Dari kejuahan Naira menahan air matanya yang akan menetes melihat Bintang yang masih sibuk menanam bunga kesayangannya di halaman rumah. Bunga Matahari yang dibawanya dari tempat camping kemarin sore. Sejak ia mengijinkannya untuk membawa pulang bunga itu wajahnya selalu terlihat gembira. Dia bahkan menanamnya sejak pagi dengan penuh semangat. Meski dadanya terasa sesak tapi ia tak kuasa untuk menolaknya. Ia tak ingin kebahagiaan itu menghilang dari wajahnya. Ia akan mencoba saja untuk berlapang d**a. Bukankah dia masih ada di sisinya?
"Bagus, gak, Nai?"
Senyum itu mengembang seperti bunga yang tengah ditanamnya. Naira pun lalu mengangguk dan memaksa bibirnya ikut tersenyum. "Sarapan dulu!" Ucapnya sambil meletakkan dua piring nasi goreng di atas meja teras.
"Sekarang kita akan bisa melihatnya setiap hari, Nai. Memandanginya setiap pagi dan sore." Mata itu menatapnya dengan berbinar.
Naira menahan suara di hatinya yang ingin berteriak kencang. Tak cukupkah dia mengingatnya berhari-hari? Tak bisakah dia berhenti sejenak untuk mengingat dirinya sebentar saja? "Anggrek-ku juga sudah berbunga, Bin," ucapnya mencoba mengingatkan.
"Oh iya? Aku baru ingat kamu menanam Anggrek..."
Ya, Tuhan! Dia benar-benar melupakannya? Ditatapnya mata itu dalam-dalam. Dan akhirnya ia tak kuasa lagi menahan jeritan di hatinya. "Kamu kan, memang enggak pernah mengingat apa pun tentang aku..." Lirihnya.
Dan wajah itu lalu berubah seketika. "Maaf aku..."
"Enggak apa-apa..."
"Maafin aku kalau sering lupa. Tapi sungguh aku enggak pernah sengaja untuk lupain kamu..." Mata itu kembali menatapnya, dengan sorot penuh penyesalan.
"Enggak apa-apa, Bin. Makan dulu mumpung masih hangat," ucapnya. Kini ia menyesal telah mengatakannya.
Namun rasa bersalah telah membuat kebahagiaan di wajah itu terlanjur menghilang. Dan dia lalu terdiam. Membuat ia semakin merasa menyesal. "Enak nasi gorengnya?" Tanyanya mencoba mencairkan suasana yang mendadak beku.
Dan akhirnya wajahnya kembali tersenyum. "Enak," sahutnya.
"Buat nanti malam kamu mau dimasakin apa?"
"Oh iya, nanti malam kita makan di luar aja, ya?" Tanyanya tiba-tiba.
"Di luar?"
"Iya, di restoran yang kamu suka. Habis itu aku mau ngajak kamu nonton di bioskop. Kamu mau kan? Sejak menikah kita belum pernah nonton lagi."
Senyum Naira akhirnya merekah lebar. Meski ia tahu ajakan itu untuk menebus rasa bersalahnya, tapi ia memakluminya. Dia memang tidak sempurna. Tapi bukankah tak ada cinta yang sempurna?
...
Karenina tengah menikmati kopi paginya saat sebuah ketukan terdengar di pintu rumahnya. Dengan malas ia berjalan untuk membukanya. Ia sudah tahu siapa orangnya.
"Aku kehabisan kopi..." Aidan berdiri di depan pintu dengan penampilan yang sudah rapi.
Karenina menghela nafasnya. Ia tahu itu hanyalah akal-akalan Aidan untuk mengganggunya. Tapi ia juga tak kuasa untuk melarangnya. Ia pun lalu membiarkannya masuk. "Kamu juga mau sarapan di sini?" Tanyanya.
Aidan mengangguk. "Aku enggak sempat beli. Di sini kan, jauh dari mana-mana?"
Karenina menggelengkan kepalanya. Alasan saja! Padahal biasanya di selalu sarapan di cafe dekat kantornya. Dan kalau dia mau ada seribu satu cara mudah untuk bisa sarapan tanpa mengganggunya. "Nanti habis pulang kantor kamu mampir ke supermarket, belanja bahan makanan sekalian beli kopi dan roti," ucapnya seraya meletakkan secangkir kopi panas dan sepiring roti manis di hadapan Aidan.
Aidan menyandarkan punggungnya di kursi, menyilangkan kakinya, lalu menyesap kopinya perlahan. "Kamu aja yang belanja, ya?" Ucapnya dengan santai.
Karenina mencoba menahan dirinya. Ia tahu Aidan memang tak peduli dengan status hubungan mereka yang sudah putus, tapi ia tak menyangka jika dia benar-benar menganggap dirinya masih bisa mengaturnya seperti dulu. "Belajarlah untuk mengurus dirimu sendiri, Aidan!" Ucapnya dengan kesal.
"Kamu kan, tahu aku enggak pernah belanja? Selama ini kan, kamu yang biasa belanjain buat aku?"
"Tapi sekarang kita udah enggak punya hubungan apa-apa lagi, Aidan!" Geram Karenina.
"Masak minta tolong belanja aja mesti pakai hubungan?"
Ya, Tuhan! Karenina mengelus dadanya. Percuma berdebat dengannya. Dia selalu mempunyai pembenarannya sendiri. "Ok. Nanti aku akan pesenin online aja."
"Thanks! Aku akan transfer uangnya ke rekening kamu." Aidan mengeluarkan ponselnya.
"Enggak perlu. Aku hanya orderin aja. Nanti kamu yang bayar sendiri."
"Loh, memangnya kenapa? Kan, biar sekalian?"
"Kalau kamu enggak mau ya, udah! Aku enggak jadi pesenin!"
"Ah, kamu jadi ribet, Nin!" Gerutu Aidan sambil menutup ponselnya kembali.
Karenina menahan senyumnya melihat wajah Aidan bersungut. Ia memang ingin sebisa mungkin menutup celah agar Aidan tak bisa memanfaatkannya lagi. Ia sudah paham akal-akalannya. Dia akan mentransfer uang yang banyak ke rekeningnya agar bisa meminta tolong padanya setiap saat. Dengan begitu ia mempunyai alasan untuk selalu menghubunginya. Lihat saja sekarang, dia masih belum beranjak dari kursinya padahal kopi di cangkirnya sudah kosong dan roti di piringnya sudah habis ia makan. Apalagi yang dia tunggu selain hanya ingin mengganggunya?
"Udah jam delapan, Aidan. Kasihan Pak Adi udah nungguin kamu dari tadi." Karenina beranjak dari duduknya, seolah 'mengusir' Aidan secara halus.
"Kamu selalu saja mikirin orang lain."
Karenina kembali menghela nafasnya. Kenapa dia masih saja meributkan hal itu? Dia selalu tak suka dinomor duakan. "Kamu kan, harus kerja, Aidan... Kantor kamu dari sini, kan, jauh? Dan aku juga harus mulai kerja," sahutnya mencoba bersabar.
"Memangnya kamu kerja apa?"
Sejenak Karenina terdiam. Ia lupa menyiapkan jawaban. Apa yang harus ia katakan? Tak mungkin ia mengakui pekerjaan yang dilakukannya saat ini. "Aku bantuin teman bikin produk skin care. Tapi sekarang lagi bikin konsepnya dulu. Makanya aku kerjanya dari rumah," dustanya.
"Teman yang mana?"
"Kamu enggak kenal. Lagian kamu juga udah enggak berhak lagi tahu seluruh hidupku."
"Ya, tapi buat apa kamu kerja sama orang lain? Kamu kan, punya perusahaan sendiri?"
"Itu kan, perusahaan kamu, Aidan..."
"Ada nama kita berdua di sana, Nin. Kita sama-sama pemiliknya."
Karenina menatap Aidan dengan ragu. Apakah ini saat yang tepat untuk membicarakan permintaan Danisa? Tapi dari ucapannya rasanya tak mungkin Aidan mau menerima orang lain untuk menggantikan posisi Danisa saat ini selain dirinya.
"Kembalilah, Nin. Aku enggak mau posisimu digantikan orang lain."
Benar saja dugaannya. "Aku enggak bisa, Aidan..."
"Kamu takut aku akan mencampurinya dengan urusan pribadi kita?"
Ah, ternyata dia tahu apa yang dipikirkannya? Dan akhirnya ia pun mengangguk.
"Aku janji enggak akan melakukannya. Di perusahaan itu kita hanya akan berhubungan secara profesional."
Karenina menatap Aidan. Mencari kesungguhan di matanya. Dan sepertinya dia memang sungguh-sungguh. "Aku akan pikirkan dulu," ucapnya.
"Oke. Aku tunggu kabarmu secepatnya. Kasihan Danisa kewalahan."
Dan Aidan pun lalu beranjak pergi.
Karenina menatap cangkir kopi di hadapannya, sisa jejak kehadiran Aidan yang masih terasa. Butuh waktu baginya untuk mengakui bahwa ternyata ia masih membutuhkannya. Rasanya sulit baginya untuk menyangkal ketergantungan padanya yang entah mengapa masih begitu kuat. Padahal ia sudah berusaha meyakinkan diri bahwa ia sudah melangkah maju, bahwa ia bisa hidup tanpa Aidan. Namun, entah kenapa setiap kali Aidan muncul, setiap kali itu pula ia merasa seperti terbangun dari mimpi. Karena Aidan begitu nyata. Seolah hidup tanpanya adalah sebuah angan. Ia mungkin sudah tidak mencintainya lagi karena rasa sakit dan kecewa yang pernah Aidan torehkan masih terlalu membekas. Tapi, kebiasaan, kenyamanan, dan mungkin sedikit rasa takut akan kesendirian, perlahan menariknya kembali. Ia tahu, tawaran Aidan untuk kembali ke perusahaan bukanlah semata-mata karena kebutuhan profesional, melainkan cara lain untuk menjaga dirinya tetap ada dalam hidupnya. Karenina menarik nafasnya. Ternyata ia memang belum sepenuhnya siap meninggalkannya.