Hidup Baru

1785 Kata
Langkah kaki Vilien semakin jauh dari mansion. Telah ia tetapkan dalam hati untuk tidak lagi menginjak rumah besar itu. Sambil mengusap kasar wajah yang terus dibasahi tetes air mata, Vilien menuju ke pemberhentian transportasi umum. Beberapa orang sedang duduk di bangku menunggu kedatangan bus. Vilien pun ikut duduk di bangku yang masih tersisa. Menahan untuk tidak lagi menjatuhkan air mata sia-sia. Sejenak menatap langit gelap yang penuh bintang, tersenyum kecil. Tak lama sebuah mobil berhenti tepat di depan Vilien, namun wanita itu masih asyik menatap kelip bintang. “Penculik!” teriak Vilien tanpa melihat siapa yang menarik kerah jaket bagian belakang. Tidak ada yang bergerak dari tempat, karena orang sekitar tahu siapa pria yang sedang menarik paksa Vilien dan melempar gadis itu masuk ke dalam mobil pun memasangkan sabuk pengaman. “Akhhh! Tolong!” teriak Vilien lagi sambil menyembulkan kepala ke luar jendela. “Gadis gila,” Vilien terdiam. Masih di posisi sama, namun tak lama tubuhnya di tarik dari belakang. Kini duduk nyaman tapi masih menikmati parfum yang tidak asing. Ragu dan takut menghadap samping. “Penculik,” ulang Ryo kesal. Sontak Vilien tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “Mau kemana?” Pertanyaan Ryo merubah raut wajah Vilien. Bahunya jatuh pun bibir ikut melengkung ke bawah. Menunduk sambil memainkan jari, pun isak kecil mulai terdengar. “Ayah mengusirku,” tuturnya pelan. “Karena aku menolak masuk sekolah privat untuk menyabotase sistem yang aku sendiri tidak tahu,” imbuhnya diiringi isakkan. Ryo seketika memutar kemudi dan berhenti di pinggir jalan. Melepas sabuk pengaman dan menghadap Vilien. Meraih tubuh mungil dan memeluknya erat. Kedua mata Ryo seketika memanas, mendongak agar tidak menjatuhkan air mata. Inilah dunia, ia telah mendengar banyak cerita tentang keluarga Wilson. Sekejam apa pun keluarganya yang senang bermain senjata api, tidak sekali pun menjadikan anak sebagai alat tukar. “Kau akan aman, ada aku.” Suara Ryo bergetar. Sambil terus mendekap erat Vilien. Ia berjanji akan menjaga Vilien. Menarik tubuh agar bisa melihat wajah cantik itu. Mengusap lembut jejak air mata yang menghiasi wajah Vilien, namun ia sendiri tak mampu membendung air matanya. “Kenapa kau menangis?” tanya Vilien serak. “Mengapa tidak menghubungiku, hm?” Ryo mengalihkan pembicaraan. “Aku tidak memiliki ponsel lagi. Ayahku, maksudku tuan Wilson menarik pemberiannya. Ponsel itu pemberiannya, jadi aku meninggalkan,” ungkap Vilien dengan kepala menunduk. Ryo tersenyum tapi kedua mata memancarkan kesedihan yang luar biasa. Keluarganya sangat besar, tapi tidak pernah hal ini terjadi sepanjang hidupnya. Ia dan adiknya selalu berlimpah kasih sayang, sedangkan di depan matanya ini ada seorang anak yang jauh dari kata bahagia. Setetes kasih sayang orang tua saja tidak di dapatkan. “Mau ikut aku ke Amerika?” tanya Ryo lembut sambil mengangkat dagu Vilien menggunakan ujung jari. “Mau,” jawabnya pelan pun senyum bahagia, meski kedua matanya masih berkaca-kaca. Satu minggu kemudian... Menempelkan kartu lalu memutar knop sambil mendorong pintu itu lebar. Tidak terlalu luas tapi cukup untuk di tempati seorang diri. “Sempit sekali,” celetuk Ryo dari belakang. Menatap seluruh ruangan yang jauh dari biasa di tempati. “Ini sangat cukup untuk diriku,” ucap Vilien sambil menyibak tirai. “Apartementku sangat banyak dan tidak ada yang menempati, mengapa kau malah memilih tempat kumuh dan sempit ini,” keluh Ryo sambil menghempaskan b****g ke sofa. “Dan ya, sofa batu ini membuat pantatku panas,” imbuhnya lagi. “Kembali ke kantor saja kau!” seru Vilien kesal sambil berkacak pinggang di depan Ryo. “Memang aku mau pergi. Tapi nanti setelah pulang dari kantor, aku datang lagi...” “Untuk apa?” potong Vilien cepat. “Membawamu ke supermarket. Memangnya kau sudah tahu?” jawab Ryo lalu kembali bertanya. “Belum,” “Ok. Sampai jumpa nanti malam,” pamit Ryo. Tidak lupa mengutik jidat Vilien hingga gadis itu memekik sakit. “Sialan kau!” maki Vilien. Dua bulan kemudian... Menarik nafas pelan lalu menghembuskan dengan pelan juga. Menatap gedung besar yang menjulang tinggi. Memantapkan segenap jiwa untuk melangkahkan kaki naik tangga yang merupakan pintu kedua memasuki area kampus. Vilien, mahasiswi baru yang memulai pendidikkan di New York. Mengeratkan genggaman pada selempang tas lalu mulai menaiki satu persatu tangga. Sampai di atas, Vilien mengedarkan pandangan sejauh yang bisa ia jangkau. Luas. Sangat luas untuk halaman utama. “Hai!” Sapa seorang gadis yang tiba-tiba berada di sampingnya. Sedikit tersentak. Cepat ia menoleh ke samping. Seorang gadis melebarkan senyum manis kepadanya. “Hai juga,” jawab Vilien. “Kau anak baru? Kalau iya, ikut denganku!” ucap si gadis. Lalu menarik pergelangan tangan Vilien hingga terpaksa Vilien melebarkan kaki agar tubuhnya tidak sampai oleng dan jatuh akibat tarikkan mendadak. “Kau membawaku kemana?” tanya Vilien disela langkah lebar. “Ke tempat yang kau cari,” “Kau tidak akan mepermainkanku, kan?” ucap Vilien memastikan. Ini tempat baru dan Vilien tidak mau di hari pertamanya mendapat hal buruk. Tidak mungkin juga kan, tiba-tiba orang baik pada seseorang yang baru saja lihat pada hari itu juga. Gadis itu berhenti mendadak. Melepaskan genggaman pada pergelangan tangan Vilien lalu berputar menghadap Vilien. Menghembuskan nafas kasar. “Aku bukan orang jahat, jika kau ingin tahu. Ibuku telah memberitahuku jika kau akan masuk ke kampus ini,” ungkapnya. “Ibumu?” Vilien mengulang satu kata dengan bingung. “Pengasuhmu adalah ibuku,” ucapnya sambil meletakkan satu telapak tangan di pundak Vilien. Kedua bola mata Vilien membulat sempurna. Lalu menoleh ke kanan kiri kembali menatap gadis di depannya lagi. “Ku harap kau bisa merahasiakan siapa diriku,” pinta Vilien dengan suara pelan. “Aku tahu. Oleh sebab itu, aku membawamu. Kampus ini tidak sebagus bengunannya,” suaranya memelan di akhir kalimat. “Maksudmu?” “Namaku Sye,” ucapnya mengenalkan diri sambil mengulurkan tangan untuk di jabat. “Em. Ya! Vilien.” Vilien menjabat tangan Sye Dengan senyum lebar pun sangat cantik. “Kau sangat cantik,” puji Sye. “Tidak. Kau lebih cantik dariku,” “Itu tidak benar.” Elak Sye. “Aaww!” pekik Vilien. Di sela perbincangan kecil mereka, ada seorang pria Bertopi hitam menabrak sebelah bahu Vilien cukup kuat. Tidak. Hanya menghentak sedikit, tapi tubuh Vilien yang kecil jadi terasa cukup kuat. Pria itu tetap melangkah santai dengan kedua telapak tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana jeans tanpa berhenti menoleh sekedar minta maaf. Vilien melangkah lebar ke arah pria itu. Jarak tinggal beberapa senti, ia menarik kuat kupluk yang menjuntai ke belakang. Si pria pun hilang keseimbangan dan jatuh ke belakang dengan posisi terduduk di atas rumput hijau. Setelahnya ia berdiri di depan pria itu sambil berkacak pinggang. “Apa kau bisu? Aku rasa tidak...” “Aku mewakili temanku minta maaf,” potong Sye segera sambil membungkuk sembilan puluh derajat penuh. “Sye! Apa yang kau lakukan! Dia yang harus meminta maaf!” pekik Vilien pada temannya. Marah? Tentu saja. Ia tidak terima Sye memberi hormat pada sesama, apalagi dia tidak salah apapun. “Sekali lagi kami minta maaf,” ulang Sye masih di posisi sama. “Sye!” suara Vilien meninggi saat temannya mengulangi permintaan maaf. “Dia masih baru dan belum mengerti aturan disini,” ucap Sye memberitahu si pria yang masih pada posisi duduk. “Kau yang seharusnya melakukan seperti itu! Bukan temanku...mmmffh” maki Vilien Dengan menunjukki wajah si pria. Tapi, belum selesai ia puas memaki mulutnya dibungkam oleh Sye. Tidak hanya membungkam, Sye juga membawa paksa Vilien pergi dari hadapan si pria. “Jaga bicaramu! Kita dalam masalah besar!” desis Sye tajam sambil terus membungkam pun menyeret tubuh Vilien pergi. Menghempaskan telapan tangan Sye kuat. Lalu menghirup oksigen sebanyak mungkin. Nafasnya pun ikut naik turun. “Manusia tidak tahu menghargai manusia lain tidak perlu ditakuti Sye!” ucapnya setelah terbebas dari bekapan tangan. Sye mengacak rambut panjangnya frustasi. Berjongkok sambil meremas kepalanya sendiri. Bertahun-tahun ia sangat menghindari pria itu agar tidak berurusan dengan badai. Tapi hari ini adalah hari kesialan. Menangislah ia di lantai seperti anak kecil kehilangan permen kesukaannya. Vilien mendelik melihat Sye, segera ia ikut melantai. “Ada apa?” tanyanya. Sye memegang kepala Vilien agar tidak beralih dan tatapannya fokus pada bola mata miliknya. “Tidak ada anak kampus yang berani menatapnya. Terlebih menyuarakan nama Dia,” kata Sye menjeda ucapannya untuk menarik nafas dalam. “Memangnya siapa dia? Titisan dewa iblis atau dewa apa?” Vilien masih tidak mengerti. “Huh! Kurang lebih seperti itu.” Sye melepaskan tangannya lalu berpaling ke samping. Tidak mudah menjelaskan kepada Vilien. “Kita laporkan saja dan dia agar mendapat hukuman, selesai.” Enteng saja Vilien mengucapkan. Lagi-lagi Sye meraup wajahnya kasar. “Aku ingin kau minta maaf kepadanya, atau....” “Tidak sudi. Aku tidak salah,” potong Vilien cepat. “Vi...” mohon Sye. “Tidak, tidak, dan tidak.” Kekeh Vilien. “Kalau kau mendapat masalah dan fatalnya keluar dari kampus ini bagaimana?” bujuk Sye lagi. “Ya tidak apa-apa. Mempertahankan harga diri lebih baik dari pada merendahkan diri sendiri lalu menjadi alas kaki manusia lain,” putus Vilien. Tidak mengubah pendiriannya. “Jika sesuatu terjadi kepadamu, aku tidak bisa menolongmu Vi,” ucap Sye dengan suara pasrah. “Iya. Kau tidak perlu menolongku,” putus Vilien. Mereka meninggalkan tempat dan menuju ruang dosen. Tanpa mereka sadari, di balik pilar besar tersembunyi si pria yang tadi di maki Vilien. Mendengarkan semua obrolan kedua wanita dari awal hingga selesai. Zayden Fortelo, pria berusia dua puluh tiga tahun. Putra sulung dari keluarga Jelineus. Perpaduan dua darah asia yang kental, Zayden menjelma seperti tokoh anime Jepang dalam versi nyata. Bahkan, hampir keseluruhan garis wajahnya mengikuti sang ibu yang berdarah jepang asli. Bibir tipis nan sexy, hidung mancung layaknya pahatan yang baru saja di amplas mulus, alis tebal yang menggaris sempurna, mata sipit mirip orang mengantuk, serta kornea berwarna coklat terang ketika cahaya menyorot ke wajahnya. Beautiful devil, begitulah orang menyebutnya. “Kau menguntit siapa?” celetuk Ryo yang sudah berada di samping Zayden. “Rose,” jawabnya singkat. Menyandarkan tubuh ke pilar dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana, Zayden masih menatap lantai bekas wanita baru tadi. “Kenapa kau ada disini?” tanya Zayden sambil menoleh sedikit ke samping. “Mengunjungi sepupu keparatku,” jawabnya sambil mematik korek api untuk membakar ujung rokok. “Tunggulah di Penthouse milikku. Hari ini aku tidak bisa, ada sesuatu yang harus ku urus.” “Gadis tadi?” tebaknya setelah menghembuskan asap ke atas. “Hm.” “Cantik dan menarik,” celetuk Ryo. “Akan jadi milikku,” yakin mengatakan hal itu. “Aku tidak yakin dia mau,” “Kita lihat saja.” Zayden menyunggingkan senyum miring. Kedua mata menyorot tajam saat teringat wanita itu berani menyentuhnya dan memaki dirinya di depan orang banyak. Menegakkan tubuh dan beranjak meninggalkan sepupunya
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN