Tentang Perasaan

1468 Kata
Satu bulan telah berlalu, selama satu bulan juga Zayden aktif mengekori Vilien. Bahkan bila diperbolehkan, ia siap pindah ke rumah Vilien meski sempit dan tidak layak untuk dirinya yang terbiasa serba mewah. Akhir pekan yang selalu dia isi berdiam diri di rumah, kini berganti duduk di sudut restoran. Sudut paling pojok berbatas tembok dan jendela kaca bening. Sepuluh jari sibuk memainkan keyboard, mata kecilnya liar nan tajam menatap layar. Sesekali melirik ke seluruh penjuru dan bila netra bertabrak dengan manik mata Vilien, senyum kecilnya terbit. Atau, bila Vilien mengantar pesanan ke meja samping Zayden, satu colekan kecil diberikan pada p****t wanita itu. Wajah menahan kesal atas keusilan tentu sesuatu yang sangat disukai. Tentang ciuman, sudah sering dilakukan tapi bukan berarti wanita itu menerima begitu saja. Zayden harus mencari celah untuk mencuri satu kecupan. Tendangan sudah pasti akan didapat. Ya. Ternyata Vilien pun sekarang hobi menendang pantatnya. Percayalah, tendangan terakhirnya dua hari lalu masih membekas biru. “Kau tidak bosan? Setiap hari datang dan duduk berjam-jam seperti orang bodoh di sini?” ucap Vilien sambil meletakkan secangkir kopi dan camilan ringan. Fokus Zayden buyar, mendongak untuk menatap karena posisi Vilien berdiri. Mengangkat bahu cuek lalu kembali pada layar laptop. “Asal dekat denganmu, bodoh pun tak masalah untukku,” jawab Zayden. Kemudian menyesap sedikit kopi. Kembali pada layar laptop. “Terserah kau saja.” Putusnya kemudian mengulurkan telapak tangan pada Zayden. Lewat ekor mata Zayden melihat ukuran tangan Vilien. Ia raih dan menggenggam santai, tapi pandangannya masih tidak ingin meninggalkan layar persegi. “Bayar!” bentak Vilien sambil menepuk keras tangan Zayden. “Aku tidak memesan, kau sendiri yang mengantarkan ke mejaku,” memang Zayden tidak memesan. “Ini restoran, bukan meja pribadimu. Jadi, jika kau ingin tetap duduk pesan sesuatu. Setiap jengkal tempat usaha ada pajak yang harus dibayar,” terang Vilien. Meski sang pemilik tempat diam, bukan berarti ia tidak tahu. Diam karena mereka tahu latar belakang Zayden. Tak ingin berdebat lantas mengeluarkan selembar seratus dollar. Segera Vilien ambil dan pergi dari hadapan Zayden. Bibir Zayden melebar hingga deretan gigi terlihat. Sangat tampan. Pengunjung sekitar tempat duduk Zayden pun terpaku melihat ketampanan pria itu. Silih berganti pengunjung berwajah khas barat, sedangkan Zayden sendiri lebih mirip tokoh anime. Wajah khas Asia kental. “Kau sehat?” tanya Vilien. tiba-tiba telah berada di samping Zayden sambil mengerutkan dahi pun sedikit menunduk mengamati wajah yang tersenyum sendiri. Satu kecupan tidak terduga diberikan kepada Vilien. Sontak wanita itu menegakkan tubuh, melotot shock dan membekap bibir kuat. Sedangkan Zayden, sangat jelas wajah bahagia penuh kemenangan. Masih disusul kedipan sebelah mata. Kurang apa, kalau bukan kurang ajar. Berlalu Vilien dari hadapan Zayden. sungguh, dirinya kini tidak lagi aman terutama bibir. Kini mereka telah berada di tepi jalan. Seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Sejak keluar dari restoran tempat kerja Vilien, wanita itu menolak tawaran Zayden yang ingin mengantarkan pulang. Memilih jalan kaki tapi tetap Zayden ikuti dari belakang rela meninggalkan motor di depan restoran. “Jangan dekat-dekat!” bentak Vilien. “Galak sekali,” “Carilah kekasih sana! Dengan begitu, ada tempat yang bisa kau cium dan kau tusuk.” Vilin menegaskan ucapannya. “Aku sudah punya kau, untuk apa mencari lagi,” jawab Zayden pasti. Penuh yakin hingga membuat Vilien bergedik ngeri. “Tapi sayangnya, aku akan mencari pria lain,” sahut Vilien. Posisi mereka saling berhadapan dengan jarak sepuluh meter. Raut wajah Zayden seketika datar, tatapannya dingin dan gelap seperti rembulan yang ditelan kabut hitam. Vilien yang menyadari perubahan Zayden segera mengambil langkah seribu. Terjadilah mereka saling mengejar. Hentakkan dua pasang kaki sepanjang jalur khusus itu terdengar ribut. Sampai akhirnya Vilien melihat pohon yang selalu dipanjat, menambah kecepatan meski tenaga dan nafas hampir putus. Bangku yang terbuat dari batu dijadikan pijakan untuk melompat. Menempel seperti cicak dan segera merayap gesit. Pantatnya menemukan ranting kokoh untuk menahan tubuh. Menggantungkan kaki ke bawah dan memeluk batang besar yang menegak ke atas sambil terpejam. Nafasnya putus-putus, tersengal, keringat bercucuran, dan rasanya ingin pingsan di tempat. Ini lebih gila dari kompetisi marathon dengan hadiah ribuan dollar. Semua karena ia tidak ingin dicium. “Heh! Turun kau!” perintah Zayden dengan nafas berat dan terputus-putus. Berdiri sedikit membungkuk sambil berkacak pinggang. “Tidak. Pulang saja kau!” usir Vilien dari atas pohon. “Rumit sekali kau jadi wanita...” Zayden mendengus kesal. “Jangan habiskan! Berikan sedikit untukku!” teriak Zayden sambil berkali-kali membasahi bibir dengan lidah. Jakunnya pun naik turun meneguk saliva. Di bawah Zayden mengomel kesal, sedangkan yang di atas meneguk es lemon segar. Minuman yang selalu Vilien bawa ke sekolah dan hari ini belum sempat diminum. Sengaja menyimpan di lemari pendingin sewaktu bekerja. Dan ya, kebiasaan itu sangat berguna malam ini. Mendesah panjang setelah menjauhkan botol dari bibirnya. Seperti nyawanya kembali pada raga. Sejenak ia lupa pada manusia di bawah yang sedari tadi meneriaki. “Kau haus?” tanya Vilien dengan bibir melengkung ke atas. “Hm.” Singkat dan mengangguk satu kali cepat. “Naiklah!” “Aku tidak bisa memanjat,” “Kau sedang menipuku?” “Ayolah, kau turun saja, aku janji tidak lagi sembarangan menciummu,” rengek Zayden. Wajahnya tak berdaya dan semakin kusut. “Ck! Naik saja!” Vilien berdecak kesal. Masih dengan wajah kusut dan mata tertutup separuh, Zayden menuruti permintaan Vilien. Tentu saja bisa memanjat, hanya saja ia malas. Mulai mengambil pijakkan pada sela cabang yang terpotong bagian ujung. “Hoh! Jangankan menyuruh, bersuara padaku saja tidak ada yang berani,” ucap Zayden setelah duduk nyaman di cabang kayu, kemudian meraih botol yang diberikan Vilien. “karena kau sombong dan terlalu kaku.” “Aku tidak seperti itu,” sanggah Zayden. “Terserah.” “Tidak ada yang menarik di atas sini,” celetuk Zayden. Kedua matanya liar melihat sekeliling yang cukup rimbun tertutup daun. Sedikit mengintip karena lajur kayu ke atas yang berada di tengah mereka, “Kalau begitu, turun dan pulang saja,” “Tidak mau. Susah payah aku memanjat untuk sampai di sini,” beralasan. Padahal kenyataannya Zayden tidak mempermasalahkan. Hanya tidak ingin komunikasinya hening. “Katakan!” celetuk Vilien setelah beberapa waktu senyap. Pandangannya jauh menatap deretan gedung tinggi. “Kau ingin aku mengatakan tentang apa?” “Katakan! Apa tujuanmu menggangguku setiap waktu?” tekan Vilien. “Tidak ada,” jawab Zayden santai. “Tidak mungkin.” “Semua bisa menjadi mungkin,” sahut Zayden cepat. “Sekarang aku yang bertanya,” Zayden menjeda kalimat. “Ryo menyembunyikanmu, benar? Kau siapa?” tanya Zayden beruntun. Terdengar menghela nafas. Sungguh, Vilien sendiri tidak ingin menjelaskan apa pun tentang keluarganya. Rasa dalam hati seperti belati menusuk semakin dalam. “Aku yatim piatu, tidak memiliki uang, aku hanya menumpang kepadanya untuk datang ke daratan ini,” jelas Vilien. Menyandarkan kepala pada batang yang menyekat diantara mereka. Ia tidak bohong, kenyataannya sang ayah telah membuang karena menentang. “Aku akan ada untukmu,” sahut Zayden pelan pun mengusap kepala Vilien lembut. “Hm. Terima kasih,” “Apa sekarang kita menjadi pasangan?” tanya Zayden dengan suara bahagia. “Tidak,” “Kenapa?” “Aku ingin belajar dengan tenang,” “Aku hanya ingin di sampingmu tanpa batasan, itu saja,” jelas Zayden. “Kau tidak akan memahami posisiku Zay,” “Aku akan belajar memahami,” “Sekeras apa pun dirimu memaksa, aku akan tetap pada ruang dan posisiku,” “Untuk Ryo?” tuduh Zayden. “Ya. Aku tidak ingin gagal dan mengecewakan dia,” sahut Vilien tegas. “Dia orang yang paling penting di hidupmu?” tekan Zayden. “Tentu.” Jangan tanya bagaimana dalam diri Zayden, rasanya ingin menghantam dunia hingga babak belur. Jiwanya mendidih mendengar pengakuan Vilien. Namun, sisi lain menyadarkan bahwa ia orang baru. “Jika kau menyukai dia, katakan saja. Sepupuku bukan pria pemain,” “Aku tidak tahu. Saat ini, antara aku dan Ryo hanya menikmati waktu. Berjalan sesuai keinginan masing-masing tanpa melibatkan perasaan,” ungkap Vilien. Entah mengapa, ketika membahas tentang Ryo rasanya tenang. “Hari pertama aku melihatmu, aku benar-benar tertarik. Dan aku sendiri tidak tahu, apa yang membuatku selalu ingin dekat denganmu.” Zayden menunduk dan menjeda ucapan. “Kau mengubah sesuatu yang selama ini membelenggu dalam diriku. Kehadiranmu seperti mengeluarkan dari sarang gelap Vi,” lanjutnya. “Aku senang, jika kehadiranku mengubah orang lain lebih baik. Tetapi, jangan kau salah artikan semua perubahanmu karena diriku.” Vilien menoleh ke samping dengan tersenyum lalu kembali menatap lurus ke depan. “Ini murni dari hatiku. Tentang... aku menyukaimu,” “Biarkan waktu dan dunia saja yang menjelaskan pada kita Zay, untukku ini terlalu cepat dan aku pun tidak ingin menyakitimu.” Vilien mengeluarkan apa yang dirasakan saat ini. “Baik. Jangan kau suruh menjauh darimu, oke?” putus Zayden sambil mengulurkan jari kelingking. Vilien melebarkan kedua mata, segera dibalas jari kelingking Zayden dengan mengaitkan kelingkingnya. Keduanya tertawa rendah bersama sambil mengayunkan kelingking yang terkait.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN