Tak! Tak! Tak!
Suara nyaring dari sepatu memenuhi lobi kantor sebuah polrestabes seiring langkah seorang gadis yang berpenampilan nyentrik. Bagaimana tidak? Belasan pasang mata sedang tertuju pada sosok gadis berambut kuning terang. Pakaiannya kontras dengan para pegawai kantor tersebut, begitupun dengan beberapa orang yang memiliki kepentingan tertentu.
Dengan balutan kaos putih sepinggang yang ujungnya sobek-sobek seperti hasil cakaran. Memperlihatkan kulit perut dan pinggang rampingnya dari sela jumbai potongan kaosnya. Dipadukan jaket jeans biru pudar dan rok span hitam pendek setengah paha. Dipadu sepatu boot hitam putih hingga bawah lutut.
Wajah kecilnya ditutupi kaca mata hitam dan potongan poni kuningnya. Bibirnya terlihat seksi dengan polesan lipstick merah maroon. Dagunya sengaja diberi tanda titik hitam. Sudut mata kirinya ditempeli stiker tulang ikan berukuran kecil yang terlihat dari samping saat ia menoleh.
Langkahnya kembali menuju meja bagian informasi dan pelayanan. Di balik meja panjang itu duduk dua orang polwan yang menatap heran padanya. Dengan sopan gadis itu menyapa dan mengutarakan maksud kedatangannya ingin bertemu Iptu Gibran Akhtar Hamizan. Dirinya tidak menghubungi Gibran karena semalam polisi itu mengambil ponselnya gara-gara cemburu. Alasan kebohongan yang diungkapkannya dengan nada memelas dan mengundang rasa iba.
“Katakan saja jika dia tidak menemui saya sekarang, lebih baik saya bunuh diri saja. Saya tidak sanggup dicuekin seperti ini. Saya tahu ini sudah hampir waktu istirahat makan siang dan dari salah seorang temannya di depan sana,” ujar gadis itu menunjuk arah pintu masuk tanpa menoleh, “Saya tahu dia ada di kantor. Tolong saya Mbak Polwan, upsss Ibu Polwan. Saya cuma mahasiswi yang terjebak salah paham sama polisi ganteng itu. Ponsel saya sangat penting untuk bisa menghubungi keluarga saya.”
Sambil menarik napas cukup panjang, gadis itu melirik ke arah jam dinding ketika salah satu dari polwan tersebut meraih gagang telpon di atas meja. Dari balik kacamata hitamnya ia bisa melihat keduanya saling lirik dan melemparkan isyarat. Kondisi yang tidak menguntungkan baginya. Semakin lama berada di sini, dirinya bisa ketahuan dan rencananya hancur berantakan.
“Ini sudah hampir 24 jam loh saya kabur dari rumah. Kalau sampai keluarga saya buat laporan ke kantor polisi karena mengira princess mereka hilang atau diculik… terus lacak ponselku. Tahu-tahunya nemu alamat kantor ini. Ponsel anaknya ada sama polisi ganteng. OMG! Ini gawat! Infotaiment bisa heboh gara-gara ada artis FTV dikira diculik sama polisi polres ini. Belum lagi gosip dan liputan breaking news.”
Polwan yang satunya ikut meraih gagang telpon lainnya. “Tolong ya… sebelum manajer saya yang datang dan bikin kegaduhan di sini. Tolong hubungi Iptu Gibran, saya mohon...” pintanya lagi.
Kedua polwan itu kembali tersenyum sembari mengangguk. Ucapan gadis di depannya ada benarnya juga. Hal itu tentu saja akan mempengaruhi citra kantor kepolisian ini. Salah satu dari mereka yang terhubung dengan panggilan telpon bagian Satreskrim melirik pada gadis yang menunduk lesu itu.
Tak lama panggilan tersebut terhubung dengan Gibran. Gibran mengatakan tidak mengenal gadis seperti yang disebutkan ciri-cirinya dan apa saja yang disampaikan gadis itu tadi. Gibran juga memberitahu jika dirinya semalam lembur dan tidak menahan ponsel siapapun.
“Maaf Nona, Iptu Gibran mengatakan tidak mengenal Anda. Tidak ada hal yang terjadi seperti yang Anda ceritakan tadi,” ujar polwan berpangkat brigadir dua itu dengan sopan.
“Katakan padanya passwordku, sang Peri Manja telah kembali dan akan menghancurkan brangkas anda,” ucapnya.
“Maaf Iptu Gibran, nona ini mengatakan passwordnya, sang Peri Manja telah kembali dan akan menghancurkan brangkas Anda,” ucap polwan itu melalui sambungan telpon dan mengernyit saat melihat senyum sinis di wajah mungil itu, “Baik. Kami akan memintanya menunggu.”
“Dia akan turun kemari kan?” tanya gadis itu sambil memainkan jari-jarinya di pipi. Terlihat sangat kontras dengan kuku yang diberi kuteks merah.
Senyumnya langsung mengembang semenit kemudian mendengar suara langkah kaki seseorang berlari menghampiri bagian pelayanan. Gadis itu kembali melirik jam dinding jam dinding karena kurang 20 menit lagi waktu istirahat makan siang. Ia harus pergi sebelum Gibran istirahat. Dirinya hanya akan aman jika Gibran sibuk dan tidak bisa meninggalkan kantor.
“Di mana gadis itu? Gadis yang mengatakan sang Peri Man-” Ucapan Gibran terhenti ketika kedua polwan itu menoleh pada gadis yang berdiri di belakangnya.
Gibran mengernyit memperhatikan penampilan gadis aneh di hadapannya. Gadis itu tersenyum sambil menurunkan sedikit kacamatanya dan kedua polwan itu terkesiap melihat Gibran melotot. Ketika kacamata hitam itu bertengger di atas kepalanya, Gibran hanya bisa melongo. Bergeming seperti orang bodoh ketika gadis itu langsung memeluknya.
“Jendral Gib, keluarkan dompetmu sekarang juga dan taruh di atas meja. Jika tidak, lipstick merahku ini akan membekas di seragammu. Lakukan sekarang...” bisiknya merengek manja. Kini kedua polwan itu yang ganti melongo. Ini pertama kalinya mereka melihat ada seorang gadis yang berani memeluk laki-laki tidak tersentuh dan lebih dikenal sosok dingin dan cuek itu.
“Ok. Ta-tapi… tapi lepas dulu,” bisik Gibran.
Gibran merinding melihat penampilan aneh adik sepupunya. Sungguh ia tidak mengerti bagaimana Aluna bisa tiba-tiba berada di hadapannya. Sejak kapan gadis itu tiba di Makassar? Apakah semua keluarga sudah tahu dan dirinya ketinggalan info? Atau dirinya yang memang terlalu cuek lantaran sibuk dengan pekerjaannya? Ada banyak sekali daftar pertanyaan di kepala Gibran.
“Taruh dulu dompetnya atau keluarkan semua uang dalam dompetmu sekarang juga!” ujar Aluna dengan bibir yang sudah mengerucut. Bisa bayangkan bagaimana hebohnya jika laki-laki yang disebut maminya pria anti kencan itu memiliki noda lipstick di seragamnya dan masih berada di kantornya?
“Baiklah… baik, aku mengalah.”
Gibran membuka dompetnya dan memperlihatkan banyak lembar uang pecahan seratus dan lima puluh ribu rupiah.
Aluna tentu saja tersenyum dan gerakan pelan dagunya meminta Gibran untuk menaruh semua itu di atas meja. Kedua polwan itu berusaha menahan tawa. Serigala pemburu julukan yang disematkan untuk seorang Gibran kini tidak berkutik di hadapan seorang gadis berwujud Barbie.
“Bagaimana kau bisa datang kemari dan memalakku seperti ini? Apa om dan tante sudah tahu kamu di Makassar? Lalu dandanan macam apa ini? Aneh begini. Apa kau sudah tidak waras? Kau membuatku hampir jantungan! Apa-apaan dengan cat rambutmu ini? Seperti rambu jalan saja," ungkap Gibran.
“Kau kejam sekali Jendral Gib. Harusnya seorang kakak bertemu adiknya itu disayang-sayang," keluhnya.
“Jawab pertanyaanku tadi Aluna!” desis Gibran kembali mengantongi dompetnya.
“Pertanyaanmu terlalu banyak, jadi aku akan jawab satu saja. Belum ada yang tahu aku ada di sini selain Kak Gibran, Safwan dan Nafisa. Jadi jangan sampai ada yang tahu aku di sini sebelum aku pulang sendiri ke rumah! Jangan kirim orang untuk membuntutiku atau aku akan buat masalah baru! Jika papi sama mami tahu penampilan aku seperti ini, mereka bisa jantungan dan itu semua gara-gara…” Aluna menunjuk dadanya Gibran dengan senyum percaya diri sambil mengambil segopok uang di atas meja. Senyum manisnya berganti senyum licik saat Gibran memijit pelipisnya.
“Kakak tidak mau tahu, ganti pakaianmu!” desis Gibran memberi peringatan.
“Aku nggak suka diperintah… maunya dibujuk…” cicit Aluna mengerjapkan matanya lucu bak anak kecil yang polos.
Kedua polwan itu mengakui kecantikannya yang terlihat seperti Barbie hidup. Mereka mungkin akan lebih syok lagi jika mengetahui jika gadis cantik itu adalah putri Derdi Wijaksono, atasan mereka di kantor itu. Gibran kembali mendesah gusar.
“Kak Gibran mau aku pakai baju apa?” tanyanya kali ini tampak murung.
“Pakaian yang layak dan tidak aneh seperti ini. Biasanya kamu juga pakai dress yang sopan dan tolong cuci pewarna rambut ini. Mataku sakit lihat kamu seperti ini,” bisik Gibran lagi namun masih dengan nada menuntut.
“Gibran! Kau diminta menghadap ke bagian….”
“Assalamu alaikum, Mas Fikri. Kabar princess sama prince bagaimana?” tanya Aluna sambil menghitung lebaran uang dengan nominal Rp2.150.000,- itu dan memasukkannya ke dalam saku rok ketika Gibran menoleh ke belakang. Kedua polwan itu kembali tersenyum ketika Aluna tersipu malu dengan tindakannya. Mereka sudah tahu jika dirinya bukan artis FTV, melainkan adik dari polisi yang berdiri di hadapan mereka saat ini.
“Wa alaikum salam, mereka sehat dan ceria seperti biasa. Maaf, Nona siapa?” tanya Fikri sopan dan melirik penuh tanya pada Gibran yang masih dipeluk oleh gadis itu dengan sebelah tangannya.
“Peri… ingat kan, sama aku?” tanya Aluna menunjukkan cengiran sambil menyentuh pipinya dengan ekspresi tersipu. Mendengar kata ‘Peri’ hal itu sukses membuat Fikri terkejut sama seperti Gibran tadi.
“Really?” tanya Fikri terkekeh melihat anggukan Aluna.
“Jendral Gib, kalau aku sampai ketahuan, aku pastikan Kakak bakal jemput aku di diskotik! Mau?!” ancamnya.
“Cukup tiga hari!” kata Gibran mengacungkan telunjuknya. Ia tidak punya banyak waktu karena sebelum turun ia diminta menghadap ke ruangan atasannya.
“Dengan syarat… kirim gaji Kakak sebulan ke rumah Nafisa. Ingat, harus tunai! Aku tinggal di sana dulu. Jangan coba-coba jemput! Tadi Kakak suruh aku beli baju kan? Aku mau shoping sama Nafisa. Kak Gibran mau aku pakai pakaian ini ke mana-mana? Tidak kan?” tuntutnya.
“Kalau kakak menolak?” Gibran menunjukkan smirknya.
“Aku sebenarnya kabur dari rumah eyang. Aku ada masalah. Tadinya mau bilang sama Kak Gibran, tapi sepertinya Kakak sibuk. Aku jadi nggak enak ganggu...” lirih Aluna mengiba dan membuat Gibran mendesah berat. Kalau sudah begini ia sudah kalah telak melihat Aluna menghapus air matanya.
“Jangan ke mana-mana sendirian! Harus selalu sama Nafisa. Kakak kirim tunai seperti mau kamu. Tapi ingat, cuma tiga hari. Kalau tidak, kakak seret seperti karung beras."
“Hiks…hiks… oke deal! Aku janji cuma tiga hari. Tapi kirim gaji sebulannya tambah tunjangannya juga.... Beli dress harus beli sepatu sama tas. Masa pakai dress tapi sepatunya boot begini? Nggak cocok…” ujarnya manja.
“Hahaha….” Fikri tertawa dan mengacungkan jempol pada Aluna. Kedua polwan yang sejak tadi menyimak berusaha keras agar tidak kelepasan tertawa seperti senior mereka.
“Kak Gibran jangan pelit. Aku tuh lagi sulit. Lagipula Kak Gibran belum punya istri, jadi gajinya buat adiknya dulu. Benarkan, Mas Fikri? Tuh, Mas Fikri saja setuju.” Gibran merotasi bola matanya jengah. Fikri justru mendukung adik manjanya ini.
“Arrghh!!” Gibran geram menahan kesal. Aluna kembali memeluknya dan tidak sengaja lipstick merahnya membekas di seragamnya, “Kamu bikin kakak sakit kepala. Nafisah mana?”
“Di pos jaga, gombalin polisi serem. Sini, aku peluk lagi. Masih kangen,” ujar Aluna yang kembali menyembunyikan wajahnya dengan memeluk Gibran. Ada petugas lain yang melintas dan Aluna tahu jika itu ajudan papinya.
“Aku pergi dulu. Sampai jumpa tiga hari kemudian. Oh iya Nona Polwan, tunggu saja kiriman dua paket makan siang dari Kafe ARU. Tadi aku sudah pesan. Itu bukan sogokan loh…. Terima kasih atas bantuannya. Peri mau shoping,” ucapnya tersipu.
“Apa ommu sudah tahu?” tanya Fikri tersenyum ketika melihat Aluna berlari kecil meninggalkan mereka. Terlebih melihat wajah memelas Gibran.
“Jangan sampai omku tahu. Aku harus menghadap ke mana?” tanya Gibran meraih ponsel dan mengirim pesan pada seseorang.
“Pak Derdi,” jawab Fikri yang membuat bahu Gibran kembali merosot. Omnya adalah orang yang paling dihindarinya saat ini. Semoga saja ajudan omnya tadi tidak menceritakan tentang dirinya dipeluk seseorang.
“Setidaknya ke toilet dulu dan bersihkan seragammu. Hapus noda lipstick itu dulu sebelum kau membuat heboh seluruh kantor," ucap Fikri diangguki kedua polwan di samping mereka, “Sepertinya dia akan jadi adik kecilmu selamanya.”
“Aku akan menjahilinya lagi saat ia sudah menikah nanti. Setidaknya saat itu akan seru, sudah ada yang membelanya,” ujar Gibran yang teringat akan Bara. Entah bagaimana hasil pembicaraan para orang tua tentang perjodohan keduanya.
“Tapi dia benar-benar terlihat seperti boneka Barbie milik putriku. Mungkin ia baru saja menghadiri acara cosplay. Aku tidak mengenalinya jika ia tidak mengatakan jika dia Peri,” ujar Fikri berusaha menahan tawa untuk kesekian kali karena Gibran kembali bergidik.
***
Aluna menikmati acara belanjanya dengan Nafisa. Sahabat Aluna itu memang sudah dikenal lama oleh Gibran. Teman TK Aluna itu sudah dianggap adik juga oleh Gibran. Meskipun tidak sekolah SD, SM, dan SMA yang sama, Nafisa adalah teman pertama yang akan selalu dicaritahu kabarnya oleh Aluna. Keduanya memutuskan kuliah di kampus yang sama untuk jenjang S1 dan S2 yang baru mereka selesaikan beberapa bulan lalu.
“Kamu minta duitnya atau palakin Jendral Gib?” tanya Nafisa menikmati makan siang mereka di salah satu resto cepat saji.
“Palak. Hari ini aku mau ketemu sama Yang Mulia Raja dulu. Besok kita belanja kalau duitnya Jendral Gib udah dikirim ke rumah kamu," jawab Aluna kembali menyeruput jusnya.
“Bukannya kamu palak tadi? Dikasihnya cuma buat makan ini doang?” tanya Nafisa tersenyum ketika Aluna menggeleng dan malah tersenyum penuh arti.
“Aku kuras isi dompetnya. Dompetnya kosong, pasti di mobilnya masih ada duit. Aku yakin kok. Jendral Gib juga minta aku beli baju ganti. Katanya pusing lihat aku kayak gini. Jadi kita belanja satu dua baju saja dulu. Aku gerah dan harus ke salon buat cuci rambut ini,” ujarnya menyentuh rambut panjangnya.
“Tapi sumpah deh, kamu itu didandani kayak apa saja tetap cantik loh Lun. Kalau orang lain pasti aneh. Tapi lihat, sekarang kamu malah jadi objek utama di sini?” ungkap Nafisa melirik sekelilingnya. Hampir semua pasang mata di resto cepat saji itu memperhatikan mereka.
Tiga jam kemudian, Aluna tiba di rumah sakit. Ia tidak bisa sepenuhnya percaya Gibran akan menyembunyikan kesalahannya hari ini. Satu-satunya cara agar dirinya aman adalah mencari dukungan. Siapa lagi jika bukan Yang Mulia Raja-nya, Prof. Hamizan. Suami tante Mariska-nya dan papa dari Gibran.
Kali ini penampilannya sudah tidak menyilaukan mata seperti sebelumnya. Jaketnya sudah berganti cardigan rajut panjang selutut. Meski masih mengenakan pakaian yang sama di baliknya.
Rambut panjang bergelombang miliknya sudah kembali hitam. Sengaja dibuat sedikit berombak. Langkahnya begitu santai menuju ke departemen bedah. Beberapa pasang mata yang melihatnya tidak berkedip dan Aluna bisa mendengar jika mereka menduga dirinya seorang artis.
“Permisi, apa Prof. Hamizan ada di dalam ruangannya?” tanyanya sambil mengulas senyum. Perawat wanita itu tercengang melihat gadis yang sedang sibuk merapikan penampilannya. Penasaran dengan wajah di balik masker dan kacamata hitam yang digunakan gadis bertubuh mungil dengan penampilan sedikit berbeda.
“Iya, beliau ada di dalam. Anda sudah ada janji dengan beliau?” tanya perawat itu.
“Iya, janji seumur hidup. Beliau tidak akan pernah bisa menolak kedatangan saya. Saya ini kesayangannya, jadi nggak mungkin ditolak. Bilang kami tidak bisa diganggu. Permisi,” ujar Aluna mengangguk dan bergegas masuk ke dalam ruangan Kepala Departeman Bedah Thoraks dan Kardiovaskuler itu.
Perawat itu tercengang mendengar ucapan gadis berpakaian seksi yang baru saja masuk. Raut wajah syok itu masih sama saat seorang dokter hendak masuk ke dalam ruangan Prof. Hamizan dan terpaksa ia cegah.
“Tunggu Dok! Prof. Hamizan sedang ada tamu penting. Tamunya bilang tidak bisa diganggu,” ujarnya.
“Tamu? Prof. Hamizan tadi minta saya temui dia. Memangnya siapa yang datang?” tanya Bara mengernyit. Ia masih ingat dengan jelas pesan dari papa angkatnya itu memintanya untuk menyusul ke ruangannya. Ada hal yang penting ingin dibahas mengenai risetnya.
“Gadis seksi. Pakai baju sobek-sobek, jaket rajut, rok mini sama sepatu boot. Mukanya ditutupi pakai kacamata sama masker. Mungkin artis atau….”
“Atau?”
“Ah… tidak mungkin! Tapi kalau beneran bagaimana? Mana tadi ceweknya bilang kayak gitu.”
“Bilang apa Suster Mia?” Bara sedikit penasaran karena dari ciri-ciri yang disebutkan suster itu, rasanya Bara tidak mengenalnya. Tidak ada keluarga atau pasien yang belakangan ini berkonsultasi dengan profesi artis.
Suster Mia kembali mengulang ucapan gadis berpakaian seksi tadi. Bara mengernyit dan memandang pintu ruangan Prof. Hamizan. Dari penjelasan suster itu Bara bisa mengambil kesimpulan jika hubungan papanya dengan tamu yang datang itu cukup dekat. Janji seumur hidup, kesayangan dan kedatangannya yang tidak bisa ditolak. Bara terkesiap saat mendengar dugaan suster Mia.
“Dokter Bara tidak curiga? Bagaimana kalau ternyata gadis itu sugar baby? Dia dengan percaya diri bilang kalau dia kesayangan Prof. Hamizan dan kedatangannya nggak bisa ditolak," ujar Suster Mia memelas. Nyonya Hamizan akan mengamuk.
“Jangan bicara sembarangan. Nanti jadi fitnah. Suster bisa nanggung akibatnya?” Bara memperingatkan suster itu agar tidak sembarangan menebar gosip.
Tidak lama kemudian sosok yang dimaksud suster Mia keluar. Bara ikut terkejut melihat pantulan gadis itu dari kaca etalase berkas di belakang suster Mia. Gadis berpakaian aneh itu menganggukkan kepala pada suster Mia dan melambaikan tangan seperti artis yang baru saja menyapa fansnya.
Bara sama sekali tidak berbalik dan hanya memperhatikan gadis itu menghilang di balik pintu lift yang berdenting. Sibuk mengecek data pasien yang baru saja dioperasinya pagi tadi. Tapi melihat dengan mata kepalanya sendiri ditambah ucapan suster Mia, Bara terusik. Ia bergegas menyusul melalui pintu darurat dengan mengatakan pada suster Mia ia melupakan sesuatu yang penting di UGD.
Masih dengan napas yang ngos-ngosan, Bara berlari ke lobi. Berharap sosok tadi belum meninggalkan rumah sakit. Belum tiba di lobi, ia melihat gadis itu dari kaca jendela. Duduk di salah satu bangku taman rumah sakit sambil meregangkan tubuhnya. Melepas masker dan kacamatanya dan tersenyum.
"Cantik."
Bara tanpa sadar memuji gadis pemilik senyum menawan itu. Tapi dugaan suster Mia kembali menyadarkan lamunannya. Benarkah gadis cantik dengan senyum menawan itu sugar baby papanya? Gadis bertubuh mungil dengan rambut panjang bergelombang. Wajah cantiknya bersinar diterpa cahaya senja.
Bara bergeming ketika gadis itu merogoh saku cardigannya dan menghitung beberapa lebar uang lima puluh ribu rupiah. Bahunya merosot ketika gadis itu kembali merogoh sejumlah uang dari saku roknya dan mulai menghitung lembaran uangnya. Bingung dengan apa yang harus dilakukannya sekarang.
***