Aruna mengurung diri. Bukan karena dia patah hati, hanya saja dia tidak memiliki tenaga untuk melakukan apapun.
Usai di rumah setelah menghadiri pertandingan futsal Rona, Aruna sudah mengirimkan pesan yang berisi banyak kalimat permintaan maaf pada Andika. Dia tidak berharap untuk dimaafkan, hanya saja Aruna berharap pesannya akan mendapatkan balasan.
Tapi Andika sudah pasti marah besar sehingga hanya dengan melihat nama Aruna saja sudah membuat pria itu mual parah.
Berbalik badan, Aruna sudah menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk membiarkan tubuhnya itu membuat tempat tidurnya berantakan. Walaupun begitu hati Aruna tetap saja tidak bisa tenang. Dia jahat sekali pada Andika yang tulus mencintai nya.
Tapi sebanyak apapun Aruna menyesal, kesalahannya tidak bisa dimaafkan semudah itu.
"Aruna? Kamu di dalam?"
Kini Aruna terlentang, matanya menatap ke arah langit-langit kamarnya yang berwarna biru cerah.
Itu suara Abangnya, biasanya Abangnya baru akan pulang jam empat sore atau jam lima. Lalu ketika Aruna melirik ke arah jam kecil di atas nakas dekat tempat tidurnya, ternyata selama dia hanya membuat dirinya tidak berguna di tempat tidur waktu sudah berjalan hingga menyentuh angka setengah empat.
"Ada, tapi aku lagi enggak mau ngomong sama siapa-siapa!" teriak Aruna membalas pertanyaan Abangnya tadi.
"Keluar sebentar, Abang mau minjem sesuatu."
Berdecak pelan, Aruna mengusak rambutnya hingga berantakan karena kesal dengan kekeraskepalaan Kakaknya itu.
Dengan gerakan malas, dia bangun dari posisinya dan berjalan lunglai ke arah pintu. Ketika pintu terbuka, wajahnya Abangnya yang masih segar walaupun sudah menghabiskan banyak waktu di rumah sakit yang penuh sesak dengan pasien. Hal itu membuat Aruna semakin sebal.
"Mau pinjem apa?" tanya Aruna ketus.
Kakaknya itu mengangkat sebelah alisnya mendengar ujaran ketus dari Aruna. Lalu setelah menghela napas pelan, Arsha langsung bergerak masuk dan duduk dengan santai di pinggir ranjang Aruna.
Mengerutkan kening dengan tatapan heran, Aruna mengikuti langkah kakaknya itu.
"Katanya mau pinjem sesuatu, kok malah duduk?" tanyanya seraya berkacak pinggang.
Abangnya itu tersenyum manis yang malah terlihat menyebalkan, menarik tangan Aruna hingga terduduk di sampingnya.
"Tadi Rona ngirim pesan ke Abang, katanya Abang suruh hibur kamu karena kamu baru patah hati."
Mengerjap, Aruna memalingkan wajah tanpa mau menatap ke arah kakaknya.
"Kenapa bukan dia sendiri yang hibur aku?" gumam Aruna.
Dia pikir Arsha tidak mendengar ucapannya, namun saat dia merasakan jentikkan pelan di samping kepalanya, dia sadar bahwa Arsha mendengarnya.
"Jangan kekanakan. Kamu kan juga tahu kalau Rona bahkan belum pulang, dan lagi kayaknya kali ini juga kamu putus sama pacar kamu karena lebih milik Rona kan?"
Tersentak karena tebakan kakaknya tepat sasaran, Aruna hanya bisa diam sambil mencebikkan bibirnya.
Arsha menghela napas, mengusap kepala adik satu-satunya itu dengan lembut.
"Berhenti, Dek. Jangan lakuin hal itu lagi, bukan cuma merugikan kamu, pacar-pacar kamu, tapi juga merugikan Rona yang selalu jadi sasaran rasa enggak suka dari semua mantan kamu. Mereka kan pada akhirnya tahu kalau kamu cuma suka sama Rona, makanya setelah putus dari kamu, secara otomatis mereka memandang Rona sebagai alasan kenapa kamu mengecewakan mereka."
Menggigit bibirnya pelan, mata Aruna sudah berkaca-kaca mengingat kembali wajah kecewa dan terluka Andika beberapa saat yang lalu.
Dia juga mengingat ucapan Rona yang menyebutnya keterlaluan. semua pikiran itu tumpang tindih hingga akhirnya Aruna terisak pelan.
Dengan menghela napas pelan, Arsha kemudian menarik pundak adiknya. Memeluk Aruna dan membiarkan gadis itu terisak bagai anak kecil.
Yang bisa dia harapkan adalah, agar Aruna bisa menerima ucapannya dan berhenti melakukan tindakan bodoh hanya untuk menarik perhatian Rona.
Karena jika dari apa yang Arsha lihat, kalaupun Rona benar-benar memiliki perasaan seperti apa yang selama ini diyakini oleh Aruna, sepertinya jalan mereka tidak akan mudah mengingat bagaimana sikap Rona yang begitu tertutup.
*
Dengan memegangi satu tali ranselnya, Rona keluar beriringan dengan mahasiswa lain setelah kelasnya usai.
Dia memiliki janji untuk merayakan kemenangan bersama dengan rekan satu timnya, namun melihat kejadian barusan tadi dimana Aruna sepertinya sedikit terluka, rasanya Rona jadi ingin pulang saja.
Tapi dia sadar, kalau pun dia pulang tidak akan ada yang bisa dia lakukan. Perempuan itu hanya akan mengatakan jika dia tidak berniat melukai siapapun, dan lebih dari siapapun Rona adalah yang paling tahu kenapa Aruna melakukan hal semacam itu.
Gadis itu mencoba membuat dirinya tertarik, cemburu atau semacamnya. Hal yang menurut Rona adalah sesuatu yang konyol dan kekanak-kanakan. Karena sebanyak apapun Aruna berusaha, dirinya tetap tidak bisa membalas perasaan gadis itu.
Nyaris sampai di parkiran motor, dia tanpa sengaja malah berpapasan dengan pria yang beberapa saat yang lalu baru saja putus dengan Aruna.
Andika, pria itu jelas tampak tidak baik-baik saja. Tapi tadinya Rona berpikir Andika akan mencaci maki dirinya yang menjadi penyebab pria itu dan Aruna putus, seperti mantan kekasih Aruna yang lain. Tapi yang terjadi adalah Andika justru tersenyum kecil saat menyapa nya.
"Mau pulang?" tanya Andika seakan tidak ada yang terjadi di antara mereka sebelumnya.
Rona mengangguk, tangannya menarik tali ranselnya yang turun.
"Lo..juga mau pulang?" tanya balik Rona.
Ini hanya pertanyaan basa-basi. Karena rasanya tidak sopan jika ditanyai tanpa ditanya balik.
"Iya, ini baru mau balik."
Setelahnya tidak ada lagi yang bicara. Rona bukan lah tipe orang yang bisa membuka percakapan dengan mudah, tapi melihat dari Andika yang juga tidak beranjak padahal tidak ada lagi yang dikatakan pria itu, sepertinya Andika ingin mengatakan sesuatu namun ragu.
"Sebelumnya... Gue minta maaf kalau gara-gara gue, lo sama Aruna jadi..."
Belum usai kalimat Rona tergenapi, Andika malah tertawa. Pria itu menggaruk pangkal hidungnya, menggeleng pelan kemudian.
"Lo enggak usah minta maaf, sebenarnya gue ngerti alasan Aruna ngelakuin itu." Andika menghela napas, menyugar rambutnya yang nya nyaris tidak bergerak. "Dari awal semua orang bilang kalau Aruna itu cuma suka sama lo, semua mantannya bilang begitu. Tapi gue yang memang suka sama Aruna, tetap nekat deketin dia. Berharap dia bisa berpaling ke gue dari lo, toh yang selama ini gue lihat kalau lo sama dia kan enggak ada hubungan. Tapi, sekali pun gue memperlakukan dia sebaik mungkin, matanya tetap tertuju ke lo. Dia cuma suka sama lo, dan kejadian hari ini bikin gue sadar kalau sekeras apapun usaha gue, gue enggak akan berhasil."
Rona tertegun. Dia memang sering mendengar rumor tentang dirinya dan juga Aruna, tapi dia sama sekali tidak menyangka jika Andika masih mau berpacaran dengan Aruna meski tahu kenyataan seperti ini.
"Ya dari semua ucapan gue itu, gue cuma mau bilang kalau ini bukan salah lo ataupun Aruna. Gue memang kecewa, gue sakit hati karena cewek yang gue sayang lebih milih ketemu sama orang lain daripada gue sebagai pacarnya, tapi gue enggak nyalahin lo ataupun Aruna. Jadi lo tenang aja."
Usai mengatakan itu, Andika menepuk pundak Rona sekali sebelum kemudian berbelok ke arah parkiran mobil.
Rona mendesah berat, dia langsung menghampiri motornya dan berlalu keluar dari pelayaran kampus.
Usai mendengar ucapan Andika, dia jadi berpikir bahwa Aruna tidak boleh sampai melakukan kesalahan yang sama. Gadis itu harus berhenti untuk menerima siapa saja pria yang menyukainya.
Mungkin kali ini tidak apa-apa karena Andika mengaku tidak menyalahkan Aruna ataupun dirinya, tapi untuk kedepannya Rona tidak ingin Aruna disalahkan jika sampai kembali pada situasi yang sama.
Terlepas dari sikap menyebalkan Aruna selama ini, dia adalah gadis yang baik. Rona tahu itu sejak awal dan itu juga yang membuat dia nyaman dengan Aruna, terlebih keluarganya juga menganggap Rona sebagai kerabat dekat. Kebaikan keluarga Aruna membuat Rona mau tidak mau seperti terikat hutang budi yang tidak kecil. Dia tidak akan rela jika Aruna sampai dipandang sebagai wanita tidak baik hanya karena sering berganti kekasih dan lagi Rona tidak ingin kalau sampai Aruna terlibat bahaya seperti dulu.
Dulu Aruna dengan bodohnya menjalin hubungan dengan seorang pria kaya yang brngsek, hanya karena Aruna menolak untuk berciuman, pria itu mengancam akan menyakiti Aruna. Untungnya saat itu Aruna langsung mengadu pada Rona dan dengan itu Rona langsung bertindak untuk meminta pria itu putus dengan Aruna.
Kini, Rona tidak akan lagi membiarkan Aruna terlibat masalah seperti itu hanya karena kebodohan yang gadis itu lakukan.
Tiba di depan rumah Aruna, sekilas dia menatap ke arah rumahnya sendiri. Dia tidak akan lama berada di rumah Aruna, Rona hanya akan bicara seperlunya agar gadis itu mau berubah pikiran gilanya yang selalu menerima dengan sembarangan pria mana saja yang menyatakan cinta.
Pintu rumah Aruna terbuka, namun begitu Rona tetap mengetuk pintu untuk menarik atensi siapa saja yang ada di dalam rumah itu.
Lalu tak lama setelah nya, sosok cantik Linda, Mama Aruna keluar.
"Eh ada Rona!" Wanita itu menyapa ramah, langsung mempersilahkan Rona untuk masuk.
"Mau nyari Aruna kan? Langsung masuk aja, ada Arsha juga di kamarnya."
Rona mengangguk. Rupanya Arsha juga menuruti apa yang Rona minta lewat pesan untuk menghibur Aruna yang patah hati. Dia seharusnya menunggu sampai Arsha dan Aruna keluar, makanya dia berniat hanya menunggu di depan pintu kamar Aruna.
Tapi tindakannya itu malah membuat dia mendengar sesuatu yang membuat tubuhnya membeku. Kalimat yang tadinya tidak ia sangka akan diucapkan oleh Aruna yang mengaku hanya suka padanya saja.
"Aku enggak akan begitu lagi, Bang. Mau gimana pun, aku merasa bersalah sama Andika. Besok aku mau minta maaf lagi sama dia. dan juga... Aku enggak akan ngejar-ngejar Rona lagi, karena yang bikin aku pacaran sama semua mantan aku adalah karena aku berharap dia cemburu. Sekarang aku cuma perlu nyerah sama Rona, dengan begitu keinginan konyol aku itu enggak akan pernah ada lagi."
Rona terdiam. Harusnya dia senang mendengar kalimat seperti itu dari Aruna, tapi kini dia malah merasa kalah.
Tapi mau bagaimana pun, ini sesuatu yang baik bagi Aruna karena Rona tidak akan bisa membalas perasaan Aruna dengan alasan apapun.
Dia tersenyum kecil, berbalik badan dan pulang, meninggalkan rumah itu begitu saja.
**