Nyaring dan berisik suara motor yang baru melewati gerbang. Berhenti tepat di depan Vilien yang hendak menaiki tangga. Tergesa melepas helm yang menutupi seluruh wajah, menyugar rambut terlebih dahulu sambil membuang nafas kasar singkat.
“Huh! Kau lagi,” dengus Vilien dengan merotasikan kedua bola mata malas.
Melangkah ke kanan untuk mengambil jalan bebas karena jalan yang seharusnya telah mencapai tangga harus terhalang motor Zayden. Lesu dan malas menaiki tangga tanpa tenaga, namun ia paksa.
Zayden melihat Vilien yang tampak menjatuhkan bahu. Langkah malas pun ia tatapi sambil mengingat kejadian tadi malam. Tapi tidak ada kejadian apa-apa, semua baik-baik saja. Tanpa melihat atau pun menoleh, Zayden menarik kerah salah satu mahasiswa yang berjalan di sampingnya dan menyerahkan kunci motor. menyuruh untuk memarkirkan motor miliknya tentu saja. Segera turun dan menyusul cepat berjajar di samping Vilien.
“Kau sakit? Kenapa wajahmu sayu sekali? Apa kau belum sarapan?” Zayden menodong dengan banyak pertanyaan.
Jangankan menjawab, menatap wajah Zayden saja malas. Vilien terus berjalan mengabaikan rentetan pertanyaan Zayden yang tak kunjung selesai. Bagaimana semua penghuni kampus bisa menakuti pria yang ternyata banyak bicara. Sampai di kelas Vilien segera menjatuhkan kasar b****g di bangku pun kepala di meja disusul kedua kelopak mata tertutup.
“Tidak bisakah kau menjawab satu singkat atas semua pertanyaanku?” kesal pun lelah Zayden bertanya. Kini masih berdiri di samping Vilien sambil melipat kedua tangan di depan d**a, setia menatap Vilie yang malah memejamkan mata. Membuang nafas pasrah tapi masih setia berdiri sampai mendapat satu jawaban.
“Diam. Aku mengatuk karena ulahmu,” jawab Vilien lemah pun kedua mata terpejam.
“Ulahku yang bagaimana? Aku tidak...”
Kalimat Zayden terpotong karena dengkuran halus Vilien. Tak lama kemudian, satu persatu dan disusul puluhan siswa memasuki ruangan. Ia pun segera berputar ke belakang dan duduk di bangku miliknya. Melepas jaket untuk menyelimuti punggung Vilien. Ia pun menempelkan telunjuk di depan bibir agar beberapa siswa yang melihat Vilien tidur diam dan tak melapor.
Tiga jam kelas berjalan aman dan damai. Lembar tugas yang dibagikan selesai termasuk milik Vilien, tentu Zayden yang mengerjakan. Tidak masalah untuknya, karena ia tahu Vilien tak kalah pandai darinya. Sesekali sambil fokus pada buku, satu telapak tangan besarnya mengusap lembut penuh hati-hati kepala Vilien. Semua telah keluar dan tersisa dua manusia itu saja. Sambil menunggu Vilien bangun, Zayden mempelajari materi lain. Membaca semua teori, sumber, asal dan bagaimana menangani untuk penyelesaian.
Lenguhan serta mengerutkan dahi saat lehernya teras berat pun sakit untuk sekedar digerakan sedikit. Perlahan memaksa tubuh untuk bangun, matanya menyipit melihat sekitar masih kosong. Memegang tengkuknya sendiri sambil memijat kecil agar lebih enak.
“Sudah bangun?” tanya Zayden tanpa menoleh ke samping, membalikkan lembar kertas.
“Kelasnya belum dimulai, ya?” tanya Vilien sambil mengucak kedua mata masih mengantuk. Sekali menguap.
“Sudah selesai,” jawab Zayden sambil menutup buku tebal. Memutar tubuh dan kepala menghadap Vilien yanh terdiam melongo.
“Selesai bagaimana?” masih tidak mengerti dengan ucapan Zayden.
“Angkat bokongmu dan kita mencari makan siang,” tegas Zayden dengan suara santai.
Menggeleng cepat. “Tidak bisa. Hari ini ada ujian,” ucap Vilien sambil mengaduk dalam tas. Mengeluarkan pulpen dengan panik, kedua mata berkaca dan bibir bergetar.
“A-aku bisa kehilangan beasiswa,” imbuhnya dengan suara bergetar, ingin menangis. Ini salahnya yang tertidur di kelas.
“Aku akan menemui dosen segera,” masih panik, tergesa memasukkan kembali alat yang sempat dikeluarkan.
“Vi,”
“Tidak, Zay. Lain kali saja, aku harus menemui...”
“Kembali duduk dan diam!” bentak Zayden akhirnya.
Jatuh air mata Vilien menatap kedua netra Zayden. Saat itu juga Zayden memeluk tubuh Vilien erat dan mengusap lembut punggung yang bergetar kecil.
“Apa yang terjadi tadi malam? Mengapa kau sampai mengantuk?” tanya Zayden lembut. Masih memeluk erat.
“A-aku tidak berhenti muntah hingga pukul empat pagi,” jawabnya serak.
Zayden menarik tubuh Vilien dan wajah cantik itu menunduk sambil terisak. Ia amati dari dahi, pipi, hidung, hingga jatuh di bibir merah muda. Dalam mengamati tanpa terlewat dan diteliti secara detail.
“Aku masuk angin karena kau, bodoh!” teriak Vilien cepat. Tahu apa yang dipikirkan oleh Zayden.
“Aku?” Zayden menunjuk dadanya sendiri.
“Kau membawa motor dengan kecepatan penuh. Meliuk-liuk kau mainkan laju. Beruntung sekali aku tidak mati,” jelas Vilien sambil mendorong d**a Zayden kuat. Terlepas sudah kontak fisik mereka.
Menggaruk tengkuk yang tidak gatal sambil nyengir kuda. Tersenyum paksa merasa bersalah.
“Aku antar kau ke dokter. Aku yang akan membayarnya,” cepat Zayden mengutarakan.
Menyipitkan kedua mata lurus ke netra Zayden. “Aku sudah sangat sehat!” tegasnya.
“Sekarang aku lapar,” lanjutnya lalu disusul nyengir kuda.
Ditarik lembut hidung mungil Vilien menggunakan dua jari. Gemas melihat dua ekspresi Vilien yang berganti tiba-tiba.
“Hei, jangan sentuh aku sembarangan,” peringat Vilien.
“Aku hanya menarik hidungmu yang tenggelam,”
“Hidungku tidak tenggelam,” bantah Vilien sambil menumbuk bahu Zayden. Sedangkan yang ditumbuk terkekeh rendah.
“Baiklah, kita keluar dan segera mengisi perut. Aku kelaparan menunggumu bangun,” putus Zayden sambil bangkit dari tempat duduknya.
Kedua mata Zayden menyipit sebelah pun dahi mengerut melihat Vilien terus berjalan ke arah berbeda. Segera menarik baju belakang wanita itu dan ia seret mengikuti dirinya.
“Zayden! Lepaskan! Benar, kau pria gila!”
“Astaga! Lepaskan aku!”
Zayden hanya memutar bola mata malas. Sepertinya mulai sekarang ia harus terbiasa mendengar lengkingan suara. Sangat sadar jika ini bukan dirinya, tapi entah mengapa? Dirinya seolah ditarik kuat.
“Pakai jaket ini dan naik!” titah Zayden sambil menyerahkan jaket hitam miliknya.
“Hanya akan makan, mengapa tidak makan di kantin saja,”
“Ambil jaket ini, pakai lalu naik ke motorku,”
“Tidak. Kau itu gila.” Setelah mengatakan, Vilien berbalik meninggalkan Zayden yang telah menunggang kuda besinya.
Turun dan melangkah besar menyusul Vilien. Cepat menarik tangan Vilien hingga tubuh mungil itu hampir membentur tubuh keras Zayden. Kontak mata mereka sontak beradu, tenggelam dan terkunci keduanya.
“Aku tidak ingin dekat dengan pria manapun,” ucap Vilien lirih tapi sanggup didengar jelas oleh Zayden.
“Tapi aku selalu ingin dekat denganmu,” balas Zayden pelan pun lembut.
“Ku mohon. Ku mohon jauhi aku,” pinta Vilien serius.
“Kenapa?” dilingkarkan lengan Zayden pada pinggang Vilien.
Kini tubuh mereka menempel dan hanya bersekat kedua tangan Vilien yang menahan d**a Zayden. Tatap keduanya masih terkunci meski saling mengungkap kata.
“Kau tidak perlu tahu apa alasanku,”
“Aku tidak mau.” Bantah Zayden tegas. Nada suaranya pun ikut naik.
Vilien mendorong kuat d**a Zayden, namun lingkaran tangan lebih kuat dan hanya berjarak lebih lebar dari sebelumnya. Masih saling menatap fokus, kedua telapak tangan Vilien pun masih menahan kuat d**a Zayden.
“Aku tidak ingin kecewa,”
“Siapa yang akan mengecewakanmu? Tidak ada.”
“Zay! Tolong!”
Ditarik kuat kembali tubuh Vilien. Pun menarik dagu wanita itu agar tatap pandang mereka tetap beradu. Liar kedua mata Zayden mengamati wajah.
“Aku memilihmu dan akan tetap mengejarmu. Tidak akan pernah aku melepasmu,” ucapnya di depan bibir Vilien. Samar-samar Zayden gesekkan bibirnya.
Membuang wajah ke samping, “Jangan. Jangan kau berkata seperti itu,” ucap Vilien pelan sambil mengusap sebelah pipi.
“Aku berkata benar,”
Kembali menatap Zayden dengan mata berair. “Jika suatu saat kau membuatku kecewa, aku akan menghilang dari hidupmu Zayden,”
Zayden memeluk erat Vilien. Erat pun mengecup tengkuk yang tertutup rambut panjang. Memejam dengan penuh keyakinan. Sungguh, ini ungkapan dari hatinya. Ia akui kehadiran Vilien sangat kuat hingga mampu menggeser wanita masa lalunya. Dalam hati Zayden berjanji untuk tidak akan mengingat dan benar-benar menghapus.
Mengurai pelukan lalu menarik dagu Vilien. Zayden satukan bibir mereka. Menghisap lembut penuh hati-hati, ia tahan juga tengkuk Vilien. Memiringkan kepala agar sesapannya lebih nyaman. Tidak ada balasan, tentu saja. Mendesakkan lidah masuk dan mencari lidah Vilien, bisa dirasakan balasan yang sangat kaku. Segera Zayden lepas lalu menatap Vilien yang sontak menunduk dalam.
“Aku tidak bisa,” cicitnya.
“Tidak bisa atau... belum pernah?”
“Belum pernah,” sangat pelan seperti mirip berbisik Vilien menjawab.
“Diam kau! Sudahlah. Aku harus segera pergi bekerja. Makan siang lain kali saja,” Malu setengah mati, mungkin kini wajahnya sudah merah seperti lobster panggang.
Salah tingkah. Betapa culun dirinya, hanya ciuman saja ia tidak tahu. Mau bagaimana lagi, Dua puluh tahun lebih waktunya habis untuk belajar dan belajar. Lebih baik ia segera angkat kaki dari depan Zayden daripada menahan malu. Baru melebarkan satu langkah ke samping, lengan Vilien ditarik dan dibawa menghampiri motor. Mau tidak mau Vilien mengikuti dengan wajah menunduk, tanpa sepatah kata memakai jaket lalu duduk di jok belakang.
Zayden mengulum senyum. Vilien wanita yang memang harus ia jaga. Bila perlu akan ia miliki selamanya. Persetan jika harus bersaing dengan Ryo. Tangan mungil yang memegang kaosnya ditarik ke depan dan ia tahan di perut.