Susah Move On

1158 Kata
Suara ketukan di pintu rumahnya mendadak membuat kepala Karenina berdenyut kencang. Pagi-pagi begini, siapa lagi kalau bukan Sang Mantan yang gagal move on? Mau apa lagi dia sekarang? Bukankah kemarin ia sudah memesankan seluruh isi supermarket untuknya? Karenina menghela napas panjang, mencoba menahan emosi yang mulai merayap naik. Saat pintu terbuka, tampak Aidan berdiri dengan pakaian rapi dan rambut setengah basah, memegang sekantong kopi di tangannya. "Aku enggak bisa bikin kopi. Enggak ada coffee maker di rumahku," ucapnya seraya mengulurkan kopi itu pada Karenina. "Tinggal diseduh pakai air panas, Aidan… Aku juga enggak punya coffee maker di sini…" Karenina berusaha keras menjaga nada suaranya tetap datar. "Tapi aku 'kan, enggak biasa seduh kopi, Nin?" Aidan memandang Karenina dengan tatapan polos yang justru membuat Karenina ingin berteriak. Ya, Tuhaaan! Karenina menatap Aidan tanpa bisa berkata apa-apa lagi. Akhirnya, ia pun membiarkannya masuk ke dalam rumah. Dan Aidan, dengan santainya, menghempaskan tubuh besarnya di atas kursi makan. "Jadi, kapan kamu akan kembali ke kantor?" tanyanya. "Baru juga kemarin…? Aku 'kan, masih mikir-mikir?" jawab Karenina. "Apa lagi yang kamu pikirin?" Aidan mendesak. "Jangan paksa aku, Aidan!" Karenina melotot kesal. "Aku bukannya maksa. Tapi perusahaan 'kan, memang membutuhkan kamu secepatnya." Sambil menuangkan kopi ke dalam cangkir, Karenina mencoba berpikir. Ia tak ingin begitu saja menerima tawaran Aidan. Pria ini harus diberi syarat agar tidak semena-mena lagi mengatur hidupnya. "Oke. Aku mau kembali asal dengan syarat." "Syarat apa?" "Pertama, aku akan tetap tinggal di sini. Kedua, kamu enggak bisa memaksaku melakukan keinginan kamu kecuali masalah pekerjaan. Dan ketiga, kamu harus kembali tinggal di apartemenmu. Kamu enggak boleh tinggal di rumah itu lagi." Karenina menatap Aidan lurus. Aidan terlihat berpikir keras. "Oke… persyaratan kesatu dan kedua aku setuju. Tapi tidak untuk persyaratan ketiga. Aku 'kan udah bilang aku berhak tinggal di mana saja?" "Kalau gitu aku enggak mau!" Karenina menatap Aidan dengan wajah menantang. Ia tak ingin mengalah. Dan akhirnya Aidan menyerah. "Oke!" Ucapnya dengan wajah terpaksa. "Jadi kapan kamu mulai?" "Begitu kamu meninggalkan rumah itu." Kini Aidan menghela napasnya. "Kenapa kamu enggak kembali aja ke apartemenmu, Nin. Aku akan memperbaikinya kalau kamu kembali ke sana." "Itu apartemen kamu, Aidan. Apartemenku masih disewakan. Kita udah putus. Jadi aku kembalikan semuanya sama kamu." "Enggak harus kayak gitu, Nin…" "Kamu sendiri yang ngomong begitu, Aidan. Aku hanya mengingatkan." "Maafin aku. Sekarang aku kembalikan lagi sama kamu." "Sudahlah, Aidan. Aku udah enggak butuh. Kita enggak usah bahas lagi." "Tapi aku ingin membicarakannya, Nin. Aku ingin memperbaiki hubungan kita." "Aidan, please… kita sudah putus. Enggak ada yang perlu diperbaiki lagi." "Kamu ninggalin aku karena takut aku akan nyakitin kamu lagi, kan?" Karenina terdiam. Enggan untuk menjawab. Ia tahu apa pun alasannya Aidan akan tetap menyalahkannya. "Kalau itu alasannya aku akan berusaha memperbaikinya. Kalau perlu aku akan ke psikiater untuk menyembuhkannya. Aku benar-benar menyesal, Nin. Itu semua di luar kendaliku. Kamu 'kan tahu aku enggak pernah melakukan itu sebelumnya?" Karenina menatap Aidan tak percaya. Ia tahu Aidan menyesal, tapi sampai ke psikiater? Rasanya sulit dipercaya. Itu terlalu berlebihan baginya. Dia mengatakan itu hanya untuk membujuknya saja. "Aidan, please… aku benar-benar enggak mau membicarakannya sekarang," ucapnya memohon. "Kenapa, Nin? Apa kamu enggak merasa bersalah meninggalkan pernikahan kita begitu saja? Membuat kecewa orang tuaku. Dan membuat malu keluargaku? Apa yang kamu pikirkan, Nin?" "Aku minta maaf… Aku tahu aku salah. Tapi kamu yang memaksa mempercepat pernikahan itu." "Kamu tahu bukan itu masalahnya. Kamu meninggalkan pernikahan kita tanpa pesan. Tanpa bicara apa-apa. Lalu kamu menghilang begitu saja. Kamu sudah membuatku hampir gila, Nin! Bukankah aku berhak mendapatkan sedikit penjelasan darimu?" "Aku bingung Aidan… Aku takut…" "Aku memang marah melihat foto-foto itu, aku sangat cemburu. Tapi tak sedikit pun aku ragu untuk menikahimu. Karena aku tahu kamu akan menjelaskannya padaku nanti. Dan aku akan memaafkanmu karena aku percaya kamu tidak pernah melakukannya sama dia. Tapi ternyata kamu malah pergi…" "Maafin aku…" Karenina menahan air matanya agar tak menetes. "Pasti dia yang memintamu pergi, kan?" Karenina kembali terdiam. Ia tak ingin membuat Aidan semakin emosi. "Apa sekarang kamu sedang menunggunya?" Menunggunya? Jadi dia tidak tahu tentang perjanjian Bintang dan Mama? Karenina menatap wajah Aidan yang putus asa. Tatapan itu membuatnya semakin merasa bersalah. "Aku enggak menunggu siapa-siapa. Aku hanya butuh waktu," sahutnya. "Apa kamu masih mencintaiku, Nin?" Karenina menatap ragu. Ia ingin menggeleng. Tapi mata itu menatapnya penuh harap. "Aku enggak tahu lagi, Aidan…" Lirihnya. Aidan memalingkan wajahnya, menyembunyikan kecewa di matanya. "Oke. Mungkin kamu memang perlu waktu. Aku enggak akan memaksa kamu bicara lagi," ucapnya. Dan ia pun melangkah pergi. Karenina mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ucapan Aidan membuat hatinya terusik. Kini ia kembali mempertanyakan keputusan yang diambilnya waktu itu. Ia meninggalkan Aidan di hari pernikahannya. Ia sudah mengecewakan banyak orang. Dan ia sudah membuat keluarga mereka menanggung malu. Dan kini, setelah semuanya berantakan, Bintang malah menghilang tanpa kabar. Kalau dia memang mencintainya mengapa dia tak memperjuangkannya? Mengapa dia menyerah begitu saja? Apakah dia sudah tak berarti lagi baginya? Ataukah memang cintanya tak sebesar yang dikiranya selama ini? ... Naira menatapi wajah Bintang yang tertidur di sampingnya sambil tersenyum. Wajahnya begitu pulas seperti bayi yang tengah terlelap. Ingin sekali ia kembali berada dalam dekapannya yang hangat. Dan membiarkannya mencumbuinya lagi seperti tadi malam. Malam terindah sejak pernikahan mereka. Bahkah indahnya melebihi bulan madu yang mereka rasakan dulu. Entah apa yang membuatnya begitu berbeda. Dia begitu mesra. Dia memanjakannya dengan makan malam romantis. Nonton film romantis. Dan diakhiri dengan kemesraan di dalam kamar tidur. Naira tersipu mengingatnya. Apakah dia benar-benar sudah berubah? Ataukah dia sudah mulai melupakan perempuan itu? Karena ia percaya perlakuannya tadi malam bukan semata karena rasa bersalah. Tapi lebih dari itu. Ia seperti merasakan gairah tak biasa dalam dirinya. Gairah dan hasrat yang seperti terpendam lama, yang akhirnya ia luapkan semuanya tadi malam. Karena sejak kehadiran perempuan itu dalam hidup mereka dia jarang menyentuhnya lagi. Dia seperti berada dalam dunianya sendiri. Dia seperti melupakannya. Tapi semalam semuanya berubah. Dia sudah kembali padanya. Naira kembali menatapi wajah itu. Ah, ingin sekali rasanya untuk kembali menciuminya. Tapi ia tak ingin membuatnya terbangun. Dia pasti sangat kelelahan tadi malam. Naira kembali tersipu. Ia tak akan membangunkannya. Ia akan menyiapkan saja sarapan untuknya. Perlahan ia beranjak dari tempat tidur. Namun tiba-tiba tangan itu menarik tubuhnya kembali lalu merengkuhnya dalam dekapan erat. "Jangan pergi, Nin..." Bisiknya dengan mata yang masih terpejam. Seketika itu juga air mata Naira menetes. Dadanya terasa sesak. Dan hatinya begitu sakit. Ia tak percaya apa yang didengarnya. Ternyata semalam ia hanya bermimpi. Romantisme dan kemesraan itu ternyata tak nyata. Itu bukanlah untuknya. Tapi untuk perempuan itu. Kini ia menyadari arti dari perubahan sikapnya. Naira menahan isaknya. Hatinya begitu pilu menyadari ternyata dia hanyalah obyek pelampiasan fantasinya pada perempuan itu. Karena dia tak pernah berhenti mengingatnya. Dia selalu membayangkannya. Ia hanyalah peran pengganti dalam hayalannya. Dan saat Bintang kembali menciuminya dan mencumbuinya dengan penuh gairah seperti tadi malam ia pun memejamkan mata. Membiarkan air mata yang terus mengalir. Kini tubuhnya sudah mati rasa. Ia tak merasakan apa pun selain sakit yang merobek hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN