka terbuka di d**a pria itu, bertumpang tindih dengan bekas luka lama lainnya yang tidak terhitung jumlahnya. Pria itu melemparkan pedangnya ke atas tubuh prajurit yang baru dibunuhnya dan menghampiri Magda. “Apa yang kau perlukan, Magda?” tanyanya sambil mengelap tangannya yang terkena noda darah ke sebuah handuk yang dibawakan oleh pelayannya. “Sang Putri—” “Putri?!” potong Samael cepat. “Ia adalah bu.dak, Magda. Budak.ku.” “Ah… maafkan saya. Bu.dak baru Yang Mulia, tidak akan bertahan lama jika kau terus mengurungnya di bawah tanah. Keadaannya…. sungguh mengenaskan.” Samael tidak menjawab. Bahkan Magda yang sudah mengenal pria itu sejak lama tidak pernah bisa menebak isi kepala Samael, atau keadaan hati pria itu. Jika pria itu memiliki emosi selain kebencian, maka ia sudah berhasil menguncinya dalam-dalam sebelum membuang kuncinya. “Aku bahkan belum memulai hukumanku,” jawabnya datar. “Yah… dan kau tidak akan punya waktu jika kau terus memperlakukannya seperti itu, Samael.” Samael menatap ke arah wanita itu. Sosok Magda adalah satu-satunya yang mendekati sosok seorang ibu baginya. Ia bahkan tidak keberatan jika wanita itu memanggil namanya di tempat umum. Tapi sekarang Magda berusaha mengatur apa yang ingin dilakukannya pada bu.daknya? Bahkan Magda langsung tahu ia sudah kelewatan karena kini rahang Samael mengerat. Pria itu mendekat, wajahnya berada tepat di depan wajah Magda. “Aku akan melakukan apapun yang kumau kepadanya Magda. Atau apakah kau sudah lupa apa yang diperbuat oleh ayah gadis itu?” “Tentu saja tidak,” desis Magda pelan. Bagaimana dirinya bisa melupakan semua siksaan yang diterimanya ketika ia sendiri menjadi bu.dak dari Raja Terrance. “Baiklah....” Samael menjauhkan wajahnya dan kembali berdiri tegak. Sebelum ia membalikkan badannya dan berlalu, ia memberi perintah kepada Magda. “Siapkan dia untukku. Aku akan memastikan ia paham apa itu penderitaan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN