Pilihan

1410 Kata
Tidak ada hal indah yang terjadi dalam hidup Vilien. Jika ada kejadian atau hari lebih baik itu sejak adanya Ryo masuk dalam hidupnya. Orang berpikir menjadi anak Billionaire akan menyenangkan, tapi untuk Vilien seperti penjara tak kasat mata. Hamparan air biru terbentang sangat luas di belakang mansion yang cukup jauh tapi masih bisa dijangkau dengan jalan kaki. Sebelum muncul sang mentari hingga matahari menyengat kulit, Vilien tak kunjung beranjak. Terdiam menatap luasnya laut tenang dan berteman ombak yang membentur tebing. “Apa yang kau pikirkan?” tanya Ryo yang tiba-tiba datang membawa dua kantong dan duduk di samping Vilien. Tanpa mengalihkan tatapan, namun sangat sadar dan jelas suara di samping. “Aku iri dengan laut luas dan dalam,” jawabnya masih dengan posisi sama. Melempar batu-batu kecil ke laut lepas. “Harimu masih sangat panjang, kau juga bisa merangkai banyak hal yang lebih indah dari birunya laut,” sahut Ryo sambil mengeluarkan makanan yang dia bawa. Tentu saja, Ryo dan makanan tidak akan terpisahkan. Meski sangat suka makan, Ryo sendiri gemar berolahraga untuk menjaga tubuhnya agar tetap indah. “Mustahil,” dengus Vilien kesal. “Lihatlah! Beginilah hidupku. Duduk di rumah, belajar sampai botak.” Imbuhnya lagi. “Mungkin ayahmu tidak ingin kau menjadi orang yang gagal,” ujar Ryo berpikir positif. “Omong kosong. Dia hanya peduli dengan uangnya saja, asal kau tahu.” “Dengar. Hidupmu adalah pilihanmu. Jika kau memilih jalanmu sendiri, kau juga harus memikirkan sesuatu untuk mengatasi. Kau ingin keluar dari lingkaran yang membuatmu tidak nyaman maka kau juga harus berani berdiri dan melangkah. Tentukan tujuanmu, siapkan dirimu untuk dunia lalu langkahkan kakimu.” jelas Ryo. Setelahnya menggigit besar burger yang masih separuh. Menjatuhkan bahu, lalu mengambil roti isi daging dalam kantong. Menggigit sambil menimbang apa yang dikatakan sahabatnya. “Jika aku tidak mampu sampai tujuan bagaimana?” tanya Vilien. Tanpa menghadap ke samping. “Berarti lingkaran ini yang sesuai denganmu. Semua hal di dunia ini kejam. Mampu atau tidak, tergantung kau yang menjalani.” Santai saja Ryo berucap. “Tapi, aku tidak mau terus begini. Semua temanku memiliki cerita hebat, sedangkan diriku... mengenaskan sekali,” Vilien menunduk dengan wajah kusut. “Ada seorang wanita, katakanlah hidupnya nyaris sempurna. Rela meninggalkan semua termasuk hobi yang sangat dia sukai, menjadi gembel di tempat lain hanya karena ingin tahu dunia luar yang sangat kejam dan penuh kebohongan.” Menarik nafas dalam untuk melanjutkan, “Tidak sedikit mendapat kesulitan, tapi keinginan dan keras kepalanya mamenangkan.” Papar Ryo. Kedua bola matanya menatap jauh, melempar ke atas dan membayangkan betapa pilunya kisah ibu dan neneknya. “Menarik sekali caramu menghibur,” “Wanita itu ada.” Potong Ryo cepat dengan suara datar tanpa menatap Vilien. Vilien terdiam. Ucapan sahabatnya begitu dingin meski singkat. Suara itu mampu membuat seluruh tubuh Vilien membatu. Melirik dari samping, tercetak jelas aura berbeda dari pria yang selama tiga tahun terakhir ia ketahui begitu lembut dn penyayang. Menutup mata sejenak lalu membuka dan menoleh ke samping. Bibirnya melengkung ke atas. Menatap wanita di sampingnya, entah apa yang ada dipikirannya. “Besok aku akan kembali Los Angeles, jaga dirimu baik-baik. Hubungi aku jika kau membutuhkan sesuatu,” ucap Ryo sambil membingkai wajah Vilien. “Jangan memukul orang sembarangan,” pesannya lagi. “Bisakah kita menyelam saja?” usul Vilien. Membelokkan suasana. Jujur, ia tidak suka dibatasi dan ia tahu dengan siapa bersikap kasar. Ryo mengutik telinga samping Vilien hingga si pemilik memekik. Sedangkan dirinya terkekeh puas. “Jangan sentuh telingaku!” peringat Vilien sambil menutup kedua telinga menggunakan telapak tangan. Keduanya beranjak dari tempat itu menuju sisi lain yang terdapat akses turun ke tepi laut. Sebuah pantai pribadi yang tenang dan bersih. Sampai di tepi pantai, kedua bola mata Vilien berputar jengah melihat Ryo yang masih sempat membawa kantong sisa makanannya. Okey, kekasihnya hanya makanan. “Kita mau menyelam bukan piknik, Ryo...” “Setelah menyelam pasti akan lapar. Sudahlah, jangan hiraukan makananku!” sahutnya sambil membuka baju dan menyisakan celana dalam. “Bagaimana bisa aku berteman dengan pria seperti kau! Sialanya kau sangat tampan!” seru Vilien karena Ryo mulai menjauh ke arah genangan air. “Sudah tampan begini, kau tidak tertarik kepadaku!” sahutnya dengan berteriak. Vilien mendelik. Ia segera membuka baju menyisakan pakaian dalam berwarna hitam. Berlari ke arah Ryo yang telah melompat ke dalam air. Pantai pribadi milik keluarga Vilien memang terjaga dengan baik. Kebersihan maupun ekosistem dalam laut. Kedua anak manusia itu hanyut dalam keindahan dalam laut yang indah. Bahkan, Ryo rela kembali naik untuk mengambil kamera untuk mengabadikan kegiatannya kali ini. Masa-masa seperti ini jarang sekali bisa dia nikmati sejak semua sepupu menjalani kesibukkan masing-masing. “Aku akan merindukan saat santai begini, nantinya,” ucap Ryo. “Hampir semua rumahmu dekat pantai, lakukan saja setiap akhir pekan,” sahut Vilien yang berbaring di samping. Beralaskan kain pantai tipis, keduanya berjemur di bawah terik matahari yang kian turun ke arah barat. “Tidak ada yang mau ku ajak menyelam selain kau, membosankan. Mereka terlalu kaku dan serius,” ungkap Ryo jujur. Vilien mengangguk kecil. Kejadian beberapa hari lalu membuat Vilien paham bagaimana dunia keluarga sahabatnya. Dari yang dia dengar semua seperti tidak wajar. Tidak terkecuali, mereka para wanita juga tidak kenal takut mati. ** Sebuah map dibanting tepat depan wajah Vilien. Kedua matanya menatap map itu lalu beralih saat suara bariton masuk ke pendengaran. “Baca dan pelajari semua peraturan. Minggi depan kau akan mulai masuk ke universitas hidden side untuk melanjutkan S2 disana,” Ujarnya. “Ayah, aku akan menyelesaikan S2 di universitas pilihanku.” Bantah Vilien. “Kau tidak ku izinkan memilih,” tekan sang ayah mutlak. Vilien berdiri tegap menatap sang ayah berani, “Aku telah dewasa dan berhak memilih apa yang ku inginkan,” “Kau putriku, tanpa uangku kau tidak akan bisa menikmati semua ini!” Suara ayah Vilien meninggi. Hatinya mencelus. Sampai hati ayahnya mengatakan hal itu kepada dirinya. Dua puluh tahun lebih sekalipun tidak pernah menentang apa yang diinginkan ayahnya, tapi kali ini ia ingin mencari jati diri. “Aku adalah beban? Begitukah maksud ayah?” tanya Vilien dengan kedua mata yang mulai memanas. Dadanya panas pun sesak, namun tetap pada posisi menatap sang ayah. “Semua demi masa depanmu!” “Kestabilan perusahaan ayah!” potong Vilie cepat dengan nada suara ikut naik. “Langkahmu untuk masuk keluarga Auston telah dekat! Hanya tinggal kau masuk ke tempat itu dan mempelajari sistem disana, maka kita akan memiliki tahta sama tinggi. Kekayaan, keuangan, dan kemewahan ini akan abadi!” papar ayah Vilien dengan nada keras. Jatuh sudah air mata Vilien. Selama ini hanya menebak tentang keadaannya. Tapi malam ini, tercurah sudah apa yang ada dalam benak sang ayah. Dirinya tak ubah barang untuk transaksi tukar. “Kenapa? Kenapa harus aku, ayah? Kenapa!” teriak Vilien penuh derai air mata. “Karena kau putriku,” jawab sang ayah dingin tak acuh. Semakin panas jiwa Vilien. “Kak Vio juga putrimu. Mengapa dia bisa memilih keinginannya? Sedangkan aku tidak?” tanya Vilien dengan suara normal. Tapi kedua sudut matanya tak berhenti mengeluarkan cairan bening itu. “Dia berbeda,” Vilien mengangguk kecil. Mengerti bahwa selama ini sang ayah hanya peduli dengan kakaknya saja. “Aku tidak mau. Aku ingin melanjutkan ke kampus yang kuinginkan,” ucap Vilien. Ia telah memilih keputusan kali ini. Ucapan sahabatnya telah ia pikirkan, dan mungkin inilah waktu yang tepat. “Berarti kau siap melepas semua fasilitas yang ayah berikan,” ancam sang ayah. “Ya!” singkat pun penuh tekat. Ayah Vilien menatap penuh kemarahan dari kedua mata yang menyorot. “Termasuk keluar dari rumah ini,” masih dengan ego. Vilien berbalik menghampiri lemari. Meraih beberapa pasang baju dimasukkan ke dalam tas, beberapa berkas yang tersimpan di tempat sama. Tiga amplop yang belum sempat dia buka. Meraih jaket tebal untuk dikenakan, laptop yang dia dapatkan dari hasil menang kompetisi pun dia bawa. Setelahnya menghampiri sang ayah yang masih menatapnya dengan tenang. “Aku akan keluar dari rumah ini. Aku lelah menjalani sesuatu yang tidak ku inginkan. Permisi,” ucap Vilien. Setelahnya berlalu dari hadapan sang ayah. Sebelum benar-benar pergi, Vilien berbalik menatap punggung tegap ayahnya untuk terakhir kali. “Anda bisa menghapus namaku. Dan saya juga tidak akan menggunakan marga anda,” setelahnya Vilien berlari keluar. Menuruni tangga dengan cepat sambil mengusap lelehan air mata yang melewati kedua pipi. “Tuan, cegah nona Vilien!” seru kepala pelayan. “Biarkan saja. Dia tidak akan bisa hidup di luar,” “Tapi, Tuan...” “Pergilah istirahat, mona...” potong ayah Vilien cepat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN