3. Tangisan Tanpa Suara

1782 Kata
Magda memberi waktu dua hari supaya luka di da-da Ilsa mengering sebelum akhirnya mengirimkan dua pelayan untuk membersihkan gadis itu agar layak bagi Samael. Ia menatap tubuh kurus Ilsa yang sedang berendam di dalam bak mandi di kamarnya dengan bibir mengerut. Seorang pelayan sedang berupaya menggosok noda lumpur yang sudah lama mengering dari punggung gadis itu. “Satu hal yang perlu kuberitahukan padamu, Ilsa.” Suara Magda memecah kesunyian di dalam kamarnya. Wanita itu berjalan hingga matanya bisa menatap ke wajah Ilsa. “Hidup mu yang lama sudah berakhir,” lanjutnya. “Dirimu sekarang bukan lah lagi seorang putri raja. Melainkan hanya seorang bu-dak. Berstatus lebih rendah dari pelayan, dan tidak ada bedanya dengan ternak yang dimiliki oleh kerajaan. Hanya ada satu hal yang menyebabkan tidak ada satupun dari orang di istana ini yang berani menyentuh dan merobekmu menjadi puluhan bagian, dan itu adalah karena dirimu adalah bu-dak dari Raja Samael. Jangan sampai perlu aku mengingatkanmu apa yang akan terjadi bila Raja Samael membuangmu. Turuti semua perintah yang diberikan oleh Mastermu. Apapun itu. Paham?” Ilsa menunduk menatap air tempatnya berendam yang kini sudah terlihat kecoklatan dari kotan di tubuhnya. Ia mengangguk pelan. Obat yang diberikan Magda sudah menyembuhkan luka di da-danya. Sekarang hanya tersisa bekas kecoklatan yang mengelupas sebagian dan ia yakin tidak akan pernah hilang dari tubuhnya. Sebuah simbol dengan huruf SM. Inisial dari Samael Malloy. Masternya. Ada perasaan pedih di da-da Ilsa setiap ia melihat inisial pria itu di tubuhnya. Mengingatkannya kembali akan posisinya saat ini yang tidak lebih dari sebuah barang. Yang bisa di gunakan oleh pemiliknya dengan sesuka hati. “Bagus,” jawab Magda puas. Wanita itu sudah menyiapkan sebuah pakaian untuk Ilsa pakai. Pelayan yang tadinya memandikan gadis itu, kini membantunya mengenakan gaun barunya yang, sekali lagi, jauh dari gaun-gaun indah yang dulu di kenakan Ilsa ketika ia masih menjadi seorang putri. Berwarna coklat muda, sedikit lebih bagus daripada gaun karung kentang yang dipakai sebelumnya, gaun barunya pendek dan tipis. Bertali di pundak dengan bagian belakang yang terbuka. Tanpa memberikan pakaian dalam, lekuk tubuh Ilsa terpampang dengan jelas tanpa halangan. Gadis itu mencengkeram ujung gaunnya yang berhenti tepat di bawah pinggulnya dan mencoba menariknya turun. Tentu saja kain itu kembali terangkat begitu ia melepaskannya, membuat sebagian kulit mulus bagian belakangnya kembali menyembul. Tanpa mengindahkan ketidak nyamanan Ilsa, Magda membalik badan dan berjalan keluar. “Ikuti aku,” perintahnya pada Ilsa yang langsung mengekor di belakang wanita itu dengan wajah tertunduk. Keduanya berjalan melewati lorong istana yang dikenal dengan baik oleh Ilsa namun sekarang tampak asing dimatanya. Karpet tempatnya berlarian kini terasa kasar melawan kakinya yang tidak bersepatu. Angin yang biasanya terasa sejuk, kini berhembus dingin, menabrak kulitnya yang hanya tertutup sehelai kain yang tipis. Ia bahkan bisa merasakan pandangan tajam penuh kebencian dari prajurit Samael setiap mereka berpapasan. Tatapan mata mereka terasa bagaikan tusukan seribu jarum ke arah tubuhnya. Seolah tanpa gelar bu-dak rajanya, mereka tidak akan ragu-ragu untuk merobek Ilsa di situ juga. Sebenci itukah semua orang padanya selama ini? Ilsa tidak bisa berhenti berpikir. Keduanya akhirnya berhenti di depan kamar terbesar di dalam istana. Kamar yang dulunya menjadi kamar ayahnya, dan kini dipakai oleh pria yang membunuh keluarganya. Magda mengetuk pintu didepan. “Masuk,” sebuah suara menjawab dari dalam. Nadanya yang datar membuat tulang Ilsa kembali menggigil karena ia langsung mengenali pemilik suara itu. Samael. Magda mendorong pintu terbuka dan keduanya melangkah masuk, Ilsa berdiri sedikit bersembunyi di belakang Magda dengan tangan memeluk dirinya sendiri. Ada dua pria lain di dalam kamar Samael yang langsung menatap ke arah Ilsa. “Maaf Yang Mulia, saya tidak tahu anda sedang ada kerjaan,” ucap Magda kaget dengan adanya orang lain di kamar Samael. “Tidak apa. Aku sudah selesai. Tinggalkan kami Magda,” perintah Samael mengusir wanita itu keluar. Magda mengangguk dan tanpa menatap ke arah Ilsa berjalan keluar dari ruangan itu dan menutup pintu. Samael menatap Ilsa dari ujung ruangan. “Lucuti pakaianmu!” perintahnya datar. Ilsa mendongak menatap pria itu. Tidak ada emosi apapun di wajah Samael yang membeku. Gadis itu kemudian mengalihkan pandangannya pada dua pria yang masih ada di dalam ruangan bersamanya. Keduanya menatapnya dengan pandangan yang sama dengan yang dipasang oleh Samael. Membeku. “Jangan memintaku untuk memerintah kedua kalinya,” lanjut Samael. Ilsa menelan ludahnya, wajahnya mulai memanas karena sudah dipermalukan, bukan hanya oleh Samael tapi juga oleh pandangan kedua pria lain di dalam ruangan itu. Tapi Ilsa tidak punya pilihan lain. Perlahan ia menurunkan kain yang sebenarnya tidak mampu menutupi lekuk tubuhnya sama sekali dan membiarkanya melorot begitu saja teronggok dikakinya. Secara refleks, Ilsa mengatupkan lengannya ke da-da dan bagian bawah tubuhnya, berusaha menutupi bagian-bagian yang belum pernah di perlihatkan pada pria manapun juga. “Turunkan tanganmu,” perintah Samael datar. Ilsa menurut. Ia mengeratkan tangannya dan meletakkannya di sisi badannya, sekuat tenaga menahan rasa panas di wajahnya. “Lihatlah, Alden! Tubuh seorang putri. Apakah kau ingin menikmatinya?” ejek Samael sambil menaikkan ujung bibirnya sedikit keatas. Tampak jelas kepuasan di mata pria itu sudah berhasil mempermalukan Ilsa. Pria bernama Alden tergelak sambil mengangguk menjawab pertanyaan Samael. “Hah! Mungkin nanti jika aku sudah bosan,” celetuk Samael ringan. Seolah sedang membicarakan sebuah mainan. “Sekarang kalian berdua keluarlah. Ada yang perlu kuselesaikan.” Keduanya menunduk mematuhi Samael dan berjalan keluar. Tatapan keduanya melekat pada Ilsa hingga terhalang pintu yang ditutup. Samael meraih cawan perak dari mejanya dan menuangkannya ke dalam gelasnya. Ia menggunakan waktunya tanpa terburu-buru, membiarkan tubuh Ilsa semakin gemetaran berdiri di tengah kamar. Samael menghabiskan anggur di gelasnya dan meletakkan kembali gelasnya keatas meja. “Menelungkuplah diatas ranjang dengan wajah menghadap kasur. Buka pahamu lebar-lebar!” Perintah Samael singkat dan datar. Ilsa langsung paham apa yang diinginkan Samael. Tentu saja. Sebagai bu-dak, bahkan satu-satunya hal yang dimilikinya sudahlah bukan lagi miliknya. Seluruh dirinya adalah milik Samael. Termasuk kepera-wanannya. Ingin Ilsa memberontak, dan berlari keluar dari ruangan itu. Tapi hendak kemanakah ia pergi. Orang yang dikenalnya sudah tidak ada yang tersisa. Kecuali Darius yang entah berada di mana sekarang. “Ba..baik, Master,” jawabnya lirih. Ilsa kini tidak punya pilihan selain menuruti perintah Samael. Otaknya memaksakan kakinya untuk bergerak, mendekat ke atas ranjang lebar yang ada di tengah ruangan dan membaringkan tubuhnya menelungkup diatasnya. Tangannya mencengkeram erat di sebelah kepalanya sementara ia membuka kakinya lebar-lebar. Kain satin yang membelai lembut kulit Ilsa membuat gadis itu sedikit terlena. Sudah berhari-hari ia tidur diatas lantai yang keras tanpa alas, betapa ia merindukan kasurnya yang empuk dan harum. Ia membenamkan wajahnya ke atas ranjang, menikmati kelembutan kain yang membungkus ranjang Samael. Samar tercium aroma tubuh pria itu di kain berwarna teal yang menempel di hidungnya. Aroma maskulin yang jarang melintas di indra penciumannya yang biasanya di kelilingi oleh aroma bunga dari parfum yang biasa di pakainya. Hal yang kini hanya tinggal kenangan baik di penciuman maupun di benak Ilsa. Suara gemerincing yang biasa terdengar dari ikat pinggang seorang prajurit terdengar, disusul dengan suara seseorang yang melucuti bajunya sendiri. Suara langkah berat Samael yang berjalan mendekat mulai membuat konsentrasi Ilsa kembali ke situasinya. Tidak butuh waktu lama hingga ia bisa merasakan tubuh Samael yang memposisikan dirinya di belakang nya. Ilsa bisa merasakan detakan jantungnya yang mulai berpacu. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan dirasakannya ketika Samael menerobos memasukinya. Diusianya yang walaupun masih belia, bukan tidak pernah Ilsa membayangkan akan situasi dimana ia akhirnya menyerahkan kepera-wanannya. Yang kebanyakan berkisar antara dirinya dan pengeran dari kerajaan lain atau dengan Darius, yang memperlakukannya dengan lembut dan penuh cinta diatas ranjang pengantinnya yang penuh dengan taburan bunga mawar dan parfum harum. Tidak seperti sekarang tentunya. Tidak. Tidak pernah sekalipun Ilsa membayangkan nasibnya akan berakhir seperti ini. Terpentang diatas ranjang dengan penuh ketakutan dibawah tindihan seorang monster. Bisa dirasakannya sesuatu yang panas menempel ke bagian belakang tubuhnya yang terbuka, hanya bertengger sedikit di bibir bawahnya. Namun, bersamaan dengan turunnya tubuh Samael keatas tubuh Ilsa, benda itu melesak semakin dalam. Ilsa menjerit pelan berusaha menahan rasa sakit yang mengoyaknya. Sesuatu seakan sedang mencoba merajam kema-luannya dengan sebilah pedang dan menyayat. Samael berhenti mendesak, seolah memberi waktu bagi Ilsa untuk menarik nafas yang ditahannya dari tadi. Sesaat Ilsa berharap bahwa pria itu akan menghentikan siksanaannya, namun betapa salahnya tebakannya. Begitu tubuhnya mulai melemas, Samael kembali menyodokkan tubuhnya lebih dalam. “Ah!” Ilsa kembali menjerit. Kakinya menendang kasur yang ditindihinya berusa mengatupkan pa-hanya. Namun badan Samael yang berada di tengah-tengahnya mencegah gadis itu untuk merapatkan tubuhnya. Samael kembali menarik benda yang memenuhi tubuh Ilsa dan kali ini tanpa jeda, ia kembali menghujamkan benda itu masuk ke dalam tubuh Ilsa. Dalam dan keras. “Mhhh….” Kembali Ilsa merintih sambil terus memejamkan matanya, menunggu rasa pedih itu berakhir. Tapi dengan benda Samael yang memenuhi rongga tubuhnya, merentang celah sempitnya hingga melebar, rasa sakit yang dirasakannya tidak kunjung berkurang. Apalagi ketika pria itu kembali menarik tubuhnya keluar sebelum menghujamkannya kembali ke dalam. Berulang-ulang. Terus dan terus. Mengabaikan keringat dingin yang mulai membasahi dahi dan wajah Ilsa yang sedang menahan rasa sakit. Ilsa tahu mengapa Samael melakukan hal ini. Pria itu ingin menghukumnya, atas apa yang sudah ayahnya lakukan padanya dan pada keluarganya. Walaupun dalam keadaan tersiksa, entah mengapa, Ilsa bisa merasakan bahwa Samael menahan diri. Lengan kekar yang mengurung Ilsa tidak sepenuhnya menindihnya. Otot lengannya menegang seakan berusaha menahan tubuhnya agar tidak menimpa tubuh Ilsa yang berukuran jauh lebih mungil darinya. Tidak bisa dibayangkan oleh Ilsa jika pria itu mengerahkan seluruh kekuatannya. Mungkin pria itu akan merobeknya menjadi dua. Entah berapa lama Samael menghujamkan tubuhnya ke Ilsa. Hanya rintihan dan dari mulut Ilsa dan bunyi kulit Samael yang menggesek bagian bawahnya lah yang terdengar di ruangan yang sunyi itu. Pria itu bahkan tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Tidak ada lenguhan. Tidak ada dengusan, atau geraman. Bahkan hembusan nafasnya pun tertata normal. Hingga mendadak, sama seperti cepatnya ia memasuki Ilsa, secepat itu pula ia menarik tubuhnya keluar. Tanpa banyak bicara ia bangkit dan membenahi pakaiannya. “Pakai pakaianmu dan keluar!” perintahnya. Dan tanpa menoleh lagi ke arah Ilsa, pria itu berjalan keluar dari kamar meninggalkan gadis itu sendirian. Ilsa terbaring diam sesaat diatas ranjang kebingungan. Jelas-jelas Samael belum mendapatkan kepuasannya, mengapa ia mendadak pergi begitu saja. Tidak ingin memikirkan hal itu lebih jauh, ilsa memaksakan tubuhnya untuk keluar dari kasur Samael. Seketika rasa pedih kembali menyayat bagian bawah tubuhnya setiap ia bergerak. Perlahan ia meraih gaun tipis yang teronggok diatas lantai dan mengenakannya. Dengan langkah terseok dan dengan bantuan dinding kamar, Ilsa pun merayap keluar dan berjalan kembali ke sel nya. Bisa dirasakannya kucuran darah segar mengalir dari sela pahanya yang baru saja di rusak oleh Samael. Campuran dari rasa sakit dan hancur itulah yang akhirnya membuat Ilsa tidak mampu lagi menahan air matanya. Dalam langkahnya yang tersandung-sandung, ia akhirnya membiarkan tangisan tanpa suara, merembes keluar dari bibirnya. =====
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN