Pisang Makan Pisang

1356 Kata
"Hello … bisa pelan dikit enggak jalannya? Engga liat apa, aku jalan pake heels gini?" celoteh Zeline seraya tergopoh-gopoh mengejar Daffin yang berjalan dengan langkah lebar. Zeline semakin keki saat Daffin tak menggubrisnya. Lelaki itu seolah cuek terhadap protes yang baru saja Zeline layangkan. "Bapak Daffin Narendra yang terhormat, bisa enggak sedikit aja, lebih menghargai orang? Aku lagi ngomong malah di cuekin," sungut Zeline kesal. Daffin menghentikan langkahnya seketika, saat Zeline menyebut namanya dengan lengkap. Pemuda itu lantas memutar tubuhnya dan menatap Zeline seraya bersedekap. Sorot matanya begitu tajam, hingga membuat nyali Zeline ciut dalam sekejap. "Kamu bicara dengan saya?" tanya lelaki itu seraya memaku manik mata Zeline. "Ada orang lain yang namanya Daffin Narendra deket sini?" tanya Zeline menantang. "Apa sebelumnya anda juga berbicara dengan saya? Saya tidak merasa pernah diperkenalkan dengan nama Hello." senyum mengejek lelaki itu perlihatkan pada Zeline. Zeline jadi salah tingkah mendengar penuturan Daffin. Sorot mata lelaki itu seolah mengembalikan perkataannya soal menghargai orang lain. ia memalingkan wajahnya saat lelaki itu masih menatapnya lekat. Daffin kembali memutar tubuhnya dan berjalan meninggalkan Zeline yang salah tingkah. "Tunggu, kita harus bicara," ucap Zeline sedikit keras agar dapat terdengar oleh Daffin yang mulai menjauh. Lelaki itu nampak menghentikan langkahnya. "Saya tidak punya banyak waktu, saya sedang buru-buru. Kalau kamu mau ikut mobil saya, bergegas lah," ucap lelaki itu tak sabaran. "Tidak perlu repot memikirkan aku. Aku bisa naik taxi," balas Zeline. "Bagus lah kalau begitu," jawab Daffin cuek. Seketika Zeline menyatukan dua alisnya. Bibirnya bersungut-sungut mendengar ucapan lelaki yang meninggalkannya begitu saja tanpa beban. Ia sama sekali tak menyangka kalau Daffin akan secuek itu padanya. Belum pernah sekalipun ia mendapat penghinaan seperti ini dari makhluk bernama lelaki. Sebagian besar lelaki selalu memberinya tatapan memuja. Tak perduli mereka muda, tua, orang biasa ataupun dari kalangan atas dan pejabat. "Dasar sombong," kesal Zeline seraya menghentakkan kakinya. "Bukan cuma kamu saja yang sudah buang-buang waktu buat jodoh-jodohan enggak penting ini. Kita harus bicara," sergah Zeline tak sabaran. "Kalau mau bicara, temui sekretaris ku. minta dijadwalkan supaya kita bisa ketemu," ucap Daffin masih dengan ekspresinya yang datar. Pemuda itu berlalu meninggalkan Zeline begitu saja tanpa menoleh pada perempuan itu sedikitpun. Sementara Zeline terpaksa kembali ke kantornya dengan sebongkah kesal yang bersarang di d**a. Zeline mendorong pintu Newsroom begitu ia sampai di tempat tujuannya. Sebuah ruangan luas, dimana ia biasa menghabiskan sebagian besar harinya. Perempuan berbadan tinggi semampai itu, menghempaskan tubuhnya di kursi kebesaran miliknya masih dengan raut wajah yang sama seperti ia meninggalkannya. "Kusut amat itu muka," ucap seseorang yang langsung menempati kursi di hadapannya tanpa dipersilahkan. "Iya, nanti gue setrikain," ucap Zeline membuat Diva, bawahan sekaligus sahabatnya itu tergelak. "Ah, enggak ngaruh kayanya muka lu disetrika apa enggak. Bakalan tetep kusut," timpal Diva cuek. Zeline hanya berdecak mendengar Diva meledeknya. Akan tetapi, apa yang Diva katakan tak meleset sama sekali. Ia tidak akan bisa hidup dengan tenang setelah ini, sebelum mendapatkan cara agar bisa terbebas dari pernikahan yang dipaksakan ini. "Ah, tapi kayanya enggak mungkin deh cowok tengil itu mau-mau aja disuruh nikah cepet," pikiran Zeline berkelana, begitu mengingat ucapan ayahnya yang mengharuskan ia menikah bulan depan. "Hei," Diva melambaikan tangan di hadapan Zeline membuat perempuan itu tersentak. "Mikirin apaan sih?" tanya Diva heran. "Eh, lu tau Pak Daffin, kan?!" tanya Zeline seketika. "Ya tau lah. Masa enggak tau bos besar?! Kenapa sih tiba-tiba nanyain dia?" Diva mengerut dahi menatap Zeline dengan saksama. "Menurut lu, dia udah punya pacar belum sih?" Zeline bertanya balik, menghiraukan pertanyaan Diva sebelumnya. "Hei, lu tertarik sama Pak Daffin?!" Diva memperlihatkan wajah terkejutnya. Perempuan itu lantas merubah ekspresinya menjadi waspada. "Gue kasih lu kamu, ya. Enggak akan ada satupun cewek yang bisa deketin Pak Daffin." "Emang kenapa? Sesombong itu emangnya dia?" tanya Zeline dengan wajah meremehkan. "Bukan karena itu. Udah jadi rahasia umum kalau dia itu sebenernya …." ucap Diva setengah berbisik seraya melirik ke kanan dan kiri memperhatikan sekitarnya. Namun, tak seorangpun yang memperdulikan dua orang yang sedang menggosipkan pimpinan perusahaan mereka itu. "Dia sebenernya apa?" tanya Zeline tidak sabaran. Sekecil apapun informasi mengenai lelaki itu, harus Zeline ingat dengan baik. Siapa tau bisa dia jadikan senjata untuk menjatuhkan lelaki itu di hadapan kedua orangtuanya. "Pisang makan pisang." Diva berdesis nyaris tanpa suara. "Pisang makan pisang?!" ucap Zeline dengan suara agak keras. Sontak Diva mendesis sembari meletakkan jari telunjuk di bibir. "Bisa kecilin enggak sih suaranya?" sembur Diva. "Maksud lu, dia itu gay?" tanya Zeline dengan mata membulat sempurna. Diva menganggukkan kepala beberapa kali. "Udah banyak cewek yang ngedeketin dia, tapi mental semua. Dia itu enggak pernah punya scandal sama cewek." Diva menjelaskan kepada Zeline apa yang dia dengar, masih dengan setengah berbisik. "Orang kira dia itu gila kerja, makanya tidak tertarik untuk menjalin hubungan serius. Tapi tahun kemaren ada yang mengaku sebagai kekasihnya. Seorang pria bule," lanjut Diva lagi. "Serius lu?!" Zeline membelalakkan mata. Lagi-lagi Diva mengangguk dengan cepat, membuat Zeline tertegun. Mata perempuan itu berbinar seketika dengan senyum yang menggayut di bibir. "Pantes dia sama sekali gak tergoda dengan pesona gue. Ternyata dia suka cowok," gumam Zeline pada dirinya sendiri sembari mengerling. "Kamu ngomong apa sih? Emangnya kamu berusaha goda Pak Daffin?" beberapa garis tercetak jelas di dahi Diva melihat reaksi Zeline mendengar ceritanya. "Entar aja ceritanya. Gue mau temui sekretarisnya Pak Daffin dulu. Kantornya di gedung utama kan? di lantai tiga puluh satu?" tanya Zeline memastikannya pada Diva. "I-iya. Kantornya di gedung sebelah. Gedung utama," jawab Diva tak bisa menutupi rasa penasarannya melihat tingkah Zeline. "Gue ke sana dulu yah," ucap Diva seraya bangkit dari duduknya. "Hei, mau kemana? kita masih harus mendiskusikan agenda setting minggu depan." "Itu bisa menyusul nanti. Lu susun aja dulu, apa yang bisa kita kerjakan untuk minggu depan. Setelah itu baru kita rapatkan. Sekarang gue ada urusan yang lebih penting," ucap Zeline meninggalkan Diva yang terbengong di tempatnya. Perempuan itu setengah berlari ke luar gedung kantornya menuju gedung sebelah. Kartu identitas sebagai eksekutif produser di Nusantara TV membuat Zeline bebas melenggang masuk ke gedung utama kantor Nusantara Media. "Pak, saya mau minta tolong dong," rayu Zeline dengan nada manja pada seorang petugas keamanan yang berjaga tak jauh dari lift khusus ke lantai dua puluh. "Perlu bantuan apa dari saya, Mbak Zeline?" tanya petugas keamanan itu. Wajah Zeline nampak berbinar saat petugas keamanan itu langsung mengenalinya. Satu langkah lagi maka ia akan sampai ke ruangan lelaki angkuh itu, pikir Zeline. "Saya perlu ketemu sekretarisnya Pak Daffin," ucap Zeline dengan sorot mata penuh permohonan. "Sudah ada janji belom, Mbak?" tanya petugas keamanan itu ragu. "Saya mau ketemu sekretarisnya Pak Daffin, supaya bisa bikin janji sama dia," jelas Zeline. "Waduh, kalau begitu saya enggak berani, Mbak. Maaf," ucap petugas keamanan itu tak enak hati. "Ayolah, Pak, saya mohon. Lagipula saya enggak akan mungkin macem-macem lah, Pak. Bapak juga kenal saya kan?! Saya juga karyawan sini loh, Pak," mohon Zeline penuh harap, karena hanya lelaki di hadapannya ini yang bisa ia mintai tolong. Ia memerlukan akses dari petugas keamanan agar bisa menggunakan lift khusus yang mengantarkannya ke lantai dua puluh, tempat Daffin berkantor. "Itu ruangan Big Boss, Mbak. Enggak berani saya, suer," ucap petugas keamanan itu sembari mengangkat dua jarinya membentuk huruf V. "Sebentar aja, Pak. Saya janji enggak bakalan macem-macem di sana. Saya cuma mau ketemu sekretarisnya Pak Daffin aja." "Bener-bener minta maaf, Mbak. Saya enggak bisa bantu. Kalau ketahuan Pak Daffin, habis saya. Pak Daffin galak, Mbak," ucap lelaki itu meringis takut. Zeline menghela nafas pasrah. Binar di matanya redup seketika, berganti kesal karena gagal bertemu dengan lelaki yang mengacaukan moodnya hari ini. "Bener-bener ya tuh orang. Padahal dia yang suruh gue bikin janji lewat sekretarisnya. Lah, sekarang mau ketemu sekretarisnya aja susah gini. Gimana caranya mau bikin janji temu coba?" gerutu Zeline melampiaskan kesal sembari berjalan ke arah meja resepsionis. Perempuan itu lantas menyandarkan tubuhnya di meja resepsionis itu seraya mengeluarkan ponselnya. Dengan cepat ia mengotak-atik daftar kontak di ponselnya. Mencari nama yang mungkin bisa membuka jalannya untuk menemui Daffin secara langsung. "Selamat siang, Pak," ucap petugas keamanan dengan suara tegas dan berwibawa. Suara petugas keamanan itu menarik perhatian Zeline untuk memutar kepalanya ke arah sana. Mata Zeline kembali bersinar melihat pemandangan di depan mata. "Pucuk dicinta, ulam pun tiba," ucap Zeline semringah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN